Tepat hari pada Juma’at kemarin saya melakukan silaturrahim ke Kantor Dewan Redaksi Majalah Risalah di gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), guna menghadiri Studium General dan bedah buku soal sufisme dalam kehidupan modern, serta tuntutannya dalam menangkal radikalisme agama. Pada saat yang sama tapi di ruangan yang berbeda, ada acara yang menurutku juga tidak kalah penting, yakni soal keterikatan genealogi ilmu-ilmu agama, atau dalam bahasa arabnya dikenal dengan Ijazah al-Sanad.
Hal itu merupakan pijakan yang bersifat fundamental dan banyak dilakukan oleh para ulama-ulama ahlusunnah wal jamaah, terutama para kyai sepuh yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Dikatakan demikian, karena hampir mayoritas kyai-kyai sepuh NU memiliki transmisi sanad yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan sampai kepada Rasulullah s.a.w.. “Al-Sanadu min al-Din Laula al-Sanad la Qaala man Sya’a bimaa Syaa’a,” begitulah kira-kira petikan dari pernyataan Abdullah bin Mubarak yang mempunyai arti: “Sanad (ilmu agama) merupakan bagian dari agama, karena kalau tanpa sanad tersebut, niscaya seseorang akan berkata sesuai dengan apa yang diinginkan”.
Bagi sebagian santri yang pernah mengkaji kitab Ithaf Sadah al-Muttaqin karya Syekh Murtadha al-Zabidi atau Kifayah al-Mustafid lima ‘Alaa min al-Asaanidkarya Syekh Mahfudz Termas, maka petikan dari pernyataan Abdullah bin Mubarak tersebut dengan mudah ditemukan. Lalu timbul pertanyaan, setiap ilmu agama yang sudah mengalami institutization (pelembagaan) ke dalam beberapa epistemologi dengan teori argumentatif yang mengiringinya, serta nilai-nilai aksiologi yang jelas. Sehingga ilmu-ilmu itu tetap ada dan eksis hingga kini, paling tidak ada ontologi dasar yang melatarabelakanginya. Lalu apakah pijakan dasarnya?
Segala bentuk pengetahuan yang ada di dunia ini memang ada pijakan dasarnya, tidak terkecuali dengan sanad. Di dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya imam besar, salah satuMujtahid Mustaqil yang pertama dalam hierarki madzhab fiqih Islam, yakni Abu hanifah bin Nu’man. Ia mengutip sebuah ayat pada surat al-Ahzab ayat ke 23 yang berbunyi: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah”.
Sekilas jika kita pahami makna ayat ke 23 dari surat al-Ahzab tersebut adalah secara spesifik berbicara karakteristik sebagian orang-orang mukmin yang dinilai sebagai orang yang mampu menepati janji. Penulis sendiri memahami karakter orang yang demikian itu dengan manusia yang layak dipercaya, karena kalimat sadaqu berasal dari kata shadaqaYasduqu yang berarti benar.
Di samping ayat yang telah penulis sampaikan di atas, di mana hal tersebut menjadi dasar dari ilmu sanad itu sendiri, Syekh Mahfudz Termas menjelaskannya dengan mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Dailami dari Ibnu Umar: “Ilmu itu bagian dari agama, shalat pun juga merupakan bagian dari agama. Maka perhatikanlah secara seksama dari siapa kalian memperoleh ilmu (tentang shalat) itu”.
Di dalam hadis yang lain dan senada dengan apa yang menjadi pembahasan tulisan ini adalah: “Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihatku shalat.”
Jikalau kita memahami dengan sungguh-sungguh maksud dari kedua hadis di atas sebenarnya lafadz kedua-duanya mengisyaratkan kandungan atas makna-makna tertentu. Dengan kata lain kedua hadis tersebut tidak bisa kita pahami secara tekstual semata.
Hadis yang pertama jika dipahami secara sederhana maksudnya adalah ilmu syariat yang berlandaskan pada al-Qur’an maupun al-Sunnah merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari agama Islam. Oleh karena itu pada hadis yang pertama dengan tegas Rasulullah mengilustrasikan ilmu dipadankan dengan shalat, supaya umatnya kelak tidak sembarangan dalam memilih guru. Kemudian hadis pertama tersebut diperkuat oleh hadits kedua, di mana pengertiannya secara umum hendaknya umat Islam mengerjakan shalat sebagaimana nabi melakukan shalat.
Walaupun redaksi hadis yang kedua ini, nabi sendiri yang memerintahkan kepada sahabat, namun secara aplikatif juga berlaku pada umatnya saat ini. Pertanyaannya adalah dari mana kita melihat secara langsung bagaimana Nabi shalat, sedangkan kita merupakan umat Islam yang hidup sekitar empat belas abad pasca wafatnya Nabi Muhammad?
Jawabannya adalah dengan transmisi sanad di mana ajaran yang dibawa oleh Rasulullah secara genealogis diwariskan kepada para sahabat, kemudian para sahabat mewariskannya kepada para tabbi’in. Para tabi’in mewariskannya kepada tabiit tabiin, dan tabiit tabi’in mewariskannya kepada para ulama dan para ulama mewariskannya kepada genarasi ke generasi sampai kepada kita saat ini. Dengan demikian, maka ijazah sanad dalam dinamika keilmuan Islam merupakan sesuatu yang sangat penting.
Kitab al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah secara umum berbicara dasar-dasar ajaran agama, di mana dalam Islam itu sendiri setidaknya ada tiga poin pokok dasar, yakni akidah, syariat, dan akhlak. Namun walau begitu, Imam Abu Hanifah sendiri tidak membahas syariat yang identik kajian fiqih sebagaimana tercantum di dalam judul karyanya itu. Aspek yang ditekankan oleh Abu Hanifah lebih kepada ushuluddin dan penjabaran dari rukun iman yang enam.
Berangkat dari pentingnya ushuluddin dan pemantapan rukun iman yang terangkum dalam al-Fiqh al-Akbar itulah, Syekh Dr. Sayyid Salim Ulwan al-Husaini, mengijazahkan sanad kitab tersebut setelah melalui metode talaqqi kepada seluruh hadirin yang mayoritas para kyai dan ulama di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Wallahu A’lam. []
Mohamamd Khoiron adalah Pegiat Islamic Studies. Bisa ditemui di linimasa @MohKhoiron