Yang Coki Pardede Tak Tahu: Boikot Rugikan MCDonald’s dan Pernah Berhasil Tumbangkan Rezim Apartheid di Afrika Selatan

Yang Coki Pardede Tak Tahu: Boikot Rugikan MCDonald’s dan Pernah Berhasil Tumbangkan Rezim Apartheid di Afrika Selatan

Coki Pardede tak tahu boikot pernah berhasil bikin Waralaba MCDonald’s rugi dan rezim apartheid di Afrika Selatan tumbang.

Yang Coki Pardede Tak Tahu: Boikot Rugikan MCDonald’s dan Pernah Berhasil Tumbangkan Rezim Apartheid di Afrika Selatan
Gambar: Coki Pardede berpose dengan latar belakang anak-anak Afrika (sumber: X @neohistoria_id)

Coki Pardede kembali jadi sorotan setelah komentarnya di podcast Indah G diserang banyak netizen. Dengan bangganya ia bilang bahwa gerakan boikot yang ada untuk ‘melawan’ Israel tidak akan membuat Israel menghentikan serangannya ke daerah Gaza.

Gue enggak mau mempersulit diri gue, dengan enggak bisa minum kopi enak. Yang mana gue tahu dengan tidak minum kopi, itu juga enggak akan merubah apa-apa. Lo ngerti enggak sih maksud gue?” Ujar Coki.

Perkataan Coki itu disambut tawa keduanya, bahkan Indah terpingkal-pingkal setelah mendengar celotehan komika kontroversial itu. Menurut Coki, gerakan boikot yang dilakukan masyarakat tidak akan membuat produk-produk yang diboikot merugi, malah semakin bertumbuh.

Ruginya Waralaba MCDonald’s Pasca Boikot

Nampaknya ungkapan Coki yang menyebut produk yang diboikot semakin untung perlu diverifikasi. Laporan Independent menyebut bahwa Waralaba MCDonald’s merugi setelah muncul gerakan boikot atas produknya.

Mekdi (sebagaimana biasanya orang Indonesia menyebut) mengalami penurunan penjualan di beberapa pasar internasional, khususnya di negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Malaysia, setelah franchise lokal mereka di Israel menyediakan makanan gratis untuk tentara Israel yang terlibat dalam konflik Gaza. Penjualan McDonald’s di pasar-pasar tersebut turun, meskipun ada peningkatan penjualan di AS yang membantu menutupi kerugian di tempat lain.

Saya sendiri melihat bukti meredupnya sinar Mekdi. Di daerah Ciputat, sekitar 300 meter dari UIN Ciputat, Mekdi adalah tempat favorit mahasiswa, mulai mengerjakan tugas, ngobrol sama temen, atau sekedar menghabiskan waktu nongkrong. Parkiran motor hampir selalu penuh. Bahkan terkadang mencari meja kosong pun sulit. Wajar jika gerai waralaba di Ciputat ini buka selama 24 jam.

Pasca gerakan boikot muncul, gerai dengan logo huruf M besar ini tak lagi seramai biasanya. Parkiran motor jadi sepi. Setiap saya lewat tengah malam, gerai ini tak lagi buka 24 jam. Hal ini terjadi beberapa bulan selama masa-masa boikot. Saat ini gerai yang es krimnya difavoritkan mahasiswa UIN ini mulai buka normal 24 jam, namun tetap tak seramai biasanya.

Ramai atau sepinya gerai memang tidak selalu jadi patokan bahwa gerakan boikot berhasil, bisa jadi juga karena ada beberapa musabab lain. Namun, keyakinan saya semakin mendekati benar ketika saya bertemu beberapa mahasiswa UIN. Mereka bilang kalau generasinya tak lagi ‘nongkrong’ di sana karena solidaritas Palestina. Sebagian mereka bahkan ada yang malu, takut dikira gak punya solidaritas sesama muslim.

Boikot Berhasil Tumbangkan Rezim Apartheid Afrika Selatan

Kata siapa boikot tak pernah berhasil?

Pada tanggal 27 April 1994, dunia menyaksikan peristiwa bersejarah ketika Nelson Mandela memberikan suaranya dalam pemilihan umum pertama yang inklusif di Afrika Selatan. Peristiwa ini menandai berakhirnya era apartheid, sistem segregasi rasial yang telah memisahkan dan menindas penduduk kulit hitam Afrika Selatan selama hampir setengah abad. Tumbangnya rezim apartheid adalah hasil dari perjuangan panjang, penuh pengorbanan, dan melibatkan berbagai taktik dari boikot ekonomi hingga diplomasi internasional.

Apartheid, yang berarti “pemisahan” dalam bahasa Afrikaans, diperkenalkan secara resmi oleh Partai Nasional pada tahun 1948. Kebijakan ini bertujuan untuk memisahkan penduduk berdasarkan ras dan memberikan kekuasaan penuh kepada minoritas kulit putih. Sistem ini mengatur segala aspek kehidupan, dari tempat tinggal, pendidikan, hingga pekerjaan. Penduduk kulit hitam dipaksa tinggal di daerah-daerah yang disebut “homelands” atau “Bantustans” dan dilarang memiliki hak-hak politik serta ekonomi yang setara​.

Perlawanan terhadap apartheid dimulai jauh sebelum kebijakan itu dilegalkan. Organisasi seperti African National Congress (ANC), yang didirikan pada tahun 1912, berusaha untuk melawan diskriminasi rasial melalui aksi protes damai dan diplomasi. Pada tahun 1952, ANC meluncurkan Kampanye Pembangkangan, yang mengajak masyarakat untuk tidak mematuhi undang-undang apartheid dengan cara damai. Taktik ini diilhami oleh gerakan non-kekerasan Mahatma Gandhi di India.

Boikot dan Sanksi Ekonomi

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, perlawanan terhadap apartheid berkembang menjadi gerakan internasional. Aktivis di seluruh dunia mulai menyerukan boikot terhadap produk-produk Afrika Selatan dan menuntut agar negara-negara mereka memberlakukan sanksi ekonomi. Di Amerika Serikat dan Eropa, kampanye disinvestasi berhasil menekan perusahaan-perusahaan besar untuk menarik investasi mereka dari Afrika Selatan. Pada tahun 1986, Kongres Amerika Serikat memberlakukan Comprehensive Anti-Apartheid Act, yang memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Afrika Selatan​.

PBB juga memainkan peran penting dalam tekanan internasional terhadap apartheid. Pada tahun 1962, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang meminta negara-negara anggota untuk menghentikan hubungan militer dan ekonomi dengan Afrika Selatan. Pada tahun 1973, PBB mengadopsi Konvensi Internasional tentang Penghapusan dan Hukuman atas Kejahatan Apartheid, yang mendefinisikan apartheid sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Organisasi seperti Commonwealth juga mengecualikan Afrika Selatan dari keanggotaan mereka​.

Pada awal 1990-an, tekanan internal dan eksternal memaksa pemerintah apartheid untuk memulai perundingan dengan ANC dan kelompok perlawanan lainnya. Pada tahun 1990, Presiden F.W. de Klerk mengumumkan pembebasan Mandela dan legalisasi ANC serta organisasi perlawanan lainnya. Proses perundingan yang panjang dan kompleks akhirnya menghasilkan Konferensi Meja Bundar yang menyepakati pemilihan umum bebas dan adil.

Pada April 1994, jutaan warga Afrika Selatan, dari berbagai latar belakang ras, memberikan suara dalam pemilihan umum pertama yang inklusif. ANC, dengan Mandela sebagai kandidat presidennya, memenangkan mayoritas suara. Pada tanggal 10 Mei 1994, Nelson Mandela dilantik sebagai presiden pertama Afrika Selatan yang dipilih secara demokratis, menandai berakhirnya era apartheid dan awal dari perjalanan baru menuju rekonsiliasi dan pembangunan bangsa.

Emang Boikot Produk Pro Israel Bakal Ngaruh?

Penolakan terhadap produk yang pro Israel sebagaimana dilakukan kebanyakan masyarakat Indonesia dengan boikot apartheid memang tidak sama. Perbedaan itu terletak pada objek boikot dan eskalasinya. Namun bukan berarti gerakan boikot yang dilakukan tidak berpengaruh. Setidaknya gerakan-gerakan ini menjadi bentuk keberpihakan masyarakat terhadap Palestina. Ibaratnya kita ingin menunjukkan kepada Israel bahwa “Eh, lu gak kite temenin.”. Posisi ini penting agar Israel yang sebelumnya percaya diri dengan berbagai dukungan Internasional semakin kecut. Beberapa produk yang selama ini gagah mendukung negara berbendera bintang Dawud itu pun perlu sadar dan menarik dukungannya.

Lalu siapa yang bisa menghentikan serangan brutal Israel? Pastinya kekuatan internasional, dimulai dari advisory opinion dari ICJ (International Court of Justice) yang berpangkalan di Den-Haag kepada PBB, disusul dengan berbagai langkah-langkah penting tokoh dunia. Tentu bukan orang-orang kecil seperti kita, masyarakat biasa.

Masyarakat biasa seperti kita tak punya ‘skin’ malaikat untuk mengubah si Iblis ‘Israel’. Makanya aneh kalau ada orang biasa, yang pesawatnya saja dibookingin Israel mau bisikin Presiden Israel buat menghentikan kejahatan kemanusiaannya.

Benar kata Bang Udin (nama samaran), tetangga saya, “Ya, kite bisa apa sih, paling selemah-lemahnya iman, ya, boikot-boikot ini. Mau ikutan nembak juga paling ketembak duluan.

(AN)