Satu dekade terakhir telah menunjukkan bagaimana umat Islam di Indonesia semakin akrab dengan emosi dan sentimen dalam mengambil tindakan ataupun sikap. Beberapa isu sosial baru yang mereka hadapi juga memperlihatkan kecenderungan serupa antagonisme terhadap liyan, glorifikasi diri/kelompok, dan mendasarkan pondasi tindakan pada kisah ajaib serta reward & punishment, dibanding kecenderungan merenungkan implikasi sosial tiga-lima langkah di depannya.
Kecenderungan umat pada emosi dan sentimen tidak muncul secara ahistoris. Dalam pendidikan agama Islam bagi masyarakat Indonesia pun ada keterbelahan antara pendidikan Islam arus-utama dan pendidikan Islam khusus. Sebagian besar masyarakat umum mendapat wawasan agama, kesadaran afektif dan wawasan sosial dari pendidikan agama arus utama seperti mimbar masjid dan televisi.
Sebagian kecil lain, seperti masyarakat desa dan komunitas pesantren, mendapatkannya dari pendidikan khusus seperti madrasah, ngaji pasaran, ataupun mau’idhoh hasanah. Keterberlahan di antara keduanya kemudian, salah satunya, membuat umat Islam di Indonesia mudah dipermainkan atau diobok-obok untuk aneka kepentingan, baik elektoral ataupun partisan–khususnya karena ketidak-sepakatan tak terselesaikan dalam soal mendamaikan hubungan antara agama dan wawasan sosial.
Kecenderungan fragmentasi umat Islam di Indonesia memang telah muncul sejak tahun 1980-an dengan menjamurnya berbagai liqo dari berbagai afiliasi yang menyasar anak-anak muda di masjid-masjid kampus. Awal tahun 2000-an kemudian menjadi musim semi bagi fragmentasi lama yang semakin mapan.
Seiring dengan euforia kebebasan berekspresi pasca runtuhnya rezim Orde Baru, media arus utama–khususnya televisi, majalah serta surat kabar–mendapat pengaruh signifikan dari kekuatan kapitalistis dan energi keislaman. Hasilnya adalah apa yang kita saksikan di tahun 2010 sebagai periode di mana ustadz pop, lagu Islam pop, hijrah berkemasan pop, dan hal-hal pop islami lain bersemarak.
Akan tetapi, kondisi ini memiliki masalah mendasar yakni, banyaknya oksimoron dalam substansi ajarannya yang tidak mendorong sikap self-evaluation (baik skala individu ataupun kelompok). Kalangan pesantren, di lain pihak, juga mengeluhkan soal kemampuan Bahasa Arab penyaji Islam pop. Hal lain yang juga dikritik oleh kalangan pesantren adalah statisnya ajaran yang disampaikan, yakni berhenti pada tingkatan fiqih ‘instan’ dan tidak didorongnya audiens untuk menjajal ranah tasawuf yang mendalam.
Tasawuf memang menyimpan potensi inkompatibel dalam kehidupan modern kapitalistis. Kualitas guru atau ustadz yang diprasyaratkan tasawuf dengan sendirinya (by default) bertentangan dengan logika kapitalistis industri media. Bila tetap disiarkan pun, besar kemungkinan dapat memancing kontroversi karena tingkat materi ajaran yang belum tentu bisa diterima semua kalangan, khususnya kalangan yang telah termodernisasi selama tiga empat dekade.
Namun bila tidak disiarkan, perluasan pandangan dari sekedar fiqh ‘hitam-putih’ ke kearifan sosial dan fiqh kompleks, tidak terjadi pada audiens umum. Situasi ini juga mendapat pendalaman dari kisah-kisah ajaib dan kisah-kisah reward & punishment yang sering dilebih-lebihkan dan dicocoklogi oleh pendakwah. Ratusan tahun lalu, fiqih adalah sesuatu yang rigit.
Orang dituntut untuk berpikir bolak-balik secara mendalam, teliti dalam mengindentifikasi masalah, dan kompleks dalam memetakan pengecualian kasus. Masuknya kekuatan kapitalistis dan adanya kebutuhan industri media terhadap unsur hiburan yang ringkas, membuat fikih di televisi dan media arus utama banyak kehilangan tradisi-tradisi tersebut. Dampaknya, wawasan sosial dan kemampuan untuk merangkai wawasan sosial, tidak tersampaikan ke sebagian besar penduduk muslim.
Tasawuf biasanya memberikan wawasan sosial berupa kelenturan dalam menyikapi perbedaan nilai-nilai mendasar yang ada di kehidupan manusia, yang substansinya sedikit banyak beririsan filsafat dan antropologi. Sementara itu, fikih memberikan wawasan sosial berupa ketajaman dalam bernalar, merangkai premis, dan menjelajahi ilmu-ilmu penunjang selain agama. Jadi, andai jika wawasan sosial adalah sesuatu umum, maka yang tercipta adalah penduduk muslim yang hati-hati dan teliti.
Apa yang terjadi pada kasus Ahok, Klepon, Khalid Basalamah, pengeras suara masjid dan kasus sejenisnya, menunjukkan satu hal yang sama: reaksioner dan penghakiman. Namun apakah kalangan pesantren sepenuhnya terbebas dari hal tersebut? Tidak.
Meski demikian, keterlibatan kalangan pesantren pada sikap reaksioner dan penghakiman bukan disebabkan oleh minimnya wawasan sosial, melainkan disebabkan oleh efek pendulum atas respon kalangan pesantren terhadap kelompok non-pesantren. Media sosial di saat yang sama juga memberikan wahana diskursif yang mampu memperbesar energi ayunan pendulum.
Soal wawasan sosial dan ketelitian dalam beragama, kalangan pesantren memang tidak diragukan lagi. Namun, sejak dulu mereka banyak memberikan perhatian berlebih pada masalah kebangsaan, hubungan negara-agama, dan nasionalisme. Ketika muncul rival islamik yang berseberangan dengan mereka, kalangan pesantren mengalami kristalisasi ideologis. Hal ini juga diperdalam oleh efek algoritma media sosial yang memiliki hukum “even the most virtue person is tempted to stab on back of the other” (bahkan orang yang paling baik sekalipun tergoda untuk mengumpat lawan bicaranya).
Di lain sisi, pembaharuan gagasan kitab-kitab klasik oleh kalangan pesantren juga sebagian besar terporsi pada isu kebangsaan dan gender. Meskipun mereka mewarisi khazanah pengetahuan Islam klasik, tapi semangat translasi kitab asing (buku bahasa Inggris sebagai pengganti buku Bahasa Yunani) tidak sepenuhnya terwaris. Sehingga, isu-isu kontemporer seperti teknologi, digitalisasi dan isu asing lain terpisah dari dialektika agama dan pengetahuan di sebagian besar kalangan pesantren dan belum menjadi buah bibir harian komunitas pesantren.
Setelah dinyatakan kalah telak menguasai teknologi digital dibanding rival non-pesantren mereka, kalangan pesantren mulai memanfaatkan jalur kuasa elit untuk memberdayakan akar rumputnya pada pelatihan dan pemahaman digitalisasi. Sayangnya, pengertian digitalisasi, penanganan hoaks, dan imbauan narasi positif di ruang digital yang diamini oleh elit adalah bersifat teknokratis.
Dalam imajinasi teknokratis, huru-hara digital dipandang sebagai segala hal yang berasal dari luar diri seseorang seperti misalnya sliweran informasi palsu dan aktor demagogi, atau orang awam yang sok ahli. Oleh karena itu, imajinasi teknokratis mendorong tiap-tiap individu dan kelompok menjadi subjek aktif dalam berkehidupan di dunia digital.
Tapi, di saat yang sama, imajinasi teknokratis melupakan bahwa keterikatan individu pada sebuah kelompok juga memiliki perasaan afektif, yang pada derajat tertentu dapat bermutasi menjadi energi bagi digital crusade. Kesadaran afektif berfungsi sebagai sistem penyaring apakah individu terjebak pada romantika digital crusade atau tidak. Sementara itu, self-evaluation berfungsi sebagai sistem check and balance dalam bersikap terhadap stimulus informasi, ekologi media, dan logika normative yang terdistorsi di dunia digital.
Muatan self-evaluation dan kesadaran afektif tidak tercakup dalam pemahaman dan pelatihan digital yang diadopsi kalangan pesantren. Implikasinya, digitalisasi sepenuhnya dipandang sebagai wilayah tak bertuan yang penting untuk diperjuangkan melalui jihad influencer dan dominasi wacana, namun secara bersamaan melupakan bahwa digitalisasi memiliki watak tersembunyi yang mampu mengorek banalitas terdalam individu tanpa disadari―atau bahkan justru dijustifikasi oleh bias-bias ideologis dan doktrin yang berbeda akar pengetahuannya namun sama konservatifnya dengan rival non-pesantren mereka.
Jari tengah yang diacungkan sekelompok ukhti pada gambar Menteri Agama dalam polemik pengeras suara masjid misalnya, memberikan konteks pembenaran bagi sebagian besar kalangan pesantren untuk menggunakan umpatan dan kata-kata pejoratif di unggahan media sosial ataupun di kolom-kolom esai. Bagi imajinasi ideologis, hal ini baik. Tapi bagi prospek demokrasi, tidak. Karena, sering yang diperhatikan adalah hak untuk berbicara, namun melupakan bahwa kerukunan dan kesalingan mustahil tercipta bila budaya ‘mendengarkan’ dan ‘melunak’ hilang.
Kasus ini menyiratkan, pertama, dunia digital mampu memberikan 1001 konteks algpritmik tak terbayang untuk membenarkan perilaku-perilaku yang mulanya dianggap tabu, menjadi normal secara ideologis. Kedua, resistensi terhadap amplifikasi efek-pendulum oleh media sosial masih menjadi kemampuan yang langka. Ketiga, individu atau kelompok manapun dapat berhenti membayangkan implikasi tiga-lima langkah kedepan bila mengabaikan kesadaran afektif dan wawasan sosial.
Kalangan pesantren memang banyak memberikan penjelasan dari berbagai khazanah dan sudut pandang soal polemik pengeras suara masjid. Tetapi ini tidak lain merupakan dampak kasual atas komunikasi publik Menteri Agama yang masih menjadi bagian dari buruknya komunikasi publik pejabat di Indonesia yang telah berlangsung secara historis. Dan bukan merupakan soal benar-salah salah satu kalangan tertentu, karena masing-masing kalangan memiliki basis argumentasi dari kompoisisi yang berbeda.
Pendidikan Islam arus utama perlu diperkaya dengan wawasan sosial. Sedangkan pendidikan Islam pesantren perlu diperkaya dengan kesadaran afektif. Dengan demikian, fragmentasi penduduk muslim di Indonesia tidak perlu mengalami pendalaman sebab lemahnya daya tahan penduduk muslim terhadap efek-pendulum partisan yang diagresifkan oleh digitalisasi. Dengan adanya penyegaran sana-sini di kedua sisi pendisikan Islam, minimalnya tahun ke tahun berikutnya bisa digunakan untuk fokus pada isu-isu yang lebih universal, memiliki signifikansi pada kemanusiaan, dan tidak menjadi rutinan polemik simbol atau hal-hal permukaan lainnya.