Terbentuknya identitas muslim Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari kontruksi sejarah masa lalu. Pada saat itu para saudagar dari beberapa daerah di Asia bersinggah di berbagai tempat di Nusantara, dan selanjutnya menyebarkan agama Islam di daerah tersebut.
Meskipun banyak teori yang menyatakan tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia, akan tetapi hal itu tidak menjadi permasalahan di sini. Sebab kenyataan yang terbentuk pada saat itu ialah agama Islam yang menyebar ke penduduk Nusantara ialah sangat identik dengan aliran tasawuf Sunni.
Melihat kenyataan tersebut, maka tidak heran jika dalam perkembangannya muslim Nusantara sangat kental dengan Islam Sunni. Islam Sunni inilah yang mendominasi keberislaman penduduk Nusantara hingga saat ini. Terlebih lagi dengan adanya dua ormas besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan keanggotaan yang besar menjadi bukti nyata bahwa muslim Indonesia hingga hari ini masih didominasi oleh paham Sunni.
Dominasi yang sangat lama ini kemudian secara tidak langsung menkontruks pemahaman sebagian umat Islam bahwa muslim merekalah yang paling benar. Tantangan adanya aliran Islam transnasional memiliki andil besar dalam pembentukan frame tersebut. Seperti masuknya aliran Ahmadiyah sekitar tahun 1920, aliran Syiah di Indonesia, aliran Wahabi, dan gerakan radikalisme Islam.
Kedatangan gerakan transnasional ini disebagian benak muslim Indonesia dinilai sebagai tantangan yang harus diredam. Kenyataan ini bisa dilihat dari banyaknya aksi diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang Sunni. Mereka takut faham keagamaannya dirubah. Mereka takut nantinya Indonesia akan di-Syiah-kan atau di-Ahmadiyahkan atau lainnya. Di tambah lagi para kyai juga ada yang mengatakan bahwa aliran tersebut sesat, maka keberadaannya pun harus disingkirkan dari Indonesia. Paham semacam inilah yang sudah terkontruks di masyarakat.
Akan tetapi anehnya pelabelan semacam itu tidak terdapat dalam penilaiannya tentang gerakan radikalis, fundamentalis, dan teroris. Mereka hanya mendapat gelar salah karena tidak sesuai dengan mayoritas. Sebagai tambahan, kata “salah” dan “sesat” memiliki perbedaan kekuatan makna. Masyarakat akan lebih antusias dalam merespon kata “sesat” ketimbang kata “salah”. Padahal jika kita tahu bahwa frame “salah-benar” atau “sesat-tidak sesat” adalah framing yang dibentuk oleh golongan mayoritas, dalam hal ini sunni.
Pemberitaan tragedi bom di Surabaya dan aksi kekerasan terhadap Ahmadiyah di Lombok Timur sangat terlihat sekali perbedaannya. Respon masyarakat banyak bersimpati dengan adanya aksi bom bunuh diri di Surabaya, akan tetapi hal itu tidak terlihat ketika adanya penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa image sesat yang melekat di Ahmadiyah menjadi pemicu utama kurangnya respon dari masyarakat.
Hal ini lah yang harus kita sadari, narasi yang sudah dibangun tentang kesesatan Ahmadiyah telah mengakar di masyarakat. Sehingga ketika ada penyerangan seperti itu respon mereka rendah. Maka selanjutnya, langkah yang harus dibangun kembali adalah merekontruksi pemahaman seperti itu.
Upaya kecil yang bisa dilakukan adalah dengan mengenal mereka. Meskipun Ahmadiyah dalam hal teologi berbeda dengan mayoritas muslim Indonesia, akan tetapi perbedaan itu jangan lantas menjadi pemicu adanya konflik. Kalaupun memang teologi mereka tidak bisa kita terima, setidaknya sayangilah mereka atas nama kemanusiaan.
Merangkul kaum minoritas merupakan pengejawantahan dari ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), Ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia). Akan tetapi, jika pemahaman masyarakat tentang Ahmadiyah adalah sesat, maka menyayangi mereka dengan persaudaraan atas nama bangsa dan umat manusia adalah langkah yang harus diambil demi ketentraman negara.
Dengan melihat problem di atas, maka seharusnya masyarakat harus mengenal terlebih dahulu aliran dan gerakan yang ada di Indonesia sebelum menyatakan sikapnya. Apakah aliran atau gerakan tersebut mengancam kedaulatan NKRI atau tidak. Sebab yang diutamakan dalam bernegara adalah persaudaraan. Persaudaraan dalam arti saling menolong, saling membantu, tidak melukai, tidak bersikap benar sendiri, dan sebagainya.
Maka dari itu, atas nama persaudaraan, kita harus mampu merubah frame kita tentang aliran dan gerakan di Indonesia. Gerakan yang mengancam, terlebih lagi membuat kerusuhan, harus kita sikapi dengan serius, dan jika ada aliran atau gerakan minoritas yang tidak mengancam persaudaraan, meskipun berbeda teologi, harus kita rangkul demi menjaga persatuan dan persaudaraan bangsa.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.