
Republik, dalam imajinasi para pendirinya, bukan sekadar sistem pemerintahan. Ia adalah komitmen moral yang dijelmakan dalam bentuk negara. Sebuah ikhtiar kolektif agar kekuasaan tidak menjelma menjadi dominasi, agar hukum berdiri di atas rasa takut, dan agar perbedaan pandangan tidak berujung pada kekerasan. Namun komitmen itu, seperti yang kita lihat berkali-kali dalam sejarah Indonesia, tidak selalu terwujud dalam praksis.
Ketika kepala babi dikirim ke kantor redaksi Tempo, kita tidak sekadar menyaksikan peristiwa kriminal atau ekspresi intoleransi.
Kita sedang dihadapkan pada kegagalan mendasar republik ini dalam membentuk watak kekuasaan yang mampu menanggapi kritik tanpa menciptakan rasa takut. Yang lebih mencemaskan bukan isi paket tersebut, melainkan respons negara terhadapnya—atau lebih tepat, ketiadaan respons itu.
Alih-alih mengecam dengan jelas, negara memilih untuk menertawakannya. Seorang pejabat tinggi bahkan menyarankan agar kepala itu dimasak saja.
Di situ, bahasa politik mengalami pembusukan: bukan hanya kehilangan sensitivitas, tetapi kehilangan keberpihakan.
Negara yang seharusnya berdiri di garis depan untuk melindungi ruang sipil, justru memposisikan dirinya sebagai pengamat yang sinis.
Dalam tindakan diam dan kelakar itu, kekuasaan memperlihatkan ketidakmampuannya untuk berbicara dengan etika publik yang layak bagi sebuah republik.
Baca juga: Menuding Tempo sebagai Antek Kepentingan Asing
Dalam konteks kebudayaan politik Indonesia, hal ini bukan anomali. Kita memiliki sejarah panjang di mana kekuasaan lebih sering menyampaikan pesannya lewat isyarat simbolik yang brutal ketimbang lewat argumentasi terbuka. Penggunaan tubuh, potongan hewan, atau benda-benda najis bukan hal baru.
Tahun 1984, redaksi Suara Indonesiamenerima potongan kepala manusia setelah secara konsisten memberitakan operasi penembakan misterius.
Dua dekade kemudian, keluarga aktivis HAM Munir diteror dengan bangkai ayam. Kini, kepala babi dikirim kepada jurnalis yang aktif mengangkat persoalan oligarki dan kekuasaan.
Polanya terus berulang. Bentuknya berubah, tapi substansinya tetap sama: kekuasaan yang tidak siap diselisihi, dan memilih menyampaikan ketidaksenangannya melalui simbol yang menakutkan.
Dalam antropologi politik, praktik seperti ini disebut komunikasi kekuasaan pre-modern: kekuasaan tidak lagi bersandar pada nalar, melainkan pada rasa takut. Tubuh binatang dijadikan medium peringatan.
Pesan dikirim bukan untuk dipahami, tetapi untuk diindera—dengan rasa jijik, ancaman, atau trauma. Ia bukan bahasa publik, melainkan desahan kekuasaan yang tak ingin terlihat, tapi ingin dirasakan.
Namun dalam negara demokratis, kekuasaan dituntut untuk hadir secara terang. Ia tidak boleh bersembunyi di balik teror informal. Ia tidak boleh membiarkan kekerasan simbolik menggantikan ruang perdebatan.
Di sinilah kita mendapati kerapuhan republik Indonesia. Negara ini terlalu cepat membangun institusi demokrasi, tetapi terlalu lambat menanamkan kebudayaan republik. Kita terbiasa dengan prosedur, tapi gagal menumbuhkan watak.
Masalahnya tidak terletak semata pada pelaku pengiriman. Masalah sesungguhnya adalah pada struktur kekuasaan yang tidak merasa berkewajiban merespons.
Ketika negara membiarkan teror terhadap media berlalu tanpa kecaman, ia sedang mengirim pesan kepada masyarakat: bahwa ada zona abu-abu di mana hukum tidak bekerja, dan bahwa ancaman terhadap jurnalis tidak cukup penting untuk menjadi urusan negara.
Situasi ini menunjukkan bahwa demokrasi prosedural tidak otomatis melahirkan demokrasi substansial. Kita punya pemilu, kebebasan pers, dan partai politik. Tapi kita belum memiliki kultur kekuasaan yang bersedia dikoreksi. Kritik masih dipahami sebagai serangan, bukan sebagai elemen dasar dari sistem republik.
Dalam kondisi seperti ini, teror terhadap pers tidak lagi menjadi deviasi. Ia menjadi bagian dari sistem komunikasi politik yang disfungsional.
Dalam sosiologi negara, fenomena ini disebut sebagai kekerasan delegatif—ketika negara tidak secara langsung melakukan represi, tetapi membiarkan aktor non-negara melakukannya, lalu bersikap netral.
Netralitas semacam itu bukan sikap teknokratis; ia adalah bentuk kompromi moral. Negara boleh tidak melakukan kekerasan, tetapi jika ia diam saat kekerasan terjadi, maka ia tetap bersalah.
Publik tentu bisa marah. Organisasi masyarakat sipil bisa bersuara. Tetapi tanggung jawab utama tetap pada negara. Republik lahir bukan untuk membuat warga merasa sendiri di hadapan ancaman. Ia lahir untuk menjamin bahwa siapa pun yang bicara, bahkan terhadap kekuasaan, punya hak untuk merasa aman.
Maka pertanyaan paling mendasar yang harus kita ajukan bukan hanya siapa pengirim kepala babi itu, melainkan: mengapa negara merasa tidak perlu bicara? Apakah karena ia tidak melihat ini sebagai ancaman terhadap prinsip? Ataukah karena ia, secara diam-diam, melihat simbol itu sebagai bentuk pembelaan atas dirinya?
Dalam politik, diam bukan kekosongan. Diam adalah posisi. Dan posisi negara saat ini, sayangnya, tidak berdiri bersama korban.
Jika kekuasaan terus menyikapi teror dengan kelakar, maka republik ini tidak sedang bergerak maju. Ia sedang bergerak mundur—bukan pada titik otoritarianisme klasik, melainkan pada bentuk baru kekuasaan yang tidak merasa perlu memegang etika.
Republik semacam ini bisa terus berjalan secara administratif, tetapi akan kehilangan daya ciptanya sebagai ruang hidup bersama. Ia akan menjadi negara tanpa arah moral.
Kita membutuhkan lebih dari sekadar pernyataan. Tapi tanpa pernyataan pun, kita tak punya apa-apa. Pernyataan seperti “Kami mengecam keras” mungkin terdengar klise. Tapi dalam konteks seperti ini, klise itu justru penting. Ia adalah garis yang memisahkan negara dari kekuasaan yang liar. Ia adalah sinyal bahwa republik ini masih tahu siapa yang harus dibela.
Jika bahkan itu pun tak bisa dikatakan, maka yang dikirim ke meja redaksi bukan hanya kepala babi. Tapi juga pesan diam: bahwa kita hidup dalam republik yang tidak tahu bagaimana caranya membela diri dari pembusukan kekuasaan yang datang bukan dari peluru, melainkan dari ketidaksediaan untuk bersikap.
Virdika Rizky Utama, Direktur Eksekutif PARA Syndicate dan Dosen Hubungan Internasional President University