Setelah ISIS keluar dari Raqqa, Suriah, pertunjukkan seni kembali menggeliat. Benteng terakhir ISIS ini membuka kembali beberapa pusat kebudayaannya. Kota ini dikenal memiliki lebih dari 20 pusat kebudayaan dengan koleksi 60.000 buku.
Selama empat tahun ISIS melarang musik dan seni sampai akhirnya berhasil direbut oleh pasukan yang didukung Amerikapada Oktober 2017. “Saya tidak bisa menggambarkan betapa bahagianya saya,” kata Fawzia Al-Sheikh seperti dilansir laman arabnews. Ia menambahkan bahwa setelahkota mereka hancur dan tidak ada pertunjukkan seni atau budaya. “ Namun kini kami akhirnya memiliki pusat di mana kami dapat mendengarkan lagu dan puisi lagi,” tambahnya.
Di galeri Raqqa Centre for Arts and Culture kini terang benderang dengan lukisan tergantung. Di ruang konser, Malak Al-Yatim turun panggung setelah tampil bernyanyi di depan umum lagi. “Aku merasa seperti burung yang menyapu langit musim semi,” Yatim sambil menambahkan bahwa ISIS menghancurkan alat instrumennya dan melarangnya bernyanyi. “Kami seperti burung bulbul di kandang. Jika kita melakukan sesuatu, mereka akan memenggal kepala kita atau mencambuk kita.”
ISIS menguasai Raqqa pada tahun 2014, menjadikan kota ini ibukota Suriah secara de facto. Ketika mereka berkuasa Tetapi para ekstremis memaksa semua fasilitas ini untuk menutup, membakar, dan menghancurkan buku dan lukisan. Tetapi masih ada beberapa buku yang berserak di perpustakaan,. “Buku-buku ini bisa Anda lihat – kami menyelamatkannya dari reruntuhan,” kata Ziad Al-Hamad, direktur pusat tersebut. Selama pemerintahan ISIS , penduduk menyembunyikan buku di mana saja mereka bisa. “Ketika kota itu dibebaskan, mereka mengembalikannya kepada kami,” tambah Hamad, yang juga duduk di komisi budaya dan barang antik dewan kota.
Di galeri pusat kebudayaan, pelukis Amal Al-Attar mulai bekerja dan kembali dari pengasingan di Beirut. Di antara karya-karyanya adalah lukisan perahu putih yang terapung di lautan, dan satu lagi rumah di bibir pantai. “Ini seperti kelahiran kembali,” kata pria 37 tahun ini. Attar dulunya adalah mengelola studio untuk para seniman. Ketika ISIS menyerbu kota ia melarikan diri ke Libanon dengan meninggalkan 50 karyanya. ISIS membakar karya-karyanya. “Saya tidak bisa melupakan apa yang terjadi saat itu, tetapi pusat budaya ini akan memberi kita dorongan baru,”ungkapnya.