Kegaduhan soal kabar hoaks Ratna Sarumpaet yang terjadi selama beberapa hari ini, cukup menyita perhatian masyarakat Indonesia di tengah musibah gempa dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala. Kabar soal hoax ini cukup mendapat atensi masyarakat dikarenakan disebarkan kala kompetisi Pilpres sudah memasuki masa kampanye, yang mana posisi Ratna Sarumpaet sebagai salah satu anggota dari Tim Kampanye Capres Prabowo.
Pasca klarifikasi yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet kemarin atas kabar hoax yang “diciptakan” oleh dirinya sendiri, perbincangan akan hoaks ini tak malah padam tapi malah semakin ramai saja. Akan tetapi, ada sebuah hal yang perlu kita ungkap hubungan hoaks dan kemanusian sebab dengan melihat hubungan keduanya kita bisa melihat betapa berbahaya persoalan hoaks atas nilai-nilai kemanusiaan saat ini.
Kala kabar yang terlempar terbuat dari hoks bisa membahayakan nyawa seseorang, menghancurkan pribadi dan kehidupan sebuah keluarga, dan menganggu kententraman juga kedamaian masyarakat. Semuanya tergilas dan tersakiti dengan sangat mudahnya dan dalam waktu singkat, tanpa ada lagi pertimbangan kemanusiaan di dalamnya. Persebaran kabar hoax yang tidak bisa dikendalikan karena disokong dengan keunggulan teknologi media yang cepat dan bisa menjangkau siapa saja membuat sebuah hoax akan sangat mudah menjalankan fungsi fasisnya. Inilah yang seharusnya yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat untuk bisa bersabar dan mengendalikan diri saat menguyah dan mengkonsumsi sebuah informasi.
Dalam kajian semiotika, kekuatan sebuah bahasa kala sudah menciptakan sebuah wacana adalah kekuatan fasis yang dimiliki bahasa itu sendiri, yang oleh Roland Barthes disebut sebagai wacana kekuasaan (discourse of power). Namun, yang perlu diingat adalah dalam kajian wacana adalah menemukan titik di mana sebuah wacana menyimpan kekuatan yang akan memunculkan sebuah makna tersembunyi yang bisa mengendalikan makna keseluruhan dari sebuah wacana. Untuk menelisik persoalan bagaimana bahasa bisa menjadi alat fasis, kita perlu mengenal tiga model wacana dalam kajian semiotika, yaitu wacana teror, wacana oportunis, dan wacana refresif atau liberal.
Pertama, wacana teror. Dalam sebuah wacana bisa terkandung “kekerasan yang inheren” dalam bahasa atau kata. Wacana dibuat hanya untuk melemahkan subjektivitas manusia yang kemudian bisa dikendalikan sepenuhnya oleh kekerasan intimidatif bahasa. Kalau bahasa adalah legislasi, dan wacana adalah kodenya, wacana model ini adalah wacana yang menuntut ketaatan pada kekuasaan yang memaksa. Hoax biasanya dibuat untuk memaksa orang taat pada sebuah perintah dari subjek yang kabur (anonim) dan mengorbankan subjektfitasnya sendiri untuk menilai sesuatu yang ada dalam sebuah kabar.
Kedua, wacana oportunis. Wacana dalam model ini adalah menggunakan susunan stereotype yang sudah ada dalam kekuatan bahasa ang terlembaga dalam masyarakat. Sebuah hoax sangat sering menggunakan dua model wacana ini sekaligus, hoax akan menyerang subjektivitas kita sebagai manusia dalam menilai baik dan buruk dan sekaligus memainkan stereotype yang berkembang dalam masyarakat kita.
Jika kita mau berkaca pada kasus Ratna Sarumpaet, wacana dalam hoax tersebut jelas diarahkan kepada sosok petahana, dalam hal ini Joko Widodo, yang dianggap gagal menjaga keamanan dan kebebasan berpendapat warganya. Oleh sebab itu, hal yang sangat wajar jika yang menyebarkan dan mengkonsumsi kabar hoax ini adalah mereka yang selama ini bersikap berseberangan dengan sang petahana. Dengan memainkan perihal Ratna inilah diharapkan bisa meraih keuntungan di kemudian hari.
Kabar dianiaya Ratna Sarumpaet ini sebenarnya menjelaskan bahwa sebuah kabar bisa menggilas seseorang yang belum tentu melakukannya dan mengabaikan proses hukum yang berjalan. Di sinilah pelemahan subjektivitas kita sebagai manusia dilemahkan dengan memainkan stereotipe yang berkembang selama ini di masyarakat, yang dimainkan dan dikembangkan oleh mereka yang memiliki kehendak berkuasa yang berlebih.
Sedangkan ketiga adalah wacana liberal. Wacana yang dibuat dalam proses penyeimbangan dan menghalangi terjadinya perubahan. Wacana ini dikembangkan untuk mencegah terjadinya perubahan untuk terciptanya stabilitas yang diinginkan.
Membongkar hoaks dalam kajian semiotika ini, mengajarkan kita sebuah pelajaran besar yaitu sebuah kabar yang dulu bisa dipercaya kala disampaikan oleh seseorang yang sangat dipercayapun, harus melalui proses tabayyun yang ketat dalam setiap diri umat muslim sekarang ini. Sebab, jika sosok yang dipercaya tersebut tidak melakukan tabayyun dengan baik maka akan sangat mudah terjebak pada percaya pada kabar hoax yang biasa memainkan sisi-sisi sensitif dari kehidupan manusia, termasuk agama, ras, golongan dan lain-lain.
Proses tabayyun yang sangat familiar dalam agama Islam, menurut saya memiliki bagian kecil yang paling penting untuk melucuti permainan hoaks ini, yaitu analisis wacana. Analisis wacana yang disebutkan diatas yang diperkenalkan oleh filsuf Roland Barthes, adalah alat yang paling tepat untuk membongkar dan menghambat tersebarnya sebuah hoax di masyarakat.
Pertanyaan yang muncul adalah pada siapa proses analisis wacana ini seharusnya diserahkan? Jawaban secara ideal adalah setiap manusia yang menerima tanggung jawab ini. Namun, proses analisis wacana ini minimal dilakukan oleh para kaum intelektual atau seseorang yang memiliki otoritas dalam keilmuan Islam yaitu Ulama atau kalangan pemimpin agama.
Jangan sampai kaum intelektual dan otoritas keagamaan ini malah terjebak dan turut menyebarkan hoaks, kepada siapa lagi kita bisa berpegang untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang akan digilas oleh kabar hoaks. Fatahallahu alaihi futuh al-arifin