Jika kita mencermati dinamika kehidupan berislam kita hari-hari ini, yang tampak adalah seolah-olah urusan Islam hanyalah berupa permasalahan peribadatan yang ritualistik semata. Ibarat kata, saat ini, umat Islam adalah umat yang lupa daratan. Umat yang hidup di bumi, namun pikiran dan sikap-sikapnya masih mengawang-awang di langit. Yakni, umat yang hanya asyik dengan ibadah vertikal, namun kurang dengan ibadah horizontal atau sosial.
Sesungguhnya, tak ada yang salah bagi umat Islam beribadah secara vertikal kepada Allah Swt. Namun, yang menjadi soal adalah ketika yang dikerjakan oleh umat hanya semata-mata urusan ibadah vertikal saja. Padahal, Islam sendiri tak hanya mewajibkan ibadah vertikal saja, namun Islam juga mendorong umatnya untuk perhatian dengan soal-soal ibadah sosial.
Dalam terminologi kalangan Ahlussunah Waljama’ah ada istilah “hablum min Allah” dan “hablum min an-nas”. “Hablum min Allah” merupakan sisi di mana kita sebagai umat Islam untuk senantiasa bertakwa kepada Allah Swt dan menjauhi segala larangan-larangannya. Kemudian, ”hablum min an-nas” meruspakan sisi di mana kita sebagai umat Islam juga harus menjalin relasi kepada sesama manusia.
“Hablum min an-nas” secara luas dapat dimaknai sebagai kepedulian umat Islam kepada sesama manusia. Kepedulian kemanusiaan itu berupa kepekaan sosial terhadap kesusahan-kesusahan yang dialami oleh orang-orang sekitar di mana umat Islam itu hidup. Dengan demikian, umat Islam harus memiliki daya kritis terhadap problem-problem sosial yang sedang menindas masyarakat dan kemudian membebaskannya.
Praktik kepekaan umat terhadap ketertindasan, dalam sejarah Islam secara gamblang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika membebaskan budak bernama Bilal bin Rabah. Semasa itu, Bilal mencurahkan tenaganya untuk melayani salah seorang elit bangsawan Arab yang menjadi tuannya. Namun, selama bekerja tersebut Bilal sama sekali tidak pernah digaji. Ibaratnya, Bilal bagi tuannya hanya dianggap sebagai barang kepemlikan semata, seperti hewan peliharaan.
Berdasar landasan kewajiban kita sebagai umat untuk ber-hablum min an-nas dan landasan kesejarahan yang telah diteladankan Rasulullah Saw, maka saat ini kita diharuskan untuk membaca relasi-relasi sosial yang saat ini menindas.
Jika dulu ada Bilal yang tak diupah oleh majikannya, kini sebenarnya masih ada Bilal-Bilal lain yang mengalami nasib yang kurang lebih serupa. Meskipun bentuknya kini tidaklah perbudakan –karena telah dihapuskan-, namun problem pengupahan yang tidak layak masih menjadi problem kaum buruh industri saat ini.
Pengupahan buruh saat ini oleh pemerintah diatur melalui upah minimum: upah minimum regional (UMR), upah minimum kota (UMK) dan upah minimum provinsi (UMP). Upah minimum menjadi acuan bagai kalangan pengusaha untuk memberikan minimal gaji kepada para tenaga kerjanya atau buruhnya.
Yang menjadi soal adalah standarisasi upah minimum tersebut sangatlah terlampau minimalis untuk memenuhi kebutuhan hidup para pekerja. Secara kasar, jumlah upah minimum tersebut hanya sekedar cukup untuk biaya ngekos dan makan sehari-hari buruh selama sebulan. Jumlah upah minimum tersebut tak pernah mencakup kebutuhan sandang, kesehatan, dan pendidikan anak-anak buruh.
Jumlah upah minimum yang jauh dari kelayakan tersebut tentu saja secara struktural akan membuat keluarga-keluarga buruh selamanya hanya akan terus menjadi buruh. Anak buruh akan kurang memiliki gizi yang baik, di masa depan memengaruhi kecerdasan dan kesehatannya. Penghasilan buruh juga kecil kemungkinan memberangkatkan anak ke bangku kuliah. Dengan keterbatasan pendidikan, tak memungkinkan bagi anak buruh untuk melakukan kenaikan kelas sosial untuk hidup secara lebih layak.
Selain itu, problem ketertindasan kaum buruh tampak pada trend kontrak kerja outsourcing di mana buruh hanya menjadi pekerja kontrak. Kontrak kerja yang hanya kisaran dua tahunan tersebut menjadikan kaum buruh ini kesulitan mendapatkan pekerjaan baru setelah kontrak kerjanya telah habis dengan perusahaan sebelumnya.
Kontrak kerja outsourcing inilah yang menjadi landasan bagi para pengusaha untuk mengabaikan jaminan kesehatan kepada pekerja. Pekerja hanya dianggap pekerja paruh waktu yang keselamatan jiwanya tak dijamin oleh perusahaannya. Padahal, pekerjaan kaum buruh ini adalah pekerjaan yang penuh resiko karena bersentuhan langsung dengan zat kimia berbahaya dan mesin-mesin produksi.
Terlebih lagi, dengan Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law yang belakangan ini sedang digodok oleh Wakil Rakyat itu semakin memperparah posisi sosial buruh. Melalui Omnibus Law, bahkan buruh tak hanya bisa dipekerjakan secara outsourcing, namun buruh juga dapat dipekerjakan secara harian ataupun secara pengupahan tak ada lagi standarisasi upah minimum. Jadi, jika semasa adanya upah minimum saja tak dapat mencukupi kebutuhan hidup, apalagi jika itu dihapuskan. Memprihatinkan, bukan?
Melihat kondisi sosial ketertindasan kaum buruh yang sedemikian memprihatinkan tersebut, umat Islam nampaknya harus menambah medan perjuangannya. Jika sebelumnya, umat Islam hanya semata beribadah secara vertikal yang hanya sibuk dengan urusan ritual ibadah, kini umat juga harus melaksanakan ibadah-ibadah horizontalnya. Tidak hanya sedekah, juga termasuk membela kepentingan kaum buruh.
Terlebih lagi pada momen hari buruh sedunia seperti saat ini, keberpihakan umat Islam kepada kaum buruh sangat dibutuhkan, yakni turut membela kepentingan-kepentingan kaum buruh tersebut. Ibaratnya, pada hari buruh kali ini kita sedang turut memperingati peristiwa pembebasan yang dilakukan Rasulullah Saw kepada Bilal bin Rabah.
Jika sebelumnya umat Islam hanya semata membela Tuhan, kini saatnya kita juga membela kaum buruh yang tertindas. [rf]