Pada artikel kali ini kita akan membahas tentang surat al-Baqarah ayat 143, ayat yang menjadi salah satu core dari prinsip moderasi dalam rangkaian ayat-ayat moderasi beragama. Ayat ini sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian ayat (al-Baqarah: 142 – 150) pemindahan arah kiblat bagi Rasulullah SAW dan para sahabat dari Bait al-Maqdis kembali berkiblat ke Kakbah. Khusus untuk ayat 143, Allah SWT mengingatkan bahwa umat Nabi SAW adalah umat yang moderat dan berada di tengah-tengah. Mari kita simak bunyi ayat dan penjelasannya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيم
wa kadzaalika ja’alnaakum ummatan wasathan litakuunuu syuhadaa’a ‘alannaasi wa yakuuna ar-rasuulu ‘alaikum syahiidan wa maa ja’alna al-qiblata allatii kunta ‘alaihaa illaa lina’lama man yattabi’u ar-rasuula mimman yanqalibu ‘alaa ‘aqibaihi wa in kaanat lakabiiratan ‘ala alladziina hada Allah wa maa kaana Allaha liyudhii’a iimaanakum inna Allah bi an-naasi lara’uufun rahiim.
Artinya:
“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu, ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi/teladan atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi/teladan atas (perbuatan) kamu.Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblat kamu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (dalam dunia nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Surat al-Baqarah ayat 143)
Sebelum kita menguraikan lebih jauh soal pemaknaan ayat, mari kita diskusikan lebih dulu soal pemindahan arah kiblat yang menjadi latar belakang turunnya ayat di atas. Selama berada di Mekah, sebelum hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW bersama para sahabat shalat menghadap ke Kakbah Masjidil Haram. Akan tetapi ketika Rasul hijrah ke Madinah, kiblat shalat pindah ke Bait al-Maqdis. Menurut At-Thabari, ini bertujuan untuk menarik hati Bani Israil agar bersedia mengikuti Islam, karena kesamaan kiblat.
Akan tetapi selama satu setengah tahun berjalan rupanya tujuan ini tidak seperti yang dikehendaki. Dari sini kemudian Rasulullah SAW berdoa kepada Allah SWT agar kiblat kembali menuju Kakbah. Karena Kakbah adalah kiblat leluhur Nabi SAW. Menurut Quraish Shihab, boleh jadi perintah kembali mengarahkan kiblat shalat ke Kakbah kaena Mekah berada di posisi tengah (wasath) sebagaimana diisyaratkan oleh ayat 143 ini.
Demikian sekilas riwayat tentang latar belakang turunnya ayat ini. Kita beranjak pada pemaknaan ayat. Penting digarisbawahi soal redaksi kata “ja’alnakum” yang terdapat pada awal ayat di atas. Menurut Quraish Shihab yang dimaksud dengan “ja’alnakum” adalah telah menjadikan potensi bagi manusia yang semestinya digunakan agar menjadi umat moderat. Potensi ini dijadikan oleh Allah SWT untuk kita agar kita upayakan secara terus menerus.
Kemudian kata ummah memiliki kandungan makna yang sangat beragam. Secara garis besar kata ini dapat berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Menurut Al-Raghib al-Asfihani, kata ini dapat digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang terhimpun oleh entitas tertentu. Bisa jadi entitas itu berupa waktu, tempat, suku, atau agama. Kemudian menurut Ibn Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, kata ini dapat bermakna asal/pokok (al-ashlu), rujukan (al-marji’), kelompok (al-jama’ah), dan agama (al-din).
Dari banyaknya makna di atas, Quraish Shihab berpendapat pemilihan kata ummah pada ayat ini bisa diambil kesan tentang alasan dibaliknya. Menurutnya, pemilihan kata ini menyimpan makna-makna mendalam yang penting dihayati oleh umat Islam. Disinilah letak pentingnya pemilihan diksi dalam al-Quran.
Kata terakhir yang akan kita ulas adalah wasath. Makna dari kata ini beserta derivasinya antara lain: keadilan, yang di tengah, baik, indah, mulia, dan kuat. Dalam Nadzm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, al-Biqa’i menyebutkan beberapa makna lain seperti perak, tanah, taman yang hijau, sosok yang gagah, dan burung merak.
Menurut M. Quraish Shihab, kata wasathan yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 143 menunjukkan posisi pertengahan. Kata ini mengisyaratkan bukan hanya menjadikan manusia tidak memihak ke kiri atau kanan, melainkan juga menjadikan seseorang dapat melihat/dilihat dari segala penjuru. Ketika itu terjadi, maka ia berpotensi menjadi teladan bagi semua pihak.
Dari pemaknaan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, umat pertengahan adalah potensi sekaligus tugas yang telah Allah SWT berikan dan harus terus diupayakan. Sebagaimana Rasulullah SAW ketika berada di Madinah menjadi pengayom yang mendamaikan antar suku yang terus berkonflik, tugas utama kita adalah meneladani beliau agar sama-sama menjadi umat yang pertengahan dan moderat. Inilah esensi ajaran Islam yang dibawa Nabi SAW. Rasulullah SAW adalah sosok yang membawa solusi, tidak ingin orang-orang di sekelilingnya berpecah belah.
Dalam konteks Indonesia kita bisa melihat teladan umat moderat ini di masa awal terbentuknya republik ini. Keteladanan itu adalah kerelaan untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah suatu bentuk kerelaan para pemimpin umat Islam yang diwakili oleh KH. Wahid Hasyim, K.H Kahar Muzakir, H. Agus Salim, dan R. Abikusno Cokrosuroso. Para pemimpin ini lebih mengutamakan keutuhan bangsa dan negara ketimbang menggelorakan politik identitas semata.
Meskipun sempat terjadi pergolakan dan perasaan kecewa dari sebagian kelompok Islam, akan tetapi pada akhirnya umat Islam Indonesia menerima bahwa solidaritas kewargaan serta kejernihan visi untuk bisa berbagi konsepsi politik bersama menjadi pilihan. Seiring berjalan waktu hingga saat ini, landasan konstitusional yang memberikan jaminan perlindungan dan persamaan hak bagi setiap pemeluk agama terus diperkuat oleh UU dan para pemimipin negara.
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI