Waktu yang Tepat Untuk Berkhalwat di Tengah Wabah yang Terus Menyebar

Waktu yang Tepat Untuk Berkhalwat di Tengah Wabah yang Terus Menyebar

Di tengah pandemi corona seperti ini adalah waktu yang tepat untuk khalwat, berdialog secara jujur dengan diri sendiri

Waktu yang Tepat Untuk Berkhalwat di Tengah Wabah yang Terus Menyebar

Merebaknya virus corona, mau tak mau membuat kita harus tinggal di rumah, khalwat untuk meredakan keadaan dan memutus rantai penyebaran. Sebagain dari kita mengindahkan himbauan ini atas dasar kemaslahatan banyak orang. Sebagian yang lain, masih tetap beraktivitas seperti biasa; bermain, berdagang dan ikut pengajian. Tak ada alasan untuk tetap tinggal di rumah, rezeki harus dicari dan nasi harus ditanak.

Kita semua berdoa, semoga virus Corona segera mereda dan kita bisa beraktivitas kembali seperti sedia kala. Maka, guna mempercepat proses pemulihan ini, marilah kita tetap tinggal di rumah. Tinggal di rumah bukan berarti kita tidak bisa melakukan apa-apa. Jadikan masa-masa ini sebagai masa untuk menyendiri, mengevaluasi diri dan mendekatkan diri pada Ilahi.

Baca juga artikel-artikel lainnya tentang Corona dan keislaman di tautan ini

Menyendiri adalah praktik spiritual yang telah dilakukan berabad-abad oleh orang-orang beragama. Nabi Muhammad misalnya, semasa muda hingga turunnya wahyu pertama pada usia mendekati 40 tahun, kerap kali berdiam diri di Gua Hira. Memahami diri sendiri dan meminta petunjuk-Nya. Hingga, di tengah kekalutan Nabi, turunlah wahyu pertama, “Iqra’”, bacalah!. Iqra’ biasa diterjemahkan sebagai membaca, oleh sebagain orang, Iqra’ ditafsirkan tidak hanya membaca teks, tapi juga konteks.

Dalam konteks kita sebagai manusia, yang pertama kali kita baca adalah diri kita sendiri. Man ‘Arofa Nafsahu faqod ‘Arofa Rabbahu. Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Dalam Al-Hawi lil Fatawa Imam As-Suyuthi menjelaskan pepatah tersebut, bahwa sifat-sifat yang melakat pada manusia, adalah sifat-sifat yang berkebalikan dengan sifat Allah. Manusia hancur, Allah kekal. Manusia penuh dosa, Allah Maha Benar. Orang yang mengetahui kondisi dirinya sebagaimana adanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana ada-Nya.

Praktik menyendiri tidak hanya dilakukan oleh Nabi Muhammad, tapi dilakukan juga oleh nabi-nabi sebelumnya. Surat Al-A’raf ayat 142 menceritakan bahwa Nabi Musa As dijanjikan oleh Allah akan diturunkan Taurat ketika Nabi Musa sanggup berpuasa-berdiam diri selama 30 hari (kemudian digenapi menjadi 40 hari) di Gunung Tursina yang dingin dan minim makanan. Nabi Ibrahim AS diperintahkan Allah untuk menempatkan istri dan anaknya di padang pasir kering kerontang. Padahal sebelumnya mereka tinggal di tempat yang hijau dan subur. Hingga kemudian, bertahun setelahnya, Nabi Ibrahim membangun Ka’bah bersama Putranya Ismail, cikal bakal peradaban Islam.

Begitu pula Nabi Khidir yang (konon) sampai saat ini masih hidup di samudera, memberi petunjuk bagi orang-orang yang tersesat di lautan. Samudera menjadi pertapaan Nabi Khidir. Banyak orang besar yang membangun peradaban besar itu keluar dari pertapaan.

Tradisi bertapa juga dilanjutkan oleh para wali dan sufi, bahkan hingga sekarang. K.H. Abdul Syakur Yasin, MA atau yang akrab dipanggil Buya Syakur adalah salah satunya. Kyai asal Indramayu yang juga Sahabat Gus Dur ini setiap tahunnya melakukan ritual menyepi selama 40 hari di Hutan. Bersama dengan pengikutnya, mereka mengasingkan diri dari dunia untuk melatih diri agar lebih dekat kepada-Nya. Tak sedikit Kyai yang mencemoohnya. Menganggap bahwa ajaran bertapa adalah sesat.

Dalam salah satu siaran pengajiannya, Buya Syakur mengatakan bahwa ia bertapa untuk berdialog dengan diri sendiri. “Kita berdialog dengan diri kita sendiri. Kalau di keramaian, kita berdialog dengan orang lain. Itu tidak jujur. Kita selalu mencari pembenaran diri.  Kapan manusia jujur? Ketika dia sendirian”.

Dalam Islam, laku ini dinamakan dengan khalwat yang mempunyai pengertian menyendiri pada suatu tempat tertentu selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Aboebakar Atjeh dalam bukunya Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf (1962) memberi pengertian khalwat sebagai melatih jiwa dan hati berkekalan ingat kepada Allah dengan tetap memperhambakan diri kepada-Nya.

Kita tak pernah tahu kapan pandemik ini akan berakhir. Agar waktu tetap berharga, kita gunakan waktu ini untuk menempa diri. Semakin mengenal diri dan mendekatkan diri pada Allah. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh-Nya;

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran: 191).

Wallahu a’lam.