Salah satu penentang besar Kanjeng Nabi SAW sejak awal risalah kenabian adalah Abu Jahal. Nama aslinya adalah Amr bin Hisyam bin Mughirah. Saudaranya yang bernama Harits bin Hisyam adalah sahabat Kanjeng Nabi SAW pasca Fathu Mekkah dan ikut membela serta melindungi Beliau SAW dalam perang Hunain. Putrinya, Ummu Hakam, yang juga menantu Abu Jahal, istri Ikrimah bin Abu Jahal, turut memeluk Islam bersama ayahnya. Kelak, ia memiliki peran yang sangat besar dalam sejarah Islam.
Suatu hari, dari sekian banyak usaha Abu Jahal dalam mematikan syiar Islam, ia bersama teman-temannya mendatangi Kanjeng Nabi SAW. Ia lalu menyatakan akan memenuhi permintaan-permintaan Kanjeng Nabi SAW sebagai jalan diplomasinya untuk menghentikan syiar Beliau SAW.
Kanjeng Nabi SAW mengatakan, “Aku meminta kalian untuk mengucapkan satu kalimat saja.”
Kata Abu Jahal, “Jangankan satu kalimat, engkau minta sepuluh kalimat pun akan kupenuhi.”
Kata Nabi SAW, “Ucapkanlah la ilaha illaLlah….”
Tentu saja Abu Jahal seketika ngeper, mendengus.
Seseorang dari kelompok Abu Jahal tiba-tiba mengatakan, “Bagaimana mungkin Muhammad ini hendak menyuruh kita hanya menyembah satu tuhan, padahal selama ini kami yang telah menyembah banyak tuhan saja masih menghadapi begitu banyak masalah dalam kehidupan kami….”
Ajaran tauhid, menyembah satu Tuhan, Allah Ta’ala, yang disyiarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW dinilai tidak logis dalam sistem logika mereka. Inilah di antara dasar penolakan mereka kepada ajaran Islam. Dengan menyembah banyak tuhan saja masih penuh masalah, seperti permusuhan antar suku dan kabilah, apalagi bila hidup hanya dengan menyembah satu Tuhan, tentulah masalah-masalah akan jauh lebih hebat….
Logika kaum musyrik ini diabadikan oleh al-Qur’an dalam surat Shad ayat 5: “Aja’alal alihata ilahan wahidan inna hadza lasyaiun ‘ujab,”
“apakah ia (Nabi Saw) hendak menjadikan tuhan-tuhan dengan Tuhan Yang Satu saja? Sungguh ini benar-benar hal (ajaran) yang sangat mengherankan (tak masuk akal).”
Lalu mereka terus bersikukuh dengan logika kemusyrikannya bahwa yang benar, yang logis, adalah menganut banyak sesembahan. Lagi-lagi, sikap mereka diabadikan oleh al-Qur’an: “Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): ‘Pergilah kalian (para pengikut mereka) dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhan kalian. Sungguh ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah) tidak lain hanyalah (dusta) yang diadakan-adakan.” (QS. Shad 6-7).
Di masa kemusyrikan itu, logika banyak tuhan begitu tentu sangat dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran, pemikiran otoritatif yang sangat masuk akal. Yang tidak begitu–agama tauhid—adalah (dipandang sebagai) logical fallacy, kekeliruan yang menyedihkan, bersumber dari kebodohan.
Kini, kita tidak lagi mewarisi logika kemusyrikan itu. Kita menyetujui dan menyepakati logika satu Tuhan itu. Maka kita kini lalu memandang logika musyrik di era Quraisy itu sebagai kebodohan, keawaman, dan kelucuan bahkan. Kita mentertawakan mereka kini, sebagaimana dulu mereka mentertawakan dan mengolok ajaran Kanjeng Nabi SAW.
Tetapi, pada sisi lainnya, dalam varian bentuknya, prinsip logika manusia (seperti logika musyrik dulu) dan logika nubuwah (logika ilahiah, logika al-Qur’an) acap berselisih begitu rupa. Dan sampai kapan pun ya memang akan terus berpola begitu, hanya bentuk dan wujudnya saja yang berdinamika.
Perselisihan logika al-Qur’an dan logika manusia itu tentu saja hanya akan terjadi di saat manusia tidak berkenan menundukkan diri (dan logikanya) di hadapan logika Ilahiah, logika Nubuwah. Usaha menalar secara metodologis dengan argumen-argumen logika terhadap apa pun, termasuk khazanah dalil agama, kiranya adalah kebaikan. Banyak bukti sejarah memperlihatkan bahwa peradaban dan pemikiran Islam bisa maju berkembang berkat sumbangsih ilmu pengetahuan dan para ilmuwannya. Sosok seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, hingga Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra adalah deretan ilmuwan, cendekiawan, yang warisan khazanahnya kita nikmati sampai hari ini.
Namun, kita pun paham dan yakin betul sebagai mukmin bahwa begitu banyak bagian dari khazanah dalil (al-Qur’an dan sunnah) yang mesti, wajib, senantiasa dijunjung, diamini, dijadikan landasan dalam kegiatan menalar dan berlogika kita. Bila ada bagiannya yang belum clear secara logika, maka janganlah itu menghambat keimanan kita untuk tetap meyakini khazanah dalil tersebut sebagai kebenaran sejati, sumber dan dasar bagi seluruh way of life kita.
Ketika dulu logika musyrik tak mampu mencerna logika al-Qur’an untuk hanya menyembah satu Tuhan, Allah Ta’ala, dalam jiwa mukmin tiada sikap dan langkah lain kecuali sami’na wa atha’na. Logika manusia hendaknya tunduk di bawah logika nash. Andai begitu yang dulu mereka lakukan, maka mereka akan berada sebarisan dengan para sahabat Kanjeng Nabi Saw.
Pun hari ini….
Kita mungkin tak lagi bergulat dengan soal logika tauhid begitu, tetapi mesti kita akui bahwa senyatanya kita masih kerap berjibaku dengan pelbagai benturan antara logika manusia dengan logika al-Qur’an itu.
Mari ambil contoh soal logika humanisme (kemanusiaan).
Kendati al-Qur’an mengajarkan “la ikraha fid din, tidak ada paksaan dalam memeluk agama”, tidak berarti al-Qur’an membenarkan semua agama. Tidak. Agama yang benar di sisi Allah Ta’ala, menurut al-Qur’an, adalah agama Islam. “Innad dina ‘indaLlahi Islam, sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama Islam” (QS. Ali ‘Imran 19). Saya telah mempelajari dan menggali begitu banyak khazanah kitab tafsir, dari klasik sampai kontemporer, dan kesimpulannya adalah ya demikian adanya (sebagaimana yang saya tuliskan dengan terang).
Adanya pemahaman yang mengisyaratkan (atau mengatakan dengan terang) bahwa ayat la ikraha fid din (QS. Al-Baqarah 256) tadi sebagai penerimaan al-Qur’an kepada semua agama dan keyakinan–sehingga seolah semua benar atau semua diterima—hanya mungkin terjadi akibat pembacaan sepenggal terhadap ayat tersebut.
Ayat tersebut (QS. Al-Baqarah 256) semestinya tidak dibaca terputus begitu, tapi diteruskan sampai penuh, sehingga pemahaman yang didulang menjadi: “Oke, terserah kalian mau mengambil agama selain Islam, tidak ada paksaan memang dalam menganut agama, akan tetapi sungguh telah terang (berdasar al-Qur’an dan sunnah Kanjeng Nabi SAW) mana agama yang benar dan mana agama yang tidak benar–dan tentu saja pilihan kalian akan mendampakkan konsekuensi di kemudian kelak.” Begitulah logika al-Qur’an perihal kebenaran agama Islam ini di hadapan pilihan-pilihan keyakinan atau agama lainnya yang mana saja.
Lantas, logika manusia kini merunyak ke mana-mana sampai pada penyimpulan logis bahwa semua agama sama baiknya, sama benarnya, sama selamatnya. Di antara dasar yang dijadikan tashih logikanya ialah logika kemanusiaan.
Sebutlah misal, seseorang lahir dari keluarga muslim, maka ia tumbuh dan besar menjadi muslim. Bagaimana jika Anda lahir di keluarga selain Islam, bukankah kasihan sekali nasibnya kelak? Lagi pula, kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita lahir dan berasal, bukan? Belum lagi betapa banyak orang selain Islam yang baik perilakunya, bukan? Dan sebagainya.
Inilah logika humanisme yang banyak kita anut kini, walau kita tahu bertabrakan dengan logika al-Qur’an.
Mari ambil contoh logika lain.
Hari ini urusan menikah menjadi sedemikian penuh syarat. Sampai-sampai, sebagian syarat yang dipatok menjadikannya kesulitan sendiri. Misal, gaji/pendapatan harus sekian digit.
Logika manusia kontemporer ini pada dasarnya boleh saja, ya baik saja, sebagai bagian dari persiapan untuk memasuki pernikahan dengan sebaik-baiknya agar kelak memudahkan jalan bagi pencapaian keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Oke.
Namun, ada pelbagai blunder yang kemudian menjebak orang-orang itu sendiri sehingga membuatnya “kesulitan sendiri” di satu sisi dan rawan melanggar ajaran al-Qur’an di sisi lain.
Pertama, surat An-Nur ayat 33 menyerukan orang-orang yang belum mampu, belum siap, untuk menikah, wajib menjaga kesuciannya (syahwat). Dalam hadis sampai disebutkan terang dengan “bagi yang belum mampu menikah, berpuasalah”.
Ayat ini mengakomodir usaha persiapan-persiapan untuk memasuki pernikahan–dalam bahasa ayat, “sampai Allah Ta’ala memampukannya dengan karuniaNya (untuk menikah).” Namun ada satu syarat yang sangat tegas: jagalah kesucian, syahwatmu.
Hari ini kita menyaksikan dengan luas betapa saking terlampau meroketnya syarat-syarat yang dipatok untuk menikah, seseorang mengalami kesulitan sendiri untuk tergolong “mampu menikah”, sehingga ia tak kunjung melangsungkan pernikahan. Tepat di sisi itu, ia bersikap kendor kepada “walyasta’fif, menjaga kesuciannya”. Walhasil, kita bisa menebak kondisinya: nikah tak kunjung dilakukan, pacaran terus dijalankan, syahwat terus dilanturkan….
Kedua, logika manusia yang dianut pada konteks tersebut adalah “makin matang dan mapan persiapan menikah, maka makin besarlah peluang meraih pernikahan yang sakinah mawaddah wa rahmah”. Sebuah maqam pernikahan yang diimpikan semua orang, tentu saja.
Tetapi, logika luhung begini–atau, dipandang luhung—seketika mendampakkan benturan dengan logika al-Qur’an, walyasta’fif (jagalah kesucian dengan sungguh-sungguh) tadi. Akar letupannya ialah dibutuhkannya waktu yang makin panjang dalam meraih persiapan-persiapan yang mapan dan mantap tadi–umur bertambah banyak, syahwat makin bergelora sulit terkedali—dan perintah menjaga kesucian diri dengan sungguh-sungguh. Inilah tricky-nya: tentu saja, makin lama dan intens dua lawan jenis berkumpul, bersama, maka makin terbukalah pintu bagi pelanggaran-pelanggaran kesucian tersebut. Dan seterusnya, sampai ketika zina pertama telah dilakukan, maka terbentanglah zina-zina berikutnya dan terus berikutnya….
Faktanya, dan tentu sayangnya, fenomena demikianlah yang luas dianut hari ini sebagai logika yang bagus dan mantap. Demi mentashih perilaku yang mutlak melanggar al-Qur’an ini, sebagian lalu membuhulkan jargon-jargon logika berikutnya yang seolah menjadikan perbuatan melenceng itu sebagai benar dan tidak apa-apa.
Misal, “sexual consent”, dan sebagainya. Seolah, dari logika manusia ini, hubungan seksual di luar nikah sekalipun bisa diterima untuk dilakukan (tegasnya: tidak apa-apa, bukan masalah) asalnya berdasar sexual consent, suka sama suka, awareness, penuh kesadaran; yang masalah, salah, adalah hubungan seksual (di dalam atau luar pernikahan) yang dilakukan tanpa adanya consent.
Lalu bandingkanlah dengan logika al-Qur’an: “walyasta’fif, jagalah kesucianmu” dan “wala taqrabuz zina, jangan mendekati zina”.
Baca Juga, Hadis Arbain: Bahkan Kelon Pun Bisa Bernilai Sedekah
Dengan dalih logika kemanusiaan, yang disebut wajib dijaga (walyasta’fif) dan haram (taqrabuz zina) oleh logika al-Qur’an disekiankan, ditenggelamkan. Bagaimana mungkin seorang muslim, seorang mukmin, meninggalkan logika al-Qur’an demi mengangkat logika lainnya, sebutlah logika kamanusiaan, lalu mengatakannya “tidak apa-apa”, padahal jelas-jelas ada hamparan ketidaksejajaran di dalamnya?
Persis serupa itulah dulu, secara esensial, kaum musyrik mengemukakan logika syiriknya kepada Kanjeng Nabi SAW dengan membantah logika al-Qur’an, logika tauhid, yang hari ini dari frame logika mutakhir kita pandang sebagai keluputan, dan bahkan kelucuan. Jangan-jangan, diam-diam kita telah kembali menjadi kaum lucu tersebut, ya….
“Kaburat kalimatan takhruju min afwahihim, in yaquluna illa kadziba, alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka, mereka tidak mengetakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS. Al-Kahfi 5).