Di antara Khulafaur Rasyidin yang mengalami peristiwa politik paling kompleks adalah Ali bin Abi Thalib. Perpecahan umat Islam di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ternyata tidak hanya menimbulkan perang saudara seiman tetapi juga menjungkir-balikkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan kejernihan pikiran. Perpecahan dan pertentangan akan klaim kebenaran di antara umat Islam mencapai puncaknya pada masa ini. Khalifah Ali bin Abi Thalib tidak hanya menghadapi lawan dari depan (Muawiyah bin Abu Sufyan) tetapi juga di dalam barisan pendukungnya sendiri, yang kemudian mereka disebut dalam sejarah sebagai kaum Khawarij atau yang memisahkan diri dari barisan.
Dalam Nahjul Balaghah, Ali bin Abi Thalib mengungkapkan sikap dan pandangannya nan jernih dan bijaksana mengenai kondisi umat Islam pada masa-masa penuh fitnah politik itu. Sebagian besar petuah-petuah Ali bin Abi Thalib terkait politik adalah respons atas berbagai peristiwa yang terjadi di masa Kekhalifahannya yang singkat dan penuh fitnah itu. Nasihat atau petuah-petuah terbaik Ali bin Abi Thalib pada umumnya diketahui terangkum dan tersadur dengan baik dalam Nahjul Balaghah (Puncak Kefasihan).
Kitab ini memuat warisan ilmu dari Ali bin Abi Thalib yang sangat berharga berupa kumpulan surat dan ucapan-ucapan bijak Ali bin Abi Thalib tentang berbagai persoalan kontekstual pada masanya, yang disusun oleh Syeikh Muhammad Abduh, seorang mujadid besar abad 20 dari Mesir. Syekh Abduh menyusun kitab ini berdasarkan naskah dari dzuriat atau keluarga keturunan Ali bin Abi Thalib sendiri yaitu Sayyid Muhammad bin Abi Ahmad al-Hasani (970-1015) yang bergelar Syekh Syarif Radhi.
Berikut adalah enam nasihat terbaik berupa petuah-petuah bijak Ali bin Abi Thalib khususnya tentang politik dan kepemimpinan dalam kitab Nahjul Balagha.
- Pengkhianatan Disangka Kecerdikan
Sungguh, pemenuhan janji adalah kembaran kebenaran. Aku tidak mengetahui perisai yang lebih baik, terhadap serangan dosa, daripada itu. Orang yang menyadari realitas bahwa ia akan kembali ke akhirat, tak pernah berkhianat. Kita berada di suatu masa ketika orang memandang pengkhianatan sebagai kebijaksanaan. Pada hari ini, orang jahil menamakannya dengan hebatnya kecerdikan. Ada apa dengan mereka?
- Allah Mematahkan Leher Seorang Tiran
Sesungguhnya, Allah Swt. tidak mematahkan leher seorang tirani yang lalim di dunia ini sebelum memberikan kepadanya waktu dan kesempatan, dan tidak memulihkan tulang patah dari suatu umat sebelum Dia menimpakan cobaan dan kesusahan kepada mereka. Bahkan penderitaan dan kesengsaraan lebih kecil yang masih akan menimpamu cukuplah untuk memberi pelajaran. Tidak setiap yang mempunyai hati itu cerdas, dan tidak setiap yang berpendengaran itu mendengar, dan tidak setiap yang berpenglihatan itu melihat.
- Menjadi Rakyat yang Baik dan Menjadi Pemimpin Yang Baik
Apabila engkau memilih orang lain (maksudnya tidak memilih Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah) maka aku akan menghormati hukum negara sebagaimana warga yang suka damai. Tidak pernah aku mencoba menghasut untuk memberontak. Tetapi jika engkau telah bertekad untuk membaitku, ingatlah bahwa apabila engkau mengernyitkan dahi atau berbicara menentangku (kudeta), maka aku akan memaksamu melangkah pada jalan yang benar. Dan dalam hal kebenaran, aku tidak akan peduli terhadap siapapun.
- Kepemimpinan Umat Bukanlah Alat Duniawi
Apabila engkau menghendakiku (maksudnya mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin umat) demi tujuan-tujuan duniawimu, maka aku tidak siap melayani sebagai alatmu. Tinggalkan aku dan pilihlah orang lain yang mungkin memenuhi tujuanmu. Engkau telah melihat kehidupan masa laluku bahwa aku tidak bersedia mengikuti apapun selain al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dan tidak akan melepaskan prinsip ini untuk mendapatkan kekuasaan.
- Janganlah Terpaut dan Berharap Pada Penguasa Tiran
Hingga manusia mulai berpikir bahwa dunia terpaut pada Bani Umayah, akan mencurahkan kesejahteraan pada mereka, dan mengantarkan mereka kepada sumber-sumbernya yang jernih untuk mengairi, dan bahwa cambuk dan pedang mereka akan disingkarkan dari rakyat. Barang siapa berpikir demikian, maka ia salah. Tetapi, ada beberapa tetes dari kenikmatan hidup yang akan mereka isap untuk sementara, kemudian mereka muntahkan seluruhnya.
Itulah lima nasihat bijak Ali bin Abi Thalib tentang politik dan kekuasan dalam kitab Nahjul Balaghah yang masyhur. Kelima petuah itu bisa jadi masih relevan hingga kini karena kita menjadi bagian dari dan terlibat sebagai insan politik. Wujudnya adalah partisipasi dalam berkewarganegaraan di era modern hari ini.
Agaknya kelima nasihat bijak itu bisa menjadi referensi bagi kita, umat Islam khususnya, untuk lebih jernih dan luas melihat fenomena politik dan kekuasaan yang terjadi di zaman ini hingga masa yang akan datang.
Pandangan-pandangan yang jernih dan tajam dari Ali bin Abi Thalib tentang politik dan kekuasaan itu juga mengandung nilai-nilai transcendental, mengkritik perilaku yang menjadikan politik dan kekuasaan semata sebagai alat duniawi seraya melupakan sisi paling esensial dari politik itu sendiri, yaitu sebagai alat untuk kemaslahatan bagi semua umat. (AN)