Di antara perwujudan besar dari tradisi keilmuan Islam adalah terkumpulnya hadis atau tradisi Nabi SAW. yang kemudian dianggap sebagai sumber hukum Islam kedua—sesudah atau—atau bahkan setara dengan Al-Qur’an.
Hadis—secara harfiah berarti cerita, tuturan, atau warta yang kita kenal sebagai sebuah disiplin ilmu—adalah suatu narasi yang biasanya sangat singkat dan menyampaikan apa yang Nabi SAW. katakan, lakukan, setujui atau tidak setujui, begitu kia-kira menurut Fazlur Rahman.
Hadis terdiri atas dua bagian, teksnya (matan) dan mata rantai penyebarannya atau isnad meski sejarawan klasik maupun modern sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman sependapat bahwa pada mulanya hadis tidak disertai isnad. Matan secara bahasa berarti tanah yang tinggi, sedangkan menurut istilah ialah lafal-lafal hadis yang mengadung makna-makna tertentu. Adapun sanad merupakan rangkaian silsilah nama-nama orang yang memiliki otoritas mengeluarkan (meriwayatkan) hadis.
Secara umum, hadis dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni hadis umum dan hadis Qudsi. Definisi hadis umum paling tidak sebagaimana telah dikemukakan di atas tadi. Sedang hadis qudsi sebagaimana dikatakan M. Ma’sun Zein ialah titah tuhan yang disampaikan kepada Nabi di dalam mimpi atau dengan jalan Ilham, lalu Nabi menerangkan apa yang dimimpikannya itu dengan susunan perkataan beliau sendiri serta menyandarkannya kepada Allah.
Kodifikasi hadis sendiri secara resmi baru dilakukan ketika pemerintahan dipegang oleh oleh Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Ketika itu sudah terbentuk Lembaga Kodifikasi Hadis. Hadis mulai mapan pada pertengahan abad ke-3 H/9 M, di mana semua rincian isinya telah rampung, dan hampir tidak ada lagi penolakan dengan enam kitab yang dinilai sangat otoritatif dan dikenal sebagai ‘Enam Kitab Sahih’ yakni Sahih Al-Bukhari (194-256 H/810-870 M), Sahih Muslim (w. 261 H/875 M), Abu Dawud (w. 275 H/888 M), Al-Tirmidzi (w. 279 H/892M), Al-Nasa’I (w. 303 H/916 M) dan Ibn Majah (w. 273 H/886 M).
Sejalan dengan masa itu pula, menurut Fazlur Rahman sebagaimana dikenal kaum Muslim, kritik hadis disempurnakan ke dalam ‘Ilmu Hadis’. Meski masih tidak dalam bentuk yang mapan Ilmu Hadis setidaknya telah dikenal paling tidak sejak masa Al-Qadiy Abu Muhammad Ar-Ramahurmudzi (w. 360) dengan kitabnya ‘Al-Muhaddis Al-Fashil Baina Ar-Rawi Wal Wa’I’.
Tantangan serius terhadap hadis muncul dari beberapa tokoh modern. Tantangan paling serius terhadap hadis pada zaman modern sebagaimana dikatakan Mun’im Sirry pertama kali dilancarkan oleh pemikir modernis India Sir Ahmad Khan (1817-1898), yang menolak hampir semua hadis sebagai tidak reliable. Gerakan itupun kemudian disusul oleh pemikir-pemikir muslim berikutnya seperti Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dan Ahmad Amin.
Persoalan memahami hadis Nabi memang tidak saja perihal sahih maupun palsu. Memahami hadis paling tidak dapat diawali dengan cara menempuh analisis matan dan sanad hadis, konteks sosio-historis hadis, dan upaya kontekstualisasi atas hadis itu sendiri. Dengan kata lain, tidak saja melakukan analisis teks hadis melainkan juga analisis-analisis di luar teks hadis, bahkan sebuah upaya pembacaan ulang atas teks masa lalu agar dapat diterapkan di masa sekarang. Ketiganya setidaknya saling melengkapi dalam sebuah upaya memahami hadis yang lahir 14 abad silam.
Melakukan analisis matan dan sanad hadis artinya melakukan analisis atas materi dan jalur periwayatan hadis. Dalam diskursus Ilmu Hadis, diperlukan pendalaman terhadap beberapa cabang ilmu yang terkait dengan analisis materi dan sanad hadis, antara lain adalah Ilmu Mukhlataf Al-Hadis, Ilmu Gharib Al-Hadis, dan Ilmu Jarh Wa Tadil.
Secara umum, Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis merupakan ilmu yang membahas hadis-hadis yang secara lahiriah saling bertentangan, lalu hilangkan pertentangannya atau keduanya dikompromikan, sebagaimana membahas masalah hadis-hadis yang kandungannya sulit dipahami atau sulit dicarai gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.
Sedangkan Ilmu Gharib Al-Hadis secara umum dapat didefinisikan dengan ilmu yang mempelajari kosakata matan hadis yang sulit dimengerti dan rumit dipahami lantaran kosakata tersebut memang asing dan tidak dikenal. Adapun Ilmu Jarh Wa Tadil merupakan ilmu yang membahas keadaan para perawi hadis dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan mereka.
Analisis konteks sosio-historis sendiri penting untuk memahami bagaimana lahirnya suatu teks hadis. Untuk memahami konteks ini, seseorang membutuhkan pengetahuan akan kehidupan Nabi SAW. secara mendetail baik di Mekkah maupun Madinah; iklim sosial, ekonomi, politik dan hukum; norma, hukum, adat, kebiasaan, institusi dan nilai yang berlaku di wilayah tersebut. Ilmu Asbab Al-Wurud mungkin bisa menjadi alternatif untuk membantu analisis konteks sosio-historis ini.
Agar pemahaman menjadi utuh, upaya kontekstualisasi hadis adalah hal yang tidak bisa dihindarkan. Upaya kontekstualiasi sendiri bukanlah sebuah hal yang mudah untuk dilakukan. Upaya ini paling tidak perlu menimbang aspek-aspek universal ajaran Islam dan penguasaan bahasa Arab yang mendalam. Hal ini di karenakan fungsi hadis dalam agama Islam dan bahasanya yang sarat akan makna.
Memahami hadis dengan begitu membutuhkan tidak saja penguasaan atas seperangkat keilmuan hadis seperti yang tertuang dalam kitab-kitab Musthalah Al-Hadis misalnya, bahasa Arab yang mendalam, konteks sosio-historis suatu hadis baik makro maupun mikro, pencarian ideal moral atau nilai-nilai universal hadis itu sendiri dengan bermodal paling tidak penguasaan yang mendalam atas sejarah Nabi, melainkan juga pemahaman yang mendalam atas problem-problem yang dihadapi masa kini.
Wallahu A’lam