Setiap umat Muslim umumnya telah hapal di luar kepala surat yang satu ini. Ya, dialah surat al-Fatihah. Betapa tidak, setiap melakukan shalat, surat al-Fatihah adalah salah satu rukun penting dalam menentukan keabsahan ibadah. Dan, selain itu tentu masih banyak lagi keutaman-keutamaan surat al-fatihah.
Pada ayat 1-4 surat al-Fatihah, misalnya, dijelaskan tentang sifat-sifat Tuhan (rabb al’alamin, rahman, rahim, malik al-yaum al-diin) yang merupakan sifat bagi persona ketiga tunggal (ghaib/dia) dan pada ayat yang dibahas pada tulisan ini disebutkan penegasan bahwa hanya kepada persona kedua (mukhatab/Engkau/Tuhan) aktivitas menyembah dan memohon pertolongan itu dilakukan.
Allah Swt. berfirman:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepadaMulah kami memohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah [1]: 5)
Dalam ilmu Bayan, proses perpindahan satu uslub (gaya bahasa) dari satu arah ke arah yang lain ini disebut iltifat. Ia (iltifat) memiliki banyak bentuk. Dalam ayat ini, bentuk iltifat-nya adalah penyebutan persona ketiga (dia) lalu berpindah kepada penyebutan persona kedua (kamu).
Iltifat memiliki banyak faidah, salah satunya adalah menghentak/membangunkan pikiran pendengar agar fokus mendengarkan apa yang sedang dibicarakan. Begitu kurang lebih penjelasan al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya berjudul al-Kasyaf.
Salah satu yang menjadi fokus pada ayat ini dan yang ingin penulis bahas adalah tentang penggunaan kata ganti pada kedua kata kerja dalam ayat ini, yakni mutakallim ma’a al-ghair (pembicara bersama yang lain) yang dalam bahasa Indonesia diwujudkan dalam bentuk kata ganti kami/kita. Pada ayat ini tidak menggunakan kata “saya” tapi “kami”.
Jelas, bagi kita bahwa yang menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah Swt bukan satu orang saja (saya/kamu), melainkan banyak (kita/kami). Menurut al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir, penggunaan kata nun (nun yang menunjukkan subyek “kami/kita”) pada dua kata kerja ini menunjukkan sifat tawadlu’ (rendah hati) karena ibadah dilakukan secara bersama, bukan sifat membanggakan diri.
Lalu, bagaimana jika pada kenyataannya shalat (dan ibadah yang lain) dilakukan seorang diri?
Fakhruddin al-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib menjelaskan, meski melakukan shalat seorang diri, namun di saat yang sama para malaikat juga melakukan hal serupa, sehingga layak disebut kita/kami.
Al-Razi juga menjelaskan bahwa dengan mengatakan “kami menyembah” berarti ia menyadari bahwa sesama orang mukmin itu bersaudara. Dengan mengatakan kalimat itu, berarti ia juga mengakui dan menyebutkan ibadah yang dilakukan oleh orang-orang mukmin di seluruh dunia. Hal ini menandakan ia sedang berbuat baik kepada mereka (karena ikut menyebutkan ibadah mereka).
Sifat membanggakan diri adalah sifat tercela yang karenanya harus ditinggalkan. Bahkan menurut al-Ghazali dalam Bidayah al-Hidayah, sifat ‘ujub, kibr, dan fakhr (membanggakan diri, sombong, dan sejenisnya) adalah penyakit hati level kronis. Adapun tanda bahwa seseorang memiliki sifat ini umumnya adalah sering menyebut kata “saya”.
Makhluk Allah yang sering menyebut kata “saya” adalah iblis, misalnya ketika Allah menanyakan alasan mengapa iblis tidak mau menyembah Allah, ia mengatakan, “…Saya lebih baik dari Adam. Engkau menciptakanku dari api, dan Engkau menciptakannya dari tanah” (QS. Al-A’raf [7]: 12).
Mungkin dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering mendengar kalimat (1) “Ini saya lho ya yang menyumbang”; atau,”jika tak ada saya, saya tidak tahu lagi bagaimana nasibnya”; atau,“saya selalu rajin ke masjid”, dan kalimat-kalimat sejenis. Beberapa kalimat ini menunjukkan indikasi adanya sifat sombong pada diri pengucapnya.
Walhasil, ayat ini agaknya berfungsi sebagai peringatan kepada kita bersama untuk tidak membanggakan diri atas apa yang kita kerjakan. Juga, ayat ini menjadi pengingat bahwa Islam menghendaki kebersamaan, bukan sifat egois. Segala bentuk perpecahan dan perselisihan tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Wallahu a’lam.