Ketika Fathu Makkah, Bilal—sahabat Nabi yang berkulit hitam—naik ke atas ka’bah kemudian mengumandangkan azan atas perintah Nabi. Melihat itu, sebagian sahabat mengernyitkan dahi tak percaya mengapa orang seperti Bilal yang zahirnya seperti itu dipercaya Nabi untuk melakukan panggilan kepada para sahabat agar bergegas melaksanakan salat.
Ada yang menanggapinya dengan kepala dingin, tapi ada juga yang berkata miring. Di antara mereka yang “merasa risih” itu berkata, “Alhamdulillah ayahku telah wafat, sehingga ia tak melihat peristiwa (yang memalukan) hari ini.” Dan ada pula yang mengkritik kebijakan Rasulullah, “Apa Nabi tak menemukan selain gagak hitam ini untuk mengumandangkan azan?” begitu kurang lebih yang dikatakannya.
Apa yang dilakukan Bilal sudah tepat, karena ia mengerjakan perintah Rasulullah Saw, yang mana perintah itu sudah sesuai dengan hukum konstitusi yang ada, yakni sesuai dengan kehendak Tuhan, karena Nabi tidak pernah berkata dengan hawa nafsu.
Hanya saja, sebagian sahabat tidak paham atas dasar apa Rasulullah memilih Bilal untuk azan. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan, mereka sebenarnya “iri” mengapa bukan mereka saja yang dipercaya Nabi.
Cerita di atas, adalah gambaran kehidupan antara pemimpin, kebijakannya, dan reaksi masyarakat terhadap kebijakan itu. Dalam menjalani hidup di masyarakat akan selalu ada kejadian serupa, di mana akan selalu ada kritikan terhadap kebijakan pemerintah. Akan selalu ada pula pihak yang merasa dirugikan, entah karena tidak kebagian “kue” atau alasan yang lain.
Padahal, ketaatan kepada pemimpin ini merupakan perintah Allah, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw), dan ulil amri di antara kamu…” (QS. Al-Nisa [4]: 59).
Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa ketaatan kepada ulil amri berkaitan erat dengan keimanan seseorang. Semakin beriman seseorang harusnya ia semakin taat kepada ulil amri. Tentang siapa ulil amri, ulama berbeda pendapat. Ada yang berkata, ulil amri adalah pemerintah. Ada yang berpendapat bahwa ulil amri adalah ulama. Dan ada pula yang mengatakan, ulil amri adalah siapa saja yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesi.
Dari banyak pendapat di atas, penulis lebih setuju mengambil jalan tengah, yaitu ulil amri adalah yang mengatur urusan kita, baik dalam lingkup yang terkecil (keluarga atau RT), atau yang tertinggi (presiden).
Menjadi pemimpin memang tidaklah mudah. Ia harus menjadi penengah antar banyak kelompok. Tidak condong ke satu arah. Ia bukan pempimpin satu golongan saja, melainkan banyak golongan. Apalagi di Indonesia, yang penduduknya beragam dengan latar belakang suku, budaya, bahasa, dan agama, yang berbeda. Seorang pemimpin dituntut untuk berhati-hati dalam mengambil kebijakan. Jangan sampai berat sebelah.
Namun yang juga harus selalu kita ingat bahwa menyenangkan semua pihak adalah sebuah cita-cita yang tidak akan pernah tercapai. Sehingga, ketika sudah sesuai dengan konstitusi, hendaknya seorang pemimpin berani mengambil keputusan, apapun risikonya. Seorang pempimpin tak boleh takut kepada tekanan beberapa orang atau kelompok saja. Ia harus memiliki kekuatan, kemantapan hati, serta karakter yang kuat dalam menentukan setiap kebijakan untuk kemaslahatan masyarakat yang dipimpinnya.
Ketika menjadi pemimpin, hal yang harus diutamakan adalah amanah dan keadilan. Itulah mengapa dalam surat al-Nisa’ ayat 59 di atas, perintah mengikuti pemimpin tidak diawali dengan fi’il amr (kalimat perintah) athi’uu (taatlah!), sebagaimana yang kita lihat ketika perintah itu berkaitan dengan Allah dan rasul-Nya. Ini menandakan taat kepada pemimpin adalah kewajiban, asal kebijakan dan perintahnya berdasarkan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Atau dengan kata lain, sejauh kebijakan itu tidak bertentangan dengan agama, maka tidak ada alasan buat kita untuk menolaknya. Sebagaimana sebuah ungkapan, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk mendurhakai Tuhan”. Begitu kurang lebih penjalasan al-Sya’rawi dalam tafsirnya.
Dari sini, penulis mengambil kesimpulan bahwa yang terpenting dari seorang pemimpin bukan sosoknya, melainkan kebijakannya. Tidak peduli siapa ia dan bagaimana sosoknya, asal ia ahli, amanah, adil, dan bisa membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat yang ia pimpin, maka masyarakat wajib untuk mengikuti dan menjalankan perintahnya. Bukankah kita harus melihat apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan?
Perbedaan pendapat dan pandangan dalam memahami suatu permasalahan adalah wajar adanya (sebagaimana terlihat dari sikap para sahabat terhadap kebijakan Nabi di atas). Hal demikian tak perlu dibesar-besarkan. Apalagi dalam kaitannya antara pemimpin dan yang dipimpin (rakyat). Pempimpin—dalam memutuskan kebijakan—pasti (dan harusnya) melalui banyak pertimbangan dan sudut pandang.
Dan bagi rakyat, salah memahami kebijakan pemimpin adalah hal wajar. Bisa jadi, rakyat hanya memakai satu sudut pandang saja. Wajar. Namanya juga rakyat. Mereka mengkritik dan komplain karena memang belum tahu. Jangankan antar rakyat dengan pemimpinnya, antar saudara kandung saja seringkali tidak sama pendapatnya, kok.
Ketika Jibril mengadukan para pengritik kebijakan Nabi itu kepada Nabi, Nabi tidak marah, tidak menghukum, apalagi mengkriminalisasinya. Apa yang dilakukan Nabi? Ia hanya memanggil mereka untuk klarifikasi dan memastikan apakah mereka benar-benar mengkritik. Nabi tidak mengambil sikap apapun, ia paham, para sahabat hanya memandang masalah dari satu sudut pandang saja.
Setelah mereka mengakui perbuatannya, Allah menegur mereka dengan menurunkan ayat, “Ya ayyuhannasu inna khalaqnakum min zakarin wa untsa…” (QS. Al-Hujurat [49]: 13), yang secara singkat mengandung makna bahwa perbedaan adalah kehendak Tuhan dan yang paling takwalah yang paling mulia di sisi Tuhan.