Indonesia lagi-lagi dikejutkan dengan aksi terorisme yang terjadi di Plaza Sarinah 14 Januari 2016 lalu. Tentu saja kita masih ingat beberapa tahun sebelumnya, juga terjadi aksi teror seperti bom Bali I (2002), bom Bali II (2005), Hotel JW Marriot (2009) dan menelan banyak korban jiwa. Tindakan teror yang mengatas namakan ajaran atau akidah tertentu tidak dibenarkan di dalam agama. Almarhum Gus Dur pernah berujar, “Tuhan tidak perlu dibela.”
Itu merupakan kritikan pedas terhadap para pelaku teror yang melancarkan aksinya guna menebar ketakutan dan kebencian terhadap agama tertentu. Provokasi sepertinya memang sengaja dilakukan dengan maksud dan tujuan memecah belah tali persaudaraan antar umat beragama. Terlepas dari itu semua, tindakan teror sudah menghianati nilai kemanusiaan (Human Value) yang selama ini dijadikan sebagai payung teduh dalam berinteraksi dengan sesama.
Satu hal yang pasti, semua agama mempunyai perbedaan (Akidah) sekaligus persamaan (Nilai-nilai Universal seperti Kemanusiaan, persaudaraan). Sehingga sesuatu yang sama dalam setiap agama jangan dibeda-bedakan lagi, begitu juga sebaliknya, sesuatu yang berbeda jangan disama-samakan. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan atau perdebatan mengenai perbedaan akidah.
Pertentangan memang seringkali muncul dalam hal akidah atau keyakinan akan tetapi hal tersebut tidak dijadikan sebagai sebuah perdebatan, masih ada nilai kemanusiaan dan toleransi yang bisa dijadikan sebagai pemersatu dari perbedaan tersebut. Lakum Dinukum Waliyadin, untukmu agamamu, untukku agamaku (Qs. Al Kafirun:6). Barangkali sesuatu yang bisa pelajaran adalah orang lain tidak butuh tau apa agamamu, akan tetapi orang lain hanya ingin tau akhlak terpujimu.
Toleransi dan menghargai sebuah perbedaan akan memberikan pandangan teduh mengenai perbedaan tajam tentang agama. Dalam islam, perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan karunia dari Tuhan yang harus disyukuri sebagai sebuah nikmat. Bukannya menjadikan perbedaan sebagai sebuah pertentangan yang harus diperdebatkan untuk mencari yang benar dan yang salah.
Pendangkalan terhadap pemahaman agama
Terorisme merupakan sebuah usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu. Sedangkan Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Radikalisme dan terorisme merupakan ancaman yang nyata bagi stabilitas keamanan dunia Global. Tindakan tersebut mempunyai dampak signifikan terhadap perkembangan perekonomian dan politik suatu negara.
Kekerasan yang mengatasnamakan agama atau keyakinan sering sering dikaitkan dengan radikalisme dan terorisme. Semenjak dicetuskannya program Global War on Terror (GWoT) oleh Amerika Serikat setelah peristiwa 11 September 2001. Label kekerasan dan ekstrimisme yang melekat menciptakan pandangan atau asumsi bahwa antara radikalisme dan terorisme (khususnya yang mengatasnamakan agama) memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Ada beberapa factor yang melatarbelakangi ini. Pertama pemahaman tentang ajaran agama yang masih dangkal. Hal ini dapat mengakibatkan penjalanan ajaran yang secara kaku dan tekstual. Kedua, kesenjangan ekonomi yang semakin tajam antara kaya dan miskin. Pertentangan kelas sosial menjadi penyebab munculnya perjuangan kelas seperti halnya yang sudah digambarkan oleh Karl Marx.
Ketiga, stabilitas politik sebuah negara menjadi harga mati untuk menjamin kelangsungan hidup rakyat dengan damai dan sejahtera. jika negara mengalami krisis kepercayaan dari rakyat maka akan memunculkan sebuah gerakan kritik dan menginginkan adanya perubahan. Perubahan yang diinginkan bisa bersifat radikal atau hanya fungsional saja.
Keempat. Rendahnya pendidikan sehingga mempengaruhi kondisi psikologis orang yang akan masuk dalam kelompok teroris. Minimnya pengetahuan dan wawasan tentang nasionalisme, patriotisme menjadi dampak yang tidak dapat dielakan lagi.
Jika terorisme tidak segera diatasi, bangsa indonesia akan mengalami krisis multi dimensional. Terorisme menyebabkan stabilitas ekonomi politik semakin kacau sehingga investor maupun wisatawan akan susah untuk masuk ke indonesia. Hal tersebut seperti memang disengaja agar Indonesia mendapatkan label sebagai negara sarang teroris.
Pemerintah harus siap dan sigap terhadap aksi terorisme agar tidak mengganggu kenyamanan kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat indonesia. Hukum harus ditegakkan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tidak pidana terorisme. Penjalanan perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pasal, 6, 7, 8 menjadi kewajiban bagi aparat penegak hukum agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya.
Di samping itu pemerintah harus mulai gencar melakukan pencegahan secara massif dan sistematis terhadap terorisme. Bisa saja dilakukan melalui jalur pendidikan dengan memasukkan materi pencegahan terorisme dalam kurikulum, memperkuat basis nilai-nilai pesantren tradisional, melakukan pendekatan persuasif kepada kelompok-kelompok yang mempunyai potensi untuk melakukan aksi teror, serta memperkuat wilayah dengan melakukan deteksi dini tindakan terorisme. []
Syaefuddin Ahrom Al Ayubbi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta