Apakah Islam itu? Apakah islami itu? Bukankah Islam sudah pasti islami? Bagaimana mungkin Islam tidak islami? Bagaimana mungkin islami tanpa Islam? Mengapa Allah menurunkan Islam kepada umat manusia? Dan, mengapa islami sebegitu pentingnya?
Saya meminjam pertanyaan-pertanyaan itu dari seorang sastrawan yang “nyufi” di Indonesia, Candra Malik. Pertanyaan-pertanyaan remeh memang. Namun bagi beliau, pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya gamang. Bagi saya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu justru penting sebagai refleksi sikap keagamaan kita di Nusantara. Refleksi ini penting dimunculkan dalam situasi saat ini di mana eskpresi keislaman seseorang hanya dilihat dari permukaan. Saat ini, euforia keberagamaan seseorang bisa dengan mudah dideteksi dari kulitnya.
Secara linguistik, “Islam” merupakan kata benda. Meski abstrak, ia adalah sebuah “brand”. Sedang “islami” adalah karakter-karakter yang melekat pada Islam itu. Jika Islam diibaratkan rumah, maka islami adalah seluruh hal yang mensifati rumah itu. Semisal, rumah itu mempunyai kamar-kamar, gerbangnya tinggi, catnya indah, kanopinya bagus.
Mungkin sebagian orang mengernyitkan dahi, untuk apa ada dikotomi “Islam” dan “islami”. Bukankah jika membicarakan “Islam”, maka ia sudah membicarakan “islami” secara otomatis. Bukan hanya karena keduanya memiliki aspek fonetik yang sama, tapi juga karena karakter islami harusnya sudah integral dengan Islam. Namun, ternyata tidak sesederhana itu.
Pada tahun 2010, dua peneliti dari The George Washington University, Hossein Askari dan Scheherazade S. Rehman, menulis dua artikel di Global Economy Journal Artikel pertama berjudul “How Islamic are Islamic Countries?. Hasilnya, pada tahun 2010, Irlandia dinyatakan sebagai negara paling “islami”. Saudi Arabia yang notabene negara Islam, justru menempati rangking ke 91. Sementara negara kita, Indonesia, yang mayoritas penduduknya Islam, berada di urutan ke 104. Silahkan dibaca sendiri penelitian itu jika anda ingin mengetahui lebih lanjut metodologi analisis datanya.Temuan tersebut memunculkan tesis bahwa “Islam” dalam diri masyarakat Muslim cenderung hanya termanifestasi dalam formalitas ritual.
Jika hendak merinci secara lebih detail tentang yang islami dan keislamian Islam itu, kita bisa membaca QS. Al-Hujurat. Surat dengan 18 ayat itu mengurai tentang bagaimana Islam yang islami dan mengapa islami memerlukan Islam. Setidaknya, ada lima nilai yang dimuat dalam QS. al-Hujurat tentang Islam yang islami itu.
Pertama adalah soal adab kepada yang lebih berilmu. Dalam al-Hujurat, isyarat itu disampaikan secara implisit pada ayat kedua tentang larangan meninggikan suara melebihi suara Nabi. Dalam konteks sahabat, sikap itu termasuk adab untuk menghormati Muhammad sebagai utusan Allah, sebagai orang yang lebih berilmu, dan orang yang lebih bertakwa. Jika ayat ini diperas, maka islami adalah sikap penghargaan terhadap sosok yang lebih tinggi baik dari aspek spiritualitas dan intelektualitas.
Sikap kedua adalah tidak mudah termakan oleh hoaks, propaganda, ujaran kebencian, dan permusuhan. Sikap tabayyun ini merupakan salah satu karakter yang mensifati Islam sehingga ia menjadi islami. Alih-alih memiliki sifat teliti, saat ini, jempol seorang Muslim bisa bergerak jauh lebih cepat mendahului rasionalitasnya. Padahal, QS. al-Hujurat sudah mewanti-wanti bahwa ketidaktelitian seseorang akan sebuah berita bisa membawa petaka bagi suatu kelompok.
Ketiga adalah soal larangan merendahkan kelompok lain di luar golongannya. Penyakit ini tampak marak di era sekarang. Seperti yang disinggung di awal, keislaman seseorang bisa dengan mudah dinilai berdasarkan atribut fisik yang ia kenakan. Ia mungkin mengenakan surban, gamis, berkulit bersih, baunya wangi dan membawa tasbih, namun ketika ia melewati gereja, ia memaki-maki jemaat Kristen yang sedang melakukan ibadah di dalamnya. Dalam situasi itu, ia memang beragama Islam, namun ia tidak berperilaku islami.
Sikap merendahkan ini tampak menjadi isu yang disorot dalam QS. al-Hujurat. Hal itu karena ayat-ayat sesudahnya menegaskan pentingnya menjaga hubungan baik antar sesama manusia dan pentingnya kepekaan terhadap kehidupan yang plural. Tak hanya itu, ayat 12 menggarisbawahi soal pemicu utama konflik yang sering muncul dalam konteks kehidupan plural, yaitu rasa curiga. Dalam bahasa lain, sikap yang islami menyaratkan untuk tetap berbaiksangka terhadap semua makhluk, khususnya kepada sesama manusia, meski yang liyan sekalipun.
Riset Hossein Askari dan Scheherazade S. Rehman mungkin sudah berumur 13 tahun. Namun tampaknya, temuan mereka masih relevan dirasakan hingga saat ini, justru lebih parah. Bahkan saat ini, media sosial justru menjadi penegas bahwa yang Islam belum tentu islami. Segregasi antar umat beragama sangat terasa berkat media sosial. Bukan media sosialnya yang salah, namun sikap kita saja yang belum islami.
Ya, QS. al-Hujurat mengajari kita untuk tetap menjadi satu keluarga dalam satu rumah meski berbeda kamar. Namun lihatlah sekarang, kita kini serumah tapi tak lagi bertegur sapa dengan baik, suka menggunjing kamar lain, berkata buruk, menebar kebencian, saling melaknat saudaranya, mengancam keselamatan anggota kamar lain, bahkan menghabisinya. Kata Candra Malik, jika sudah begini, aku tak tahu Islam yang islami itu yang bagaimana. Pun aku tidak bisa menjawa mengapa Allah memilihkan Islam untukku, untukmu, untuk kita.