Propaganda Kebencian: Dari Obor Rakyat, Breitbart Hingga Ratna Sarumpaet

Propaganda Kebencian: Dari Obor Rakyat, Breitbart Hingga Ratna Sarumpaet

Propaganda Kebencian: Dari Obor Rakyat, Breitbart Hingga Ratna Sarumpaet

Pamflet dan standing banner “Solidaritas Demokrasi untuk Ibu Ratna Sarumpaet” sudah dicetak dan diedarkan. Demonstrasi pun sudah mulai digelar. Sayang kebohongan Ratna Sarumpaet keburu terungkap. Lalu mereka yang tadinya dengan gagah perkasa membela pemain drama ini pun ramai-ramai cuci tangan, minta maaf dan mencampakkannya.

Ratna sempat akan terbang ke Chile semalam karena ia akan menghadiri Konferensi Perempuan Penulis Naskah Drama di Santiago, tapi keburu ditangkap polisi di Bandara Soekarno-Hatta karena ia telah ditetapkan menjadi tersangka membuat kisah bohong atau disinformasi.

Nasib Ratna mirip dengan Steve Bannon, the Great Manipulator yang setelah berhasil menghantar Donald Trump ke Gedung Putih, ia pun dicampakkan. Bannon dikenal sebagai pemimpin portal media online abal-abal, Breitbartnews.com, yang jadi mesin propaganda Trump untuk membunuh karakter Hillary Clinton, memusuhi imigran Latinos dan Muslim serta anti kulit hitam. Bannon sempat jadi Chief Strategist Trump.

Nasib Bannon tak seapes Setiyardi Budiono, Pemimpin Redaksi tabloid Obor Rakyat yang terbit jelang Pilpres 2014. Tabloid ini bukan produk jurnalistik, tapi selebaran propaganda untuk membunuh karakter Joko Widodo. Setiyardi dan wakilnya, Darmawan Sepriyosa, divonis setahun bui. Mereka berdua dicokok polisi 8 Mei 2018 lalu.

Taktik propaganda “Make America Great Again” Trump dengan menabur ketakutan kepada warga kulit putih konservatif terhadap imigran dan kulit hitam yang diulang-ulang terbukti ampuh. Bannon sebagai pembisik Trump rupanya meniru mantra Joseph Goebbels dan Hitler: ucapkan kebohongan berulang-ulang maka masyarakat akan percaya bahwa kebohongan itu justru kebenaran. Namun Obor Rakyat yang digarap Setiyardi dan drama operasi plastik Ratna Sarumpaet yang didakunya sebagai penganiayaan, gagal total.

Toh, tak jera juga upaya melabel Joko Widodo PKI terus dicoba. Terakhir dengan penerbitan buku pamflet “Apa & Bagaimana PKI” yang diedarkan di Monas tanggal 29 September malam lalu, ketika Donggala dan Palu diguncang bencana.

Sebelumnya ada yang menebar disinformasi murahan bahwa duit Rp 100.000 makin tak bernilai, karena cuma bisa dibelikan bawang dan cabai. Atau tempe sudah sedemikian mahalnya hingga dijual setipis kartu ATM. Ada lagi yang melontarkan Politics of Fear dan disinformasi dengan menyatakan Indonesia bakal bubar tahun 2030. Teryata ucapan tokoh ini cuma didasarkan pada sebuah novel fiksi!

Propaganda kebohongan dan disinformasi akan terus menerpa kita hingga April 2019. Mudah-mudahan bangsa Indonesia tidak sesial bangsa Jerman tahun 1930a

n yang berhasil dihasut oleh seorang demagog bernama Adolf Hitler yang menjanjikan Deutschland uber Alles.

*) Irwan Julianto, mantan wartawan, lulusan Harvard University.