Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyetujui usulan pembuatan terowongan yang menghubungkan dua rumah Ibadah: Masjid Istiqlal dengan Katedral yang berada persis di sebelah timur seberang masjid. Terowongan ini kabarnya akan dinamai “Terowongan Silaturahmi”.
“Sudah saya setujui sekalian, sehingga ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi,” kata Presiden Jokowi selepas meninjau proyek renovasi Masjid Istiqlal, Jum’at (7/2). Turut mendampingi Presiden dalam peninjauan tersebut adalah Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Agama Fachrul Razi, dan Menteri Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat Basuki Hadimulyono.
Ini tentu saja kabar menggembirakan. Soalnya, tentu saja ia bisa dibaca sebagai petanda atau simbol adanya kerukunan antar-umat beragama. Dengan simbol itu boleh jadi dibayangkan bahwa antara umat Muslim dengan Katholik, misalnya, akan bisa bertemu.
Masalahnya, pertemuan jenis apa yang bisa diharapkan dari sebuah silaturahmi yang terjadi di terowogan atau jembatan bawah tanah, kalau bukan pertemuan off the record, darurat, atau genting?
Begitulah. Secara metafora, gagasan untuk Terowongan Silaturahmi ini terus terang buruk. Lebih jauh, kalau dengan adanya terowongan itu sebatas dimaksudkan sebagai glorifikasi bahwa Jakarta secara khusus atau Indonesia umumnya adalah ikon kerukunan, sepertinya nanti dulu. Fakta di lapangan seringkali menunjukan hal yang sebaliknya.
Memilih pemimpin beda agama saja kita masih belum selesai, kok. Belum lagi ngomong-ngomong soal perusakan rumah ibadah, kemudian penutupan d/a penyegelan Gereja oleh sebagian umat Muslim, dan sebagainya merupakan indikator bahwa kita sebetulnya tidak serukun yang dibayangkan.
Malahan, kalau lebih di-zoom in lagi, sebetulnya masih banyak kasus-kasus intoleransi yang terjadi baik di level lokal, inter-lokal, atau nasional. Mengutip laporan Imparsial, misalnya, telah ditemukan 31 kasus intoleransi di Indonesia sepanjang November 2018 hingga November 2019. Dan, kebanyakan kasus tersebut berkibar pada soal pelarangan ibadah.
Selebihnya, adalah perkara perusakan rumah ibadah dan kasus pelarangan kebudayaan etnis tertentu. Lebih parah lagi, sehubungan dengan aturan tata cara berpakaian keagamaan, imbuan mewaspadai aliran tertentu, serta penolakan bertetangga dengan agama lain juga merupakan sederet laku intoleransi yang mewarnai perjalanan bangsa ini setahun lalu.
Apakah itu salah negara? Sebetulnya tidak juga. Namun, naiknya intensitas politisasi agama yang pernah dan sering digelorakan oleh sebagian elite atau politisi yang kini tengah menikmati empuknya kursi atau ruangan ber-AC di Ibu Kota jelas memiliki sumbangsih penting terhadap laku ke-tidak-rukunan antar-umat beragama.
Kembali ke terowongan silaturahmi. Mengapa antara dua rumah ibadah itu harus dihubungkan? Bukankah itu malah menunjukan satu absurditas?
Maksudnya, gereja itu satu hal, dan masjid adalah satu hal lain. Keduanya mewakili iman jama’ahnya masing-masing. Kalaupun mereka bertemu itu pastinya bukan di terowongan. Tetapi, keduanya memang telah bertemu secara geneaologis di risalah tauhid Nabi Ibrahim.
Lagi pula secara fungsional, belum jelas alasan pastinya. Yang ditampilkan di berita-berita adalah sebatas bahwa gagasan terowongan itu membersamai renovasi Masjid Istiqlal yang telah dimulai sejak Mei 2019 dan ditargetkan rampung sebelum bulan Ramadhan 2020, serta memakan anggaran sebesar Rp. 475 Miliyar, (Media Indonesia, 08/02).
Karena keambiguan itu, bukan tidak mungkin jika terowongan silaturahmi ini kelak sebatas dimaknai sebagai wahana wisata kekinian, tempat orang berswafoto, narsis, dan lalu memameran dirinya telah toleran lewat pengabadian gambar diri di Terowongan Silaturahmi.
Meski begitu, kita memang tidak selayaknya mencurigai berlebih apa yang telah dibisik-usulkan kepada Presiden Jokowi. Gagasan terowongan itu pastilah telah melewati kajian dan uji-riset yang ketat, sehingga pembangunan terowongan ini pun menjadi masuk akal dan perlu.
Barangkali saja dengan dibangunnya Terowongan Silaturahmi ini ke depan bisa memfasilitasi mereka yang, misalnya, hendak menikah tetapi beda agama. Bagi seorang Albertus yang hendak menikahi Fulanah, umpamanya, upacara pernikahan itu mutlak di Gereja. Sebaliknya, Fulanah merasa bahwa akad nikah itu ya semestinya berlangsung di masjid.
Nah, daripada bingung-bingung melangsungkan upacara pernikahan tapi kedua mempelainya tetap ngotot berlangsung di rumah ibadahnya masing-masing, Terowongan Silaturahmi ini bisa menjadi infrastruktur pemecah kebuntuan tanpa harus mengorbankan iman masing-masing mempelai. Brilian bukan?