Indonesia telah berhasil menyelenggarakan sebuah hajatan besar demokrasi. Berbeda dengan sebelumnya, pemilu kali ini sungguh sangat menguras energi, emosi bahkan hingga merenggut beberapa nyawa manusia. Pesta demokrasi yang harusnya gegap gempita penuh aroma riang gembira menjadi begitu mencekam. Ini terjadi terutama karena beberapa pihak memainkan isu SARA secara berlebihan.
Fitnah, berita bohong, hoax dan caci maki menjadi bumbu pesta demokrasi yang menyebabkan pesta kali ini berbau anyir. Tak jarang terdengar beberapa pihak memainkan isu sentimen agama dengan memakai slogan serta jargon khas agama tertentu, terutama Islam. Mulai dari dipakainya term jihad, bela agama, hingga ijtimak ulama yang berjilid-jilid.
Namun seperti kata Rhoma Irama bahwa pesta pasti berakhir. Hajatan besar itu telah kita lalui dengan suka duka serta kekurangan dan kelebihannya. Perpecahan yang timbul akibat pilihan politik yang berbeda harus segera diperbaiki. Persaudaraan dan persahabatan yang sempat retak akibat perbedaan pandangan harus segera dikuatkan kembali.
Beberapa dari kita yang sempat terjerumus terlalu jauh hingga mengalami fanatik buta, harus segera disadarkan kembali. Bahwa persaudaraan, persahabatan lebih penting dari sekedar fanatisme yang tak jelas tujuannya. Ulama pun harus mengambil tanggungjawabnya kembali sebagai pemandu visi umat. Lalu apa tugas ulama setelah pemilu ini?. Mari merujuk pada Alquran surat Al Hujurat ayat 9 sebagai panduannya.
(Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!. Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.)
Benar, bahwa ayat ini mengingatkan tentang hal yang harus dilakukan ketika terjadi peperangan antar kedua golongan kaum muslim. Kita juga harus memahami, bahwa nyatanya pemilu bukanlah perang. Namun ayat ini sangatlah sesuai dengan konteks perpecahan umat pasca pemilu ini.
Dalam menjelaskan ayat ini, al-Baydhawiy menjelaskan dalam kitab tafsirnya Anwar al Tanzil wa Asrar al Ta’wil tentang kewajiban mengingatkan kedua belah pihak untuk berdamai dengan nasehat dan ajakan untuk kembali pada hukum Allah ketika dua golongan kaum muslim saling memerangi. Namun jika salah satu melanggar perjanjian yang disepakati, maka harus ada tindakan tegas untuk memaksanya kembali pada perjanjian dan menjalankan kembali hukum Allah.
Sedangkan dalam tafsir Marah Labid karangan ulama Nusantara Syaikh Nawawi al Bantaniy dijelaskan tentang beberapa riwayat turunnya ayat ini. Di antaranya adalah riwayat yang menceritakan bahwa ayat ini turun ketika suatu saat Rasulullah melewati Abdullah bin Ubay bin Salul yang merupakan pembesar suku Khazraj sembari mengendarai keledai.
Tiba-tiba di depan Abdullah bin Ubay, keledai Rasulullah kencing. Mengetahui itu, Abdullah bin Ubay menutup hidungnya sembari mengusir Nabi. Pada saat itu, Abdullah bin Rawahah yang berasal dari suku Aus mengatakan bahwa kencing keledai Rasulullah lebih wangi dari minyak Misik. Maka beberapa orang dari kaum mereka (Aus dan Khazraj) saling bertengkar dengan tangan, sandal bahkan pedang. Ada pula beberapa riwayat tentang ayat ini dengan versi berbeda.
Namun, secara garis besar Imam Nawawi menjelaskan kandungan ayat ini adalah perintah untuk mendamaikan dua pihak kaum muslim yang berselisih atau berperang, dengan nasehat dan ajakan kembali pada hukum Allah. Namun jika salah satunya mangkir dan tetap berbuat zalim, maka golongan itu harus diperangi hingga menyetujui perdamaian. Karena sejatinya perdamaian antar muslim adalah perintah. Jika dua golongan itu sudah berdamai, maka hendaklah segala sesuatu diputuskan dengan adil.
Atas landasan ayat ini, maka setelah pilpres atau pemilu ini tugas berat ulama adalah menginisiasi rekonsiliasi dalam internal umat Islam maupun antar umat beragama. Sangatlah tidak layak, jika seseorang mendaku dirinya ulama tapi alih-alih menginisiasi islah dan perdamaian umat, namun justru menjadi provokator perpecahan umat.
Perjuangan dalam menjalin rekonsiliasi dan perdamaian umat, tentu lebih layak disebut sebagai jihad. Daripada menghamba pada nafsu kekuasaan dengan cara memprovokasi dan menyebabkan umat terombang-ambing dan terpecah belah.
Jika pada awalnya kita sepakat untuk mengawal serta turut serta memperjuangkan proses demokrasi melalui mekanisme pemilihan umum. Tentunya kita harus terus sepakat dengan mekanisme penyelesaiannya. Termasuk penyelesaian sengketa di dalamnya. Para ulama tentu harus memberi contoh, bagaimana berbangsa dan bernegara yang baik, menjadi warga negara yang baik dan taat pada hukum.
Wallahu A’lam