“Sucikan hati dan pikiran, tidak berbuat jahat, dan terus lakukan hal-hal yang baik dan mulia” adalah salah satu spirit utama Hari Tri Suci Waisak yang diperingati oleh Umat Buddha. Dan, spirit ini merupakan pesan universal kepada seluruh umat manusia, khususnya masyarakat tanah air.
Spirit ini terus menggedor kesadaran manusia untuk menggapai “pencerahan” sebagaimana telah dialami oleh Sang Buddha. Pencerahan, antara lain, ditandai dengan upaya pembebasan pribadi (internal) dan pembebasan sosial (eksternal) sekaligus.
Yang sifatnya ke “dalam” adalah upaya terus-menerus untuk menghilangkan sisi gelap jiwa-jiwa manusia dalam bentuk mental yang buruk dan jahat (destruktif) entah berupa iri, dengki, sombong, serakah, dendam, licik, culas, munafik, mencuri (korupsi), menumpahkan darah dan kekerasan, dan seterusnya. Untuk itu, Sang Buddha mengajarkan jalan pembebasan dari segala bentuk kebencian (dosa), keserakahan (lobha), dan kegelapan (moha).
Selain itu, revolusi psikis yang berdimensi internal, sebagaimana telah dilakukan Sang Buddha, adalah juga upaya membebaskan diri dari pengaruh dan jebakan hal-hal duniawi yang fana dan sementara, terutama dalam bentuk tiga segitiga harta, kuasa, dan seks(isme). Tiga hal ini, tak diragukan lagi sedemikian melenakan dan mampu membentuk dan mengubah nilai-nilai dan kesadaran seseorang.
Sementara, yang sifatnya ke “luar” adalah kepedulian terhadap persoalan sosial dan kemanusiaan yang ditandai, antara lain, dengan upaya terus-menerus memperjuangkan kebaikan yang terutama bermuara pada keadilan dan kedamaian sebagai esensi dan saripati agama-agama dan spiritualitas.
Dua hal ini, keadilan dan kedamaian, merupakan dua entitas yang tak bisa dipisahkan. Jika tak ada keadilan maka sulit membayangkan adanya kedamaian. Untuk itu, pesan mulia “kedamaian” atau “perdamaian” yang digemakan oleh spirit Tri Suci Waisak yang juga merupakan pesan inti dari semua agama haruslah dibarengi dengan upaya menegakkan keadilan. Tanpa keadilan, pesan perdamaian hanya indah terdengar namun tak bisa diwujudkan.
Prajna, Karuna, Meta
Sampai di sini, pencerahan sebagaimana telah dialami Sang Buddha baru benar-benar terjadi jika seseorang melakukan revolusi batin dan revolusi sosial sekaligus. Yaitu kebijaksanaan yang diikuti dengan kebajikan. Kebijaksanaan (prajna) haruslah selalu bersanding dengan kepedulian kepada sesama (karuna). Dan, karuna tak bisa dipisahkan dengan meta, yakni cinta kasih.
Kebijaksanaan dan kejernihan perlu dilatih dan direngkuh secara terus-menerus karena punya potensi untuk terlepas kembali (mrucut) di tengah godaan dan perangkap hal-hal duniawi yang fana dan sementara terutama dalam bentuk–sebagaimana telah disebut di depan–harta, kuasa, dan seks(isme).
Harta dan kuasa bisa membentuk, mengubah, dan membolak-balik nilai-nilai, sikap, dan kesadaran seseorang. Begitu juga halnya dengan seks(isme) yang digerakkan oleh emosi dan libido. Uang, jabatan, dan libido seks adalah tiga hal yang selalu memicu pertikaian, kejahatan, dan kekerasan antarmanusia, bahkan antara teman dekat dan manusia yang masih ada hubungan darah dan famili sekali pun.
Yang semula hubungan antarmanusia sedemikian baik bisa berubah secara drastis menjadi buruk karena persoalan harta, kuasa, dan seks(isme) itu. Contoh hal seperti ini sudah sering terjadi di panggung sejarah umat manusia, tak terkecuali di tanah air beberapa tahun belakangan ini.
Untuk itu, Sang Buddha mengajarkan kebijaksanaan dalam bentuk antara lain mengatasi dan malampaui hal-hal duniawi yang fana dan sementara itu, terutama dalam wujud harta, kuasa, dan seks(isme). Nafsu-nafsu duniawi yang fana dan sementara disebut Sang Buddha sebagai “keinginan” yang merupakan sumber dari “penderitaan”.
Merasa cukup dengan apa yang dipunyai dan bersyukur adalah hal yang niscaya. Orang yang kaya bukanlah yang mempunyai banyak hal dan segalanya, melainkan orang yang mampu menikmati dan mensyukuri apa yang dimiliki.
Asketisme Duniawi dan Gerakan Sosial
Agama Buddha tampaknya merupakan agama yang paling memberi pesan kuat tentang perlunya (bahkan keharusan) melakukan asketisme duniawi, namun bukan berarti eskapis dan tak peduli pada persoalan sosial dan kemanusiaan. Asketisme duniawi Buddha haruslah dibarengi dengan kepedulian sosial dan empati kepada sesama, makhluk hidup, dan alam semesta (demi masa depan bumi dan keberlangsungan hidup umat manusia) untuk kehidupan yang semakin baik, indah, beradab, dan bermakna.
Inilah yang sering diteladankan oleh para Biksu dan Biksuni yang memberikan pelayanan kepada sesama tanpa syarat dan tanpa mengenal lelah, serta mengajarkan sikap harmoni kepada alam.
Mereka menyapa, membantu, dan membangkitkan orang-orang yang miskin, sengsara, tertindas, putus asa, dan tak berdaya. Para Biksu dan Biksuni menjalani kehidupan di jalan kemanusiaan yang mulia dengan sikap sabar, tulus, dan ikhlas. Mereka mengajarkan kepada siapa pun untuk selalu “memberi” daripada “menerima”.
Ini misalnya sangat tampak pada sosok Biksu Ajahn Brahm yang mendunia yang mengajarkan kejernihan, kebijaksanaan, dan kebajikan dengan bahasa yang mudah dicerna dan jenaka. Ucapan dan tindakannya sedemikian sederhana, namun terasa mencerahkan. Cinta kasihnya kepada sesama sedemikian kuat, kental, dan menggetarkan seirama dengan tokoh kemanusiaan yang lain seperti Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, Dalai Lama, dan beberapa lagi lainnya.
Sosok seperti Mahatma Gandhi dan Dalai Lama merupakan potret ideal seorang spiritualis-religius yang memancarkan kesalehan ritual dan sosial sekaligus. Mereka tak hanya pribadi yang tercerahkan secara batin, melainkan juga “dekat” dan “menyatu” dengan Tuhan dan Sang Hidup.
Tak hanya itu, sebagai seorang asketis yang progresif mereka juga melakukan gerakan sosial secara radikal yakni memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan di satu sisi, serta melawan segala bentuk kesewenang-wenangan, kezaliman, dan penjajahan (imperialisme) dalam segala bentuknya dengan prinsip cinta kasih dan pantang kekerasan, pada sisi yang lain.
Selamat Hari Waisak 2562 BE.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Sadhu-Sadhu-Sadhu.[]