Bukan Amien Rais namanya kalau hanya diam saja melihat umat (Islam) dizalimi. Ya, belum lama ini Pak Amien mensinyalir akan mengerahkan people power jika dalam Pemilu kali ini terdapat kecurangan.
“Kalau nanti terjadi kecurangan, kita nggak akan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Nggak ada gunanya, tapi kita people power. People power sah,” kata Amien Rais pada Apel Siaga Umat 313.
Tentu saja, kecurangan yang dimaksud adalah jika Prabowo, Capres yang diusungnya kalah. Artinya, jika Prabowo menang, meski faktanya tetap ada praktik kecurangan, ntah dari pihak mana, itu tidaklah mengapa.
Dengan kata lain, yang sekarang ini paling penting adalah bagaimana agar Prabowo menang. Bila perlu dengan cara apapun. Bahkan tidak peduli meski harus melibatkan (partai) Allah, setan, dan belakangan genderuwo sebagai biang kerok kecurangan Pemilu.
Kalau ternyata kalah? Makanya diumbarlah wacana apabila kecurangan itu ada.
Seperti diketahui, wacana menggerakan massa sebagai amunisi Pak Amien untuk menggentarkan lawan memang tidak muncul secara tiba-tiba. Ia setidaknya masih berkelindan dengan luka di 2014 lalu, ketika Prabowo kalah, Amien Rais dengan koalisinya membawa ketidakpuasan ini ke meja hijau.
Hasilnya? Kalah. Telak.
Lepas dari ada tidaknya praktik kecurangan itu, tuduhan dan laporan Amien Rais faktanya memang didukung oleh bukti-bukti yang lemah di peradilan. Dengan kata lain, ia tidak punya bukti yang cukup kuat untuk meyakinkan putusan hakim.
Tentu saja, kekecawaan adalah kekecewaan. Tapi ya namanya proses peradilan, tidak bisa dong jika berbekal bukti-bukti lemah apalagi hanya asumsi. Sebab, jika menang-kalah di jalur hukum tidak ditentukan oleh kuatnya bukti empirik, pastinya kasus Novel Baswedan tidak mangkrak sampai sekarang yang bukti-buktinya ntah kemana gerangan meski sempat diamankan pihak berwenang. Harusnya Pak Amien paham betul tentang hal itu.
Lagi pula, Pak Amien pastinya juga masih ingat sewaktu Gus Dur, Presiden ke-4 yang di(a)jatuhkan secara politik. Dan, hal ini bahkan tidak perlu disangsikan lagi. Dengan sangat benderang Gus Dur di salah satu acara TV bilang bahwa ada dua orang yang bertanggunghhawab atas pelengserannya: Amien Rais dan Megawati.
Kabarnya, merespon penzaliman tersebut telah siap jubelan “pasukan berani mati” untuk membela Gus Dur. Ya, berbondong-bondong para pendekar bela diri gegap gempita menuju Jakarta.
Mendengar kabar people power ini, alih-alih gembira, Gus Dur justru geram. Bahkan mereka yang telah merapat ke Jakarta waktu itu, diminta oleh Gus Dur supaya pulang ke rumahnya masing-masing.
Kebetulan saya pernah bertemu pelaku sejarah pasukan berani mati tersebut. Dia mengatakan, ada dua hal yang sekurang-kurangnya merupakan penghinaan bagi seorang pendekar. Pertama, kalah, atau kedua gagal berperang.
Tentu saja, keengganan Gus Dur untuk dibela itu sontak membuat dirinya merasa masygul. Ia pun sempat mengutuk keadaan karena merasa kalah dua kali: gagal perang dan kalah bukan oleh lawannya, melainkan oleh orang yang hendak ia bela, Gus Dur.
Sejurus kemudian ia mengatakan, “Gus Dur memang mengalahkan saya, mas. Akan tetapi tidak secara fisik, beliau mengalahkan nafsu saya. Dan kemudian saya tersadar bahwa Gus Dur benar, bahwa tidak ada jabatan yang perlu dibela mati-matian apalagi sampai harus menumpahkan darah.”
Jadi sebetulnya aneh, kalau hari ini Amien Rais seolah-olah melupakan momen penting itu. Momen di mana orang seperjuangan—dalam mereformasi rezim diktator–yang dia usung sekaligus ia jatuhkan mampu berbesar hati dengan penuh kesatria mengedepankan sikap-sikap waskita ketimbang nafsu kekuasaan.
Padahal, kalau berkenan, Gus Dur bisa saja mengiyakan people power pasukan berani mati itu. Dan, kalaupun hal itu terjadi, belum tentu Pak Amien sedamai hari ini. Beruntung Gus Dur menolak people power.
Tapi memang, beda Gus Dur beda pula Amien Rais. Amien Rais, seperti dibilang Gus Dur dalam salah satu artikel berjudul Tiga Pendekar Chicago, adalah tipe orang yang terkenal dengan orientasi “cara hidup Islam” yang ditumbuhkan di ranah formal.
Konsekuensinya, dalam pandangan ini mau tidak mau kaum muslimin harus turut serta memperhatikan dunia politik. Oleh karena itu, arti kekuasaan politik dalam pengertian ini kemudian menjadi sangat penting sebagai alat untuk melestarikan tradisi Islam.
Persoalannya, mau sampai kapan generasi muda kita akan dipertontonkan pertikaian orang-orang tua yang, alih-alih melestarikan tradisi Islam, mereka justru merayakan dengan penuh nafsu kekuasaan?