Menteri Olahraga Prancis Amelie Oudea-Castera meminta klub-klub Ligue 1 memberikan sanksi kepada pemain yang menolak kampanye Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia, Minggu, 14 Mei 2023. Kebijakan itu membuat sejumlah pemain Muslim tak bisa bermain untuk klubnya.
Salah satu dampaknya, beberapa pemain klub Toulouse dicoret dari skuad matchday untuk laga Ligue 1 melawan Nantes pada Minggu (14/5) kemarin setelah mereka menolak diasosiasikan dengan gestur dukungan menentang homofobia.
Sejumlah pemain Muslim terpaksa absen dalam pertandingan melawan Nantes. “Beberapa pemain kami tidak setuju dengan kewajiban mengenakan warna pelangi yang melambangkan gerakan LGBT pada jersey,” tulis pernyataan resmi Toulouse, seperti yang dikutip oleh GOAL.
Kebijakan itu dilakukan dalam rangka Hari Internasional Melawan Homophobia, Transfobia, dan Bifobia yang jatuh pada 17 Mei 2023. Pemain Ligue 1 dan 2 wajib memakai nomor punggung berwarna pelangi di seragam mereka dan berpose dengan spanduk sebelum pertandingan akhir pekan lalu.
Sementara itu, pelatih dan pejabat klub memakai lencana berwarna pelangi di lengan. Bagi yang menentangnya, ia perlu diberikan sanksi dari pihak klub.
“Saya pikir itu adalah tanggung jawab klub-klub untuk memberikan sanksi,” tegas Oudea-Castera seperti dikutip dari BBC.
“Selama operasi seperti ini, yang melibatkan semua klub dalam isu dasar non-diskriminasi, Anda harus ikut tampil,” lanjut sang menteri.
Penyerang Toulouse dan Maroko, Zakaria Aboukhlal, adalah salah satu pemain yang memilih untuk tidak bermain dalam pertandingan melawan Nantes. Ia menulis kekecewaannya di media sosial. “Respek adalah nilai yang saya sangat hargai. Ini berlaku bagi orang lain, tetapi juga meliputi menghormati keyakinan pribadi saya sendiri,” tulisnya.
“Oleh karena itu, saya tidak percaya bahwa saya adalah orang yang paling cocok untuk ikut dalam kampanye itu,” lanjut Zakaria.
Pelatih Brest, Eric Roy juga turut melayangkan protes. Beberapa pemain Muslim di timnya tak bisa bermain. Padahal posisi klub hanya terpaut lima poin dari zona degradasi Ligue 1.
“Penjadwalan hari melawan homofobia itu sangat buruk,” katanya.
“Setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya. Secara pribadi, saya tidak masalah. Tetapi Anda dapat melihat bahwa ada pemain yang memiliki masalah dengan hal itu,” lanjut Eric.
Protes yang dilayangkan Eric Roy sangat beralasan. Ia menyoroti prinsip kebebasan berpendapat di Prancis yang tampak tidak akomodatif kepada pemain Muslim. Dalam posisinya sebagai pelatih, ia menyayangkan jadwal kampanye dukungan terhadap LGBT ini yang dilaksanakan di tengah fase genting musim Ligue 1 yang kini tinggal menyisakan tiga pertandingan.
Di luar konteks sepak bola, Prancis memang cenderung bias menggunakan dalih freedom of expression ini. Misalnya, dengan membiarkan pelecehan terhadap Nabi Muhammad dan memajang gambar kartun penghinaan di salah satu kantor pemerintahannya dengan dalih “kebebasan berpendapat”.
Kasus ini merujuk pada kasus Samuel Paty yang dipenggal oleh imigran Muslim di Prancis 2020 lalu. Pada 21 Oktober 2020, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, memberi pidato menyikapi kejadian ini. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa Samuel Paty akan menjadi wajah Republik dan mengingatkan kita untuk membasmi teroris. Macron juga mengatakan bahwa Prancis akan tetap mempertahankan kebebasan berekspresi dan tetap menjunjung tinggi laïcité.
Laïcité atau sekulerisme telah menjadi dasar falsafah Prancis, selama lebih dari 100 tahun. Ideologi ini merupakan anak kandung dari pengalaman traumatik bangsa Eropa terhadap konservatisme gereja dan intervensi agama yang berlebihan dalam aspek sosial politik. “Perselingkuhan” negara dan gereja melahirkan kekuasaan yang tiran. Maka laïcité lahir sebagai reaksi terhadap kekuasaan yang lalim itu.
Lebih dari sekadar bentuk pemisahan negara dan agama, laïcité mengandung gagasan agar negara mendorong privatisasi agama dan penyebarluasan nilai-nilai sipil dalam kehidupan warga negara. Melalui sebuah konstitusi yang dibuat pada 1795, Perancis melakukan sekularisasi lembaga-lembaga pernikahan, kesehatan, dan pendidikan.
Namun, sebagian kalangan menilai bahwa penerapan model sekulerisme Prancis justru kontra produktif terhadap kebebasan berekspresi warganya. Realitanya, sekularisasi membawa implikasi-implikasi lain yang bahkan tidak diprediksi sebelumnya. Saba Mahmood melihat bahwa sekularisme yang digemborkan itu justru bermuka ganda. Misalnya, terkait dengan pelaksanaan etika universal tentang nilai hak asasi manusia, yang dalam kenyataannya justru kerap dilanggar dalam kasus pelarangan pakaian simbol agama, seperti jilbab atau cadar.
Dengan kata lain, sekularisasi Prancis yang berangkat dari bias trauma masa lalu atas dominasi agama telah melahirkan sikap simplifikasi dan kebencian pada agama tertentu yang digeneralisasi sebagai sumber konflik dan terorisme. Lebih daripada itu, laïcité menjamin kebebasan berpendapat. Prinsip ini pula yang menjadi landasan trinitas Prancis; liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).
Beberapa kalangan melabeli keputusan Amelie Oudea-Castera sebagai gejala islamofobia. Namun, diagnosa islamofobia berdasarkan tesis laïcité untuk melihat statement Menteri Olahraga Prancis di atas sepertinya juga kurang tepat. Bias terhadap Islam memang terasa terutama ketika kasus Charlie Hebdo menyeruak.
Namun, di sisi lain, Prancis masih menjadi rumah yang nyaman, khususnya bagi imigran Muslim Eropa. Islam masih menjadi agama kedua di Prancis, yang memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa Barat.
Oleh karena itu, saya lebih cenderung pada tesis Saba Mahmood tentang standar ganda. Seharusnya, apa yang disuarakan Zakaria Aboukhlal bisa dilihat sebagai salah satu manifestasi kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh payung laïcité.
Artinya, hukuman bagi penentang kebijakan penghargaan kepada kampanye Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia tampak berlebihan. Hukuman ini justru memperlihatkan ironi dalam implementasi kebebasan berekspresi itu sendiri.
Jika Macron bisa menjustifikasi kebolehan menggambar kartun Nabi Muhammad dengan dalih kebebasan berekspresi, makai ia harusnya bisa paham terhadap dinamika perbedaan opini yang ada dalam negaranya. Marco Pirolini, seorang peneliti di Amnesty International, berkata bahwa kebebasan berekspresi tidak akan berarti apa-apa kecuali jika dia berlaku untuk semua orang.