Beberapa riset menunjukkan Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kerukunan umat beragama yang perlu ditingkatkan. Daerah tersebut berada pada urutan lima provinsi dari bawah dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama yang dirilis Kemenag RI (2021). Beberapa kota di provinsi tersebut pun masuk dalam kategori rendah dalam Indeks Kota Toleran (Setara, 2022).
Ingin lebih memahami hal tersebut, kami mewawancarai Angelique Maria Cuaca, yang akrab dipanggil Like. Ia adalah salah satu anak muda Sumatera Barat yang aktif menggerakkan isu toleransi di provinsi tersebut. Ia bersama rekannya membentuk Pelita pada 2019 lalu, sebuah komunitas anak muda yang mengawal berbagai isu lintas agama di Sumatera Barat.
Dalam persoalan hubungan antar agama ataupun kekerasan yang mengatasnamakan agama, Like menyoroti perihal kebijakan sebagai satu faktor penyebabnya. Ia mengkritisi politik identitas dan tidak mau terjebak dalam paradigma mayoritas-minoritas saat membicarakan hubungan antar agama. Berikut sajian wawancaranya;
Ketika membicarakan keagamaan di Sumatera Barat, orang lebih banyak berbicara tentang Islam-nya saja. Padahal kehidupan agama di Sumatera Barat diketahui juga beragam. Bagaimana Anda melihat ini?
Sumatera Barat itu-kan sebuah wilayah administrasi hukum yang terdiri dari 19 kabupaten dan kota. Dilihat dari penduduknya juga terdiri dari beragam etnis dan agama juga. Di lihat dari situ Sumatera Barat sudah beragam. Kita memang harus membedakan antara (wilayah) adat dan (soal) batas wilayah administratif sebuah daerah. Itu penting sih kita pisahkan. Sehingga kita tidak terjebak pada persoalan identitas, yang persoalan ini (identitas) tidak hanya terjadi di Sumatera Barat. Tapi juga di banyak daerah lain.
Anda dan teman-teman Pelita aktif mengampanyekan kerukunan dan toleransi di Sumatera Barat. Mungkin dapat diceritakan bagaimana aktivitas Pelita?
Kita saat ini lebih banyak bergerak di wilayah kulturalnya. Jadi kita membuat ruang-ruang perjumpaan dengan beragam kelompok. Kemudian kita juga berlahan-lahan tidak menggunakan diksi-diksi yang bias dalam berkomunikasi. Ruang perjumpaan kita buat secair mungkin. Tidak hanya dengan mengunjungi tempat-tempat ibadah, tapi kita juga melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, seperti menggalang bantuan untuk membantu korban bencana alam.
Apa pun kegiatan yang memungkinkan orang untuk berjumpa dan berdialog, kita lakukan. Kita juga ada kelas-kelas, seperti membuat workshop, berkolaborasi dengan banyak pihak, kita juga terus mengadvokasi kebijakan, dan banyak lagi.
Soal advokasi kebijakan, Pelita juga mengadvokasi korban dalam kasus “pemaksaan” jilbab yang sempat viral tahun lalu, Bagaimana peran Pelita waktu itu?
Ya soal jilbab itu, sebenarnya kasus itu adalah puncak dari persoalan lama, yaitu Perda Wajib Berbusana Muslim. Penolakan-penolakan (atas Perda) itu sudah ada dari dulu, hanya saja skopnya kecil. Baru pada tahun 2021 itu ada orang berani memviralkan, sehingga kasus itu mencuat ke publik.
Pelita saat itu fokus menemani korban dalam segala proses yang harus korban hadapi. Kami mendampingi korban mulai ketika dipanggil Komnas HAM, Ombudsman RI, sampai persoalannya selesai.
Poinnya kita berkolaborasi dan memang kita tidak bekerja sendiri. Ada kawan-kawan dan jaringan pejuang HAM di Sumatera Barat juga. Itu menjadi persoalan bersama. Pelita mengambil peran di wilayah mitigasi korban dan konsolidasi jaringan.
Puncak dari persoalan lama. Artinya ada potensi konflik. Menurut Anda apa potensi konflik keagamaan yang dapat merusak harmonisasi di Sumatera Barat?
Yang paling penting kita perbaiki itu adalah tata kelola keberagamannya.
Spesifiknya seperti apa?
Ini bermula dari RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan Perda-perda (Peraturan Daerah). RPJMD dan Perda harus tidak diskriminatif dan menjawab kebutuhan semua warga negara Indonesia yang ada di Sumatera barat. Lalu respon pejabat publik dalam memandang atau menyelesaikan konflik, haruslah berdasarkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Regulasi yang dikeluarkan pun tidak boleh berpotensi diskriminatif kepada kelompok yang berbeda.
Kalau ketiga aspek ini tidak terpenuhi maka keberagaman akan terus menjadi masalah dan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Apalagi sekarang menjelang tahun politik 2024. Kita melihat banyak pihak memainkan isu identitas ini.
Apakah Anda ingin mengatakan bahwa ketiga aspek itu belum terpenuhi di Sumatera Barat?
Iya, mesti lebih kita perbaiki.
Artinya Anda juga ingin menyampaikan ada kebijakan yang bermasalah?
Iya seperti tadi, ini lebih ke persoalan struktural. Tidak hanya di daerah, tapi dari peraturan di tingkat nasional juga, sehingga berpengaruh ke daerah. Misalnya, SKB (Surat Keputusan Bersama) dua Menteri tentang pendirian rumah ibadah, itu menimbul kekerasan di banyak daerah. Kemudian juga ada SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah, yang berakibat banyak teman-teman Ahmadiyah di level daerah terdiskriminasi dalam berbagai aspek.
Saya pikir payung hukum ini sangat-sangat perlu diperbaiki, sehingga turunan-turunannya dapat pula menjadi baik. Juga Perda-perda bernuansa identitas dihapus. Kita harus clear begitu, identitas ini bukan hanya soal agama, tapi juga etnis.
Baik, saya ingin beralih sedikit. Mungkin banyak yang ingin tahu, bagaimana kehidupan umat agama dengan jumlah minoritas di tengah masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas muslim? Anda boleh tidak menjawab, jika tidak berkenan.
(Sambil tertawa) lebih baik saya jawab.
Silahkan.
Pertama, kita mesti paham bahwa mayoritas dan minoritas itu hanya persoalan ruang dan waktu. Mungkin di Padang (Sumatera Barat) saya minoritas. Tapi di tempat lain saya bisa saja menjadi mayoritas, dalam waktu yang singkat begitu.
Artinya, saya ingin menyampaikan meskipun daerah berbeda-beda, siapa pun yang menjadi minoritas dan dikurangi haknya karena ia minoritas, tidak akan ada satu orang pun yang akan senang.
Saya juga tidak senang, di salah satu daerah misalnya ada pelarangan mendirikan masjid, larangan menggunakan hijab. Saya tidak senang, karena itu mengurangi hak warga negaranya.
Apakah Anda ingin mengatakan mayoritas dan minoritas itu tidak relevan?
Iya, seperti itu.
Selanjutnya, bagaimana Anda membangun komunitas antar iman di Sumatera Barat. Kami tahu itu cukup asing di sana?
Iya, Pelita lahir tahun 2019. Awalnya kita gelisah karena persoalan (politik) 2019 mengakibatkan degradasi yang luar biasa. Jadi kita berpikir harus ada ruang bagi anak muda untuk berjumpa dan mengklarifikasi. Sesederhana itu (pada mulanya).
Hingga saat ini kita berproses, banyak juga yang mendukung dan ikut terlibat.
Adakah tantangan membangun Pelita?
Tantangannya pasti ada, juga ada yang resisten. Misalnya di media sosial ada serangan. Salah satu contoh, misalnya dalam hari besar seperti Natalan, kita biasanya hadir, termasuk juga teman-teman yang muslim. Di Sumatera Barat kan aneh banget begitu. Kemudian ada publikasi. Sehingga ada pertanyaan dari orang tua dan teman-teman. Sampai ada yang disuruh syahadat ulang.
Tapi akhirnya itu yang membuat kita sadar, bahwa konflik identitas itu menyakiti semua orang.
Meskipun begitu banyak juga teman-teman Pelita yang berhasil memberikan pengertian kepada orang tuanya, kepada teman-temannya. Sehingga kesadaran itu muncul.
Menumbuhkan kesadaran bersama di lingkungan sekitar itu menjadi tantangan saat ini.
Ke depan, apa kiranya tantangan terbesar Pelita dalam membangun dan memperkuat harmonisasi di Sumatera Barat?
Tantangan terbesar kita seperti yang disebutkan tadi, soal kebijakan.
Oh, berarti tidak ada tantangan kultural, dalam artian kebudayaan Minangkabau yang identik dengan Islam?
Tidak. Kultural justru membuat kita termotivasi dan bersemangat. Banyak orang baik dan memiliki kesadaran toleransi di Sumatera Barat. Masalah struktural ini (kebijakan) yang menjadi polemik. 5,5 juta penduduk Sumatera Barat, dengan 5 jutaan penduduknya adalah muslim. Siapa yang dapat memastikan bahwa 5 juta itu memiliki pemikiran yang sama (kesadaran toleransi).
Di Sumatera Barat banyak sekali orang baik, meski sebagian besar mereka tidak terdengar dan tidak memegang corong-corong publik. Orang-orang ini kita temukan dalam ranah-ranah kultural. Ini yang menyemangati kita untuk terus berproses dan berjejaring.