Setelah pada ayat sebelumnya dijelaskan pernyataan lelaki mukmin, Habib al-Najjar, yang mengatakan bahwa ia hanya menyembah Tuhan yang menciptakannya. Pada penjelasan tiga ayat ini, Habib seolah menantang kaumnya dengan membandingkan Tuhan Maha Esa dengan tuhan-tuhan berhala yang disembah kaumnya. Allah SWT berfirman:
أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلَا يُنْقِذُونِ () إِنِّي إِذًا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ () إِنِّي آمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ
Aattakhidzu min dunihi Aalihatan in yuridni al-Rahmanu bidhurrin laa tughni ’anni syafaa’atuhum wa laa yunqidzuun. Innii idzan lafii dhalaalin mubin. Innii aamantu birabbikum fasma’un.
Artinya:
Apakah (wajar)aku menjadikan selain Dia sebagai sembahan-sembahan? Jika Yang Maha Pemberi Kasih menghendaki bencana terhadap diriku, tentu tidaklah berguna bagiku syafaat mereka (berhala-berhala dan tuhan-tuhan selain Allah SWT) sedikit (pun), dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkan aku (dari siksa Allah SWT). Sesungguhnya aku, kalau begitu (yakni kalau aku menyembah selain Allah SWT), tentu berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhan Pemelihara kamu; maka dengarkanlah aku (dan ikutlah tuntunan para rasul itu). (QS: Yasin ayat 23-25).
Dalam menjelaskan tiga ayat di atas, Ibnu Jarir al-Thabari menerangkan perbedaan pendapat mengenai ayat ke 25 dari dua riwayat yang berbeda. Riwayat pertama dari Ibnu Hamid dari Salamah dari Ibnu Ishaq dari Ibnu Abbas dari Ka’ab dari Wahab bin Munabbih, yang menjadi lawan bicara si lelaki mukmin ini adalah kaumnya. Dengan ilustrasi kalimat: “aku beriman kepada Tuhanmu yang kamu ingkar kepada-Nya, maka dengarkanlah perkataanku (Innii amantu bi Rabbikum alladzi kafartum bihi, fasma’u qaulii).”
Sedangkan riwayat lain, Ibnu Jarir tidak menarasikan sanad riwayatnya, lelaki mukmin ini berkata kepada para utusan seraya berujar: “Dengarkanlah perkataanku agar kalian menyaksikan bahwa aku atas apa yang aku katakana kepada kalian di sisi Tuhan kalian, sungguh aku telah beriman kepada Tuhan kalian dan telah mengikuti kalian (isma’u qaulii litasyhadu li bima aqulu lakum ‘inda rabbi, wa anni qad aamantu bikum wattaba’tukum).”
Menurut Fakhruddin al-Razi ayat ke-23 ini berkaitan dengan pernyataan pada ayat sebelumnya. Ini menunjukkan pernyataan atas menafikan tuhan-tuhan lain selain-Nya, setelah pernyataan berserah diri kepada Tuhan Maha Pencipta. Substansi dari kedua ayat ini (ayat 22 dan 23) adalah manifestasi dari kalimat tauhid Laa Ilaaha Illa Allah. Bahwa Allah SWT adalah Tuhan dan tidak ada tuhan-tuhan selain-Nya.
Dengan mengutip pendapat Thabathaba’i atas penafsiran tiga ayat di atas, Quraish Shihab menerangkan bahwa konsep syafaat hanya diberikan Allah SWT kepada orang yang dikehendaki-Nya. Artinya orang-orang yang diberikan izin-Nya saja yang dapat memberikan syafaat sebagaimana tercantum dalam QS. Yunus ayat 3: Maa min Syafii’in illa min ba’di idznihi (Tidak ada satu pun pemberi syafaat kecuali setelah mendapat izi-Nya). Oleh karenanya, berhala-berhala yang disembah penduduk negeri tersebut tidaklah berpengaruh atas ketetapan Allah SWT kepada mereka.
Lebih lanjut Quraish Shihab menerangkan ayat 25, ia lebih memilih penafsiran yang mengatakan bahwa perkataan lelaki mukmin ini ditujukan kepada para rasul, bukan kepada para penduduk. Setelah ia (Habib) menyampaikan nasihat kepada penduduk, lalu ia menoleh kepada para rasul seraya menyatakan keimanannya agar tiga utusan Allah itu menyaksikan pengakuannya. Hal ini tercermin dari kata bi Rabbikum yang menurut Quraish tidak wajar bila ditujukan kepada penduduk yang durhaka karena mereka tidak mengimani Allah SWT. Namun, sebagian ulama ada yang berpendapat perkataan Habib ini ditujukan kepada para penduduk. Bagi Quraish, pendapat ini dapat diartikan bahwa tidak ada halangan kata bi Rabbikum ditujukan kepada mereka karena pada hakikatnya memang Yang Mahakuasa itulah Tuhan mereka. Wallahu A’lam.