Dalam tulisannya yang berjudul Terrorism and the Mass Media after Al-Qaeda (2008), Manuel Soriano dengan mengutip Marshall McLuhan bilang bahwa “without communication terrorism would not exist". Inti argumennya sederhana: perkembangan teknologi media telah membuat para kerja para teroris untuk menyampaikan pesan-pesan teror menjadi lebih luas, ringkas, dan menjangkau orang secara lebih luas dan efektif.
Soriano mula-mula melakukan analisis atas serangan teroris di Amerika Serikat 11 September 2001. Dari sana ia melakukan analisis bahwa pelaku teror sudah memperhitungkan dengan cermat bahwa lokasi yang akan disasar merupakan tempat strategis bagi liputan media. Tidak hanya bagi media-media besar, tetapi juga bagi orang-orang biasa baik turis maupun penduduk lokal yang bisa mendokumentasikan aksi-aksi tersebut. Tentu saja dengan gambar-gambar dan video yang sensasional, dramatis, dan terutama: penuh cerita personal.
Ihwal personalisasi ini menjadi penting karena dalam kondisi di mana lokasi sangat strategis untuk pemberitaan, media-media akan berusaha tidak melihat dari sudut pandang yang sama seperti jumlah korban, pelaku teror, dan sebagainya. Setelah fakta-fakta keras itu didapatkan, media akan fokus untuk menggali cerita-cerita personal dan membuat cerita menjadi lebih terasa "dekat" bagi publik.
Di televisi misalnya, hal-hal personal ini kemudian menjadi karakter utama pemberitaan karena sulit untuk melakukan analisis mendalam atas apa yang sesungguhnya terjadi secara cepat. Konteks besar faktor-faktor yang memungkinkan terorisme terjadi, atau kenapa aksi teror bisa muncul, di jam-jam pertama pemberitaan hampir pasti diabaikan. Karakter media inilah yang dilihat Soriano menjadi peluang empuk yang bisa dimanfaatkan kelompok teroris untuk mendapatkan perhatian seluas-luasnya. Ini menjadi strategi kelompok teroris terutama pasca serangan di WTC 2001.
Model baru aksi terorisme dengan “membonceng” dan memanfaatkan media ini membuat aksi terorisme menjadi berlipat dua efeknya: tindakan teror itu sendiri dan kerap mengorbankan nyawa, dan selanjutnya ketakutan yang menyelinap dengan cepat melalui media. Kalau kita melihat beberapa berita media hari ini -seperti misalnya TV One yang di menit-menit awal langsung menyebar berita bahwa aksi ledakan juga terjadi beberapa tempat lain selain Sarinah – tesis di atas teruji. Atau kalau sedikit diperluas, media punya peran dalam membentuk stereotipe diskriminatif terhadap orang-orang yang diduga terlibat terorisme (ingat liputan berjam-jam TV One waktu penggerebekan Temanggung beberapa tahun lalu?).
Nah, kemarin saya melihat peran media semacam itu diamplifikasi oleh media sosial. Di menit-menit awal pasca ledakan dan tembak-tembakan, penggalan video, foto-foto kejadian, serta berbagai informasi (hoax ataupun benar) segera menyebar di grup-grup Whatsapp, Twitter, Facebook, Instagram, Path, dan sebagainya.Di jam-jam selanjutnya rentetan analisis dan teori konspirasi sudah jadi dan menjadi makanan siap saji. Berita-berita tahun lalu didaur ulang agar sesuai dengan narasi konspirasi yang dibangun.
Sebagai contoh berita yang didaur ulang misalnya adalah berita tentang larangan travel warning yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat dan Australia terhadap warganya yang ada di Indonesia. Berita yang aslinya bertanggal 6 Januari 2015 (sekali lagi: 2015) disalin oleh beberapa media inteloran dan dibagikan ke jejaring seperti Whatsapp dengan tahunnya sudah diubah menjadi 2016. Klop sudah narasi bahwa negara barat seperti AS dan Australia sudah tahu akan kejadian terorisme tersebut.
Ironisnya, banyak orang membagikan berita tersebut tanpa mau cek lagi ke sumber aslinya. Model semacam ini banyak sekali terjadi di jam-jam setelah terjadi aksi terorisme kemarin. Orang-orang yang membuat kabut asap informasi-informasi palsu memanfaatkan situasi psikologis kita yang masih diliputi kekagetan, ketakutan, kemarahan, juga kengerian. Wajar saja jika orang-orang berpendidikan pun mudah termakan dan membantu menyebarkan informasi-informasi sampah. Di era media sosial, ketakutan sama mudah menyebarnya seperti keberanian.
Tentu saja terorisme di era media sosial juga memunculkan solidaritas bersama semacam tagar #KamiTidakTakut dan foto-foto yang menunjukkan para penjual tetap berjualan seolah tidak terjadi apa-apa, dan sebagainya. Tapi hal semacam itu pun bagi netizen kita adalah isu lanjutan yang layak dijadikan bahan perdebatan dan sinisme demi sinisme lanjutan perkara tagar, perkara bercanda atau selfie di tempat kejadian, dan seterusnya. Perkara ada orang yang tewas dan keluarga yang ditinggalkan itu sudah bukan hal penting lagi. Perkara ada orang-orang di luar sana yang mungkin masih terancam dengan aksi-aksi teror turunan juga tidak perlu diperhatikan. Orang-orang sibuk mempercayai apa yang ingin dipercayai.
Menurut saya, di era media sosial, tujuan para teroris itu (lepas dari apakah ini konspirasi atau pengalihan isu atau apapun) tidak hanya berhasil menyebar ketakutan, tetapi juga menyebar kedunguan massal karena melahirkan rentetan hoax demi hoax yang itu akan sulit disembuhkan. Percaya kepada hoax dan ikut menikmati membaca serta menyebarkan berita-berita palsu adalah penyakit baru di era saat ini.
Saya jadi ingin sedikit menggubah tesis McLuhan di atas, "Without social media and stupidity, terorrism would not exist."
Wisnu Prasetya Utomo adalah Peneliti media Remotivi.