Seluk Beluk Ushul Fiqih Untuk Pemula (7): Fiqih dan Watak Kemajemukannya

Seluk Beluk Ushul Fiqih Untuk Pemula (7): Fiqih dan Watak Kemajemukannya

Fiqih bukanlah syariat, melainkan sekadar bentuk ejawantah dari syariat itu agar bisa diterapkan secara nyata dalam kehidupan. Dengan karakter fiqih yang beragam, Islam bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Seluk Beluk Ushul Fiqih Untuk Pemula (7): Fiqih dan Watak Kemajemukannya

Fiqih merupakan produk penggalian hukum (istinbath al-hukmi) berdasar metodologi Ushul Fiqih tadi terhadap suatu kondisi baru, terkini, baik yang dulunya telah ada ketentuan hukumnya tetapi mengalami perubahan konteks hukum (‘illat al-hukmi) ataupun belum ada sehingga memerlukan ketetapan hukum baru.

Penting untuk berpagi-pagi didedahkan di sini bahwa, pertama, fiqih bukanlah syariat, melainkan “sekadar” bentuk ejawantah dari syariat itu agar bisa diterapkan secara nyata dalam kehidupan. Boleh jadi, satu syariat dengan berdasar dalil ayat dan hadis yang sama membuahkan berbagai bentuk fiqh di antara para ulama.

Lalu, terjadilah ikhtilaf (khilafiyah) atau perbedaan pendapat di antara mereka. Berbagai bentuk pandangan fiqh tersebut dapat dikatakan sama derajatnya, kualitasnya, dan kesahihannya, sehingga dapat dikatakan “telah sesuai syariat Islam semua” dan karenanya boleh diikuti oleh semua umat Islam.

Kedua, sifat fiqih selalu relatif-benar pada dirinya sendiri di hadapan sifat relatif-benar fiqih-fiqih lainnya. Suatu produk fiqih tidak boleh dikatakan benar-absolut, karena itu berarti menginjak martabat bentuk fiqih-fiqih lain yang diproduksi oleh para ulama yang lain. Anda boleh bertaklid pada fiqih mana pun, tetapi terlarang untuk mengultuskan fiqih anutan Anda sembari menghina derajat sahih fiqih anutan liyan.

Ketiga, fiqih bisa berubah sesuai dinamika zaman dan kahanan serta tempat. Sekali lagi, yang absolut, yang tetap, dan yang berlaku sepanjang masa adalah syariat. Adapun fiqh itu bersifat relatif, bisa berubah, dan bisa tak berlaku sepanjang zaman. Perubahan-perubahan terhadap suatu fiqh akan sangat dipengaruhi dengan signifikan oleh perubahan ‘illat al-hukmi yang terjadi.

Keempat, karenanya mazhab fiqih sangatlah berlimpah ruah sejak zaman dahulu kala. Jika selama ini kita cenderung hanya mengenal empat mazhab fiqh (Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali), sesungguhnya jumlah mazhab fiqh sangatlah tak berbilang ruahnya, baik yang masih ada dan dianut maupun yang telah hilang dan tiada.

Imam Ja’far ash-Shadiq juga sangat banyak mengeluarkan fatwa hukum atau fiqh itu, pengikutnya pun pula sangat banyak. Lalu Mazhab Sufyan al-Tsauri, lalu Mazhab al-Zahiri, kemudian Mazhab Syi’i, dan sebagainya.

Ini memperlihatkan dengan empiris betapa keluasan, kelenturan, dan kedinamisan, serta sekaligus kelokalan fiqh merupakan keniscayaan yang alamiah, logis, dan biasa belaka. Kemajemukan fiqh sungguh-sungguh adalah sunnatuLlah. Upaya menyangkal khittah kemajemukan fiqh sungguh bukan hanya pekerjaan yang sia-sia, tetapi sangat rawan menyeret diri kepada badai perselisihan, pertikaian, dan permusuhan yang sangat dibenci oleh Allah Swt dan Rasulnya Saw. Maka hindarilah sikap arogan begitu.

Pada prinsipnya, mari kenali dengan jeli dan saksama bahwa produk istinbath hukum apa pun oleh ulama mana pun tepat di detik yang sama juga sangat mungkin difatwakan oleh ulama-ulama lain dengan bentuk dan ketetapan yang berbeda. Terima saja kemungkinan-kemungkinan luas tersebut dengan jembar hati, pikiran, dan sikap.

Lalu, genggam erat pengertian bahwa dengan karakter demikianlah, justru Islam ini bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin. Maka dikatakan bahwa keragaman fiqih merupakan rahmat. Ikhtilaf ummati rahmatun, perbedaan-perbedaan di antara umat merupakan rahmat dari Allah Swt.

Siapa pun tokoh agama yang mengatakan “inilah hukum yang pasti benar, dan selainnya adalah salah”, itu setara dengan ia mengklaim “inilah hukum Allah Swt yang dijamin benar berdasar pemahaman dan penafsiran saya, maka yang selain saya pasti tak sesuai dengan maksud dan kehendak Allah Swt”.

Cerna baik-baik proklamasi tersebut, apakah Anda masih akan mengatakannya masuk akal sehat?

Jelas tidak!

Maka lebih baik tinggalkan sajalah sosok-sosok yang berani memproklamasikan hal sejenis itu daripada menginfeksi hati dan pikiran Anda dengan narasi-narasi religius yang bermasalah tersebut (coba renungkan al-Baqarah 204–205). Sungguh itu hanya mungkin lahir dari hati yang angkuh, pikiran yang dangkal, dan hawa nafsu yang memendam berbagai tujuan dan kepentingan gelap gulita. Maaf….

BACA JUGA Seluk Beluk Ushul Fiqih Untuk Pemula (6): Operasi Ilmu Ushul Fiqih