Tidak ada standar baku gelar ustaz di Indonesia. Begitulah kiranya hal yang pernah saya alami. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saya mendapat gelar Ustaz tersebut. Suatu ketika ada warga datang minta bantuan karena salah satu anggota keluarganya mengalami kesurupan. Anak yang disayanginya tiba-tiba meronta-meronta dan mengamuk yang tidak jelas. Jika tidak segera ditangani maka dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Di hari yang lain pernah terjadi pula, seorang warga yang berkeluh kesah karena dagangan yang tidak kunjung laku bahkan nyaris bangkrut. Pihaknya datang dengan membawa sebotol air dan minta didoakan. Jika sudah seperti ini, harus bagaimana? Tidak mungkin asal kasih solusi atas nama agama, bukan?! Apalagi sebatas kata-kata mutiara.
Sekali lagi, tidak ada standar khusus bagi seseorang untuk mendapat gelar Ustaz, beda halnya dengan Haji. Di Indonesia, panggilan Haji didapat usai seseorang telah tuntas melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Sementara gelar Ustaz, tidak tercantum dalam nash (Al-Quran dan Hadis), atsar maupun sematan resmi sehingga dikembalikan kepada bahasa, logika dan budaya. Yang sudah-sudah biasanya disematkan kepada seorang penceramah agama atau guru Agama Islam baik itu pengajar di pondok pesantren maupun guru-guru ngaji Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ).
Saat ini, bisa dibilang mudah sekali mendapat sebutan “ustaz”, hanya karena sering memberikan kata-kata mutiara di sosial media,. Apalagi ditambah sedikit dalil, kutipan dari terjemahan Al-Qur’an atau hadits yang sanadnya belum jelas, semakin kuat sebutan ‘ustaz’ itu disematkan, padahal sebenarnya yang terjadi hanya copy – paste.
Dengan tambahan label Ustaz membuat orang semakin PD, merasa bangga dan makin semangat membuat postingan-postingan “siraman qolbu” di media sosial. Entah memang bertujuan dakwah atau hanya sekedar menambah exsposure. Mungkin bisa jadi karenag postingan berbau religi itu mudah viral. Padahal kalau lihat resikonya, lebih bahaya daripada bumi dan seisinya. “Barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa Ilmu maka ia dilaknat malaikat di Langit dan di Bumi” (HR. Ibnu ‘Asakir).
‘Ustadz’ di Desa Indonesia vs Timur Tengah
Di beberapa wilayah, khususnya di pedesaan, sebutan Ustaz tidak mudah disematkan kepada seseorang. Entah karena letak kesakralanya atau memang tidak familiar di telinga masyarakat sekitar. Misal di desa Beji (desa asal penulis), sebuah desa kecil di ujung timur kabupaten Boyolali, Jawa Tengah ini tidak sembarangan melabeli panggilan ustadz walaupun kesehariannya mengajar ngaji bahkan mengisi ceramah di masjid dan majelis taklim. Meski bacaan kitab kuning sudah di luar kepala dan ilmu agamanya sudah mumpuni, namun masyarakat tetap saja memanggil dengan sebutan “Mbah” bagi yang sudah sepuh. atau disapa dengan panggilan “Lek” atau “Mas/Mbak” bagi yang masih muda.
Di sisi lain, ada yang beranggapan bahwa ustadz bukanlah sekedar guru agama atau penceramah agama. Namun juga memiliki kelebihan lainnya semisal bisa “suwuk”, mengusir setan, mencari jodoh, konsultasi hari baik buat hajatan, serta hal-hal yang di luar nalar lainnya.
Hal itu memang tidak salah, karena beberapa ustaz memang memiliki keahlian tersebut. Contoh Ustaz Ujang Bustomi asal Cilacap yang gemar melawan para dukun santet atau Ustaz Faizar yang sering menyembuhkan orang yang kesurupan. Dengan adanya konten-kontennya yang viral di YouTube, tak ayal menimbulkan persepsi di tengah masyarakat bahwa setiap ustaz pasti bisa melakukan hal yang sama. Dalam kata lain, di mata masyarakat ustaz itu seperti orang yang serba bisa, bukan orang yang biasa-biasa saja.
Berbeda halnya dengan memandang “Ustaz” dari persepsi kultur timur tengah, seperti Mesir. Gelar Ustaz sangat tinggi kedudukannya, setaraf dengan profesor yang mengajar di Universitas. Jika mengacu hal ini maka seorang ustaz merupakan tokoh yang terpelajar, bukan asal-asalan. Seorang ustaz minimal mampu menguasai 12 sampai 18 cabang ilmu seperti Nahwu, Sorof, Bayan, Badi, Ma’ani, Adab, Mantiq, Kalam, Akhlaq, Ushul Fiqih, Tafsir dan Hadits.
Tugas-tugas ‘Berat’ orang-orang yang Bergelar ‘Ustadz’
Dikehendaki atau tidak, mendapat gelar Ustaz di tengah masyarakat memang menjadi privilege tersendiri. Minimal menjadi tokoh yang dihormati dan dimuliakan. Namun demikian jangan lantas berbangga diri. Karna ke depan akan banyak tantangan yang menghampiri, apa saja?
Pertama, harus siap dalam segala kondisi yang serba dadakan. Semisal jadi penceramah dadakan, khotib dadakan, imam dadakan behkan penghulu dadakan. Tapi untuk kasus penghulu dadakan tidak disarankan terutama menikahkan siri, karena urusan menikah sebaiknya melalui KUA.
Kedua, harus siap menjadi penengah dalam setiap problematika masyarakat. Semisal menjadi penengah dalam urusan pembagian hak waris, mengakurkan pasutri yang hendak bercerai, mendamaikan keluarga yang sedang tidak akur dan lain sebagainya. Tugas ustaz memang tidak jauh beda seperti tugas pejabat, yaitu melayani masyarakat.
Ketiga, harus siap menjadi manusia setengah dewa. Mengingat bahwa menjadi ustaz sama saja menjadi public figure yang dituntut memberikan teladan bagi umat berupa akhlakuk karimah. Harus pandai-pandai jaga emosi dan kewibawaan apalagi saat mendapat kritikan, atau bahkan makian, cacian dan hinaan. Ustaz harus sabar ya!
Keempat, harus siap menerima keluhan warga yang tidak logis seperti menangani kasus kesurupan, mengobati orang sakit, hingga minta amalan-amalan untuk pelaris dagangan, mendapat jodoh dan lain sebagainya.
Maka mendapat gelar Ustaz sebenarnya adalah sebuah peringatan dari Allah SWT agar kita terus memperdalam ilmu agama bukan untuk gaya-gayaan semata. Jika niatnya sudah tulus ikhlas, bertawakal kepada Allah SWT dan menolong sesama, maka Allah SWT akan senantiasa memberikan jalan kemudahan dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Bukan begitu pak Ustaz?
Wallahu a’lam bishawab.