Makan adalah kebutuhan jasmani. Sedikit makan, tubuh kita tak kuat bertahan lama, karena tubuh butuh energi dan energi bisa didapatkan dari makanan. Umumnya, orang akan mengisi perutnya tiga kali dalam sehari, kecuali bagi orang yang berpuasa. Kebiasaan ini hampir dilakukan oleh semua orang di dunia.
Namun nampaknya hal itu tidak berlaku bagi ulama ini. Namanya Abuts Tsana al-Asbahani. Ia lahir di Asbahan tahun 674 Hijriah. Ia seorang ahli tafsir, fikih dan usul fikih. Bahkan ia merupakan salah satu tokoh madzhab Syafii.
Ia menimba ilmu di daerahnya, Asbahan. Setelah mahir dan menguasai beberapa ilmu. Ia merantau ke negeri Damaskus setelah sebelumnya mengunjungi al-Quds di Palestina.
Dalam penuturan Ibnu Taimiyah yang pernah berguru kepada beliau saat mengunjungi Damaskus. Abuts Tsana al-Asbahani adalah seorang yang sangat berkompeten di bidangnya.
Suatu hari Ibnu Taimiyah sempat menegur beberapa orang karena berisik saat hadir di majelis ilmu Abuts Sana al-Asbahani. Ia mengajak mereka untuk menghormati kehadiran dan majelis Abuts Sana yang mulia.
“Diamlah kalian! Sehingga kita bisa mendengarkan penjelasan orang yang mulia ini,” ujar Ibnu Taimiyah.
Dalam penjelasan Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah yang ia tulis dalam karyanya Qimatuz Zaman, disebutkan bahwa Abuts Sana adalah sosok yang sangat menghargai waku untuk mengajar dan belajar.
Menurut para muridnya, Abuts Sana al-Asbahani adalah seorang yang sedikit makan. Baginya, makan dan minum membutuhkan waktu sendiri, yang bagaimanapun mengurangi waktu belajar dan mengajarnya. Untuk itu, ia sangat sedikit makan. Jika ia makan makanan yang banyak, maka ia juga akan minum banyak. Jika makan dan minum terlalu banyak, maka akan sering pula pergi ke toilet.
Baca Juga: Surat untuk Kita yang Rakus atas Alam
Hal semacam ini tentu sangat wajar bagi para ulama masa lalu. Mengingat toilet pada masa lalu tidak seperti toilet masa sekarang. Jika masa sekarang toilet sudah ada di dalam rumah, bahkan di dalam kamar, pada masa lalu toilet kadang jauh di luar rumah. Untuk itu lah para ulama ini merasa jika harus sering pergi ke toilet akan membuang banyak waktu mereka untuk belajar dan mengajar.
Begitu lah para ulama masa lalu. Bagi mereka waktu sangat penting. Kita mungkin tidak bisa mencontohnya secara persis, seperti dengan menyedikitkan makan, karena porsi setiap orang berbeda-beda. Namun kita harus tetap mengambil inti dari kisah ini, yaitu sikap kita dalam menghargai waktu. Misalnya, jika setiap hari kita hanya rebahan saja, maka kita perlu sadar dan bangkit. Sebaiknya mencari kegiatan lain yang bermanfaat, syukur-syukur kegiatan tersebut bisa menghasilkan ilmu atau rejeki bagi kita. (AN)
Wallahu a’lam.