Pembakaran Al-Qur’an di Swedia: Isu Sensitif yang Menyulut Kontroversi

Pembakaran Al-Qur’an di Swedia: Isu Sensitif yang Menyulut Kontroversi

Pembakaran al-Qur’an oleh Rasmus Paludan tentu memancing emosi sebagian besar umat Islam. Bahkan dikabarkan bahwa Paludan telah dikenal luas sebagai sosok yang rasis, khususnya kepada umat Islam.

Pembakaran Al-Qur’an di Swedia: Isu Sensitif yang Menyulut Kontroversi
Rasmus Paludan. Foto: TT News Agency via Reuters

Pembakaran al-Qur’an oleh Rasmus Paludan tentu memancing emosi sebagian besar umat Islam. Bahkan dikabarkan bahwa Paludan telah dikenal luas sebagai sosok yang rasis, khususnya kepada umat Islam. Dilansir kompas.com, tindakan Paludan tidak hanya berpretensi untuk memprovokasi kelompok muslim, akan tetapi juga untuk kampanye meraih suara di masyarakat Swedia.

Berangkat dari fakta tersebut, kita harus lebih bijak mengulik aksi kontroversi Paludan. Sebab, kegagalan kita memahami persoalan ini malah akan menanamkan narasi negatif pada identitas yang melekat pada Paludan, seperti agama, ras, atau etnis. Dengan kata lain, kita malah bisa menyuburkan kebencian pada kelompok-kelompok liyan yang tidak bertanggung jawab atas perilaku ceroboh tersebut. Kita pun tak berbeda jauh dari Paludan tersebut.

Rasmus Paludan adalah seorang politikus Denmark yang merupakan pendiri dan pemimpin Partai Solidaritas. Dia dikenal sebagai sosok rasis, diskriminatif, anti-imigran, dan anti-Islam. Bahkan, karena sikap dan aksinya yang sering provokatif terhadap kelompok rentan, seperti masyarakat muslim dan imigran, dia telah dilarang masuk ke beberapa negara Eropa. Bahkan, dia juga telah dijatuhi hukuman pidana di Denmark untuk tindakannya yang menyinggung orang-orang berbasis etnis atau agama tertentu.

Kembali ke aksi kontroversi Paludan, seharusnya kita bisa belajar banyak daripadanya. Satu dari sekian pelajaran dari tindakan tersebut adalah bagaimana Islamophobia bisa bertumbuh subur di masyarakat Eropa. Dengan ini, kita bisa mengantisipasi kebencian pada identitas lain juga bisa tumbuh di kehidupan sehari-hari kita.

Mimpi, Imigran, dan Islamophobia

Di pertengahan bulan Desember 2022 lalu saya menonton film “The Swimmer” lewat aplikasi streaming Netflix. Film tersebut menceritakan sosok Yusra dan Sarah Mardini, dua orang perempuan bersaudara yang melarikan diri dari perang di negara asal mereka, Suriah. Kondisi perang yang semakin parah di sana memaksa mereka berpisah dengan keluarga mereka dan mencari kehidupan yang lebih baik di Jerman.

Di tengah pelarian menuju Jerman tersebut, mereka berdua harus berenang di samping sampan pengungsi yang tenggelam untuk meringankannya, dan akhirnya membantu 18 pengungsi mencapai tempat aman di Laut Aegea saat diselundupkan dari İzmir menuju Lesbos. Perjuangan tidak berhenti di sana, mereka juga mengalami banyak rintangan bahkan hingga saat tiba di Jerman. Menariknya, takdir inilah yang membawa Yusra Mardini menjadi atlet di Olimpiade Rio 2016 sebagai anggota Tim Olimpiade Pengungsi.

Akan tetapi nasib pengungsi tidak selalu seindah Yusra. Tidak sedikit dari para pengungsi harus mengalami beragam permasalahan, mulai dari perampokan, penipuan, pelecehan, hingga harus meregang nyawa di tengah perjalanan. Saat tiba di Eropa, tujuan sebagian besar pengungsi, mereka pun banyak yang terlantar dan dianggap atau malah menjadi permasalahan sosial di negara yang mereka tempati.

Kasus pengungsi Rohingya di Aceh adalah contoh terdekat yang bisa kita akses bagaimana pengungsi menjadi permasalahan sosial yang tak kalah kompleks. Eksodus pelarian dari berbagai negara-negara yang memiliki permasalahan dalam negeri, seperti perang, ketimpangan ekonomi, hingga keterancaman hidup, ke Eropa atau Amerika juga banyak meninggalkan permasalahan.

Walaupun, isu pengungsi atau imigran di negara maju, macam Eropa dan Amerika, bukanlah hal baru, namun permasalahan ini berimbas pada respon masyarakat negara-negara tersebut. Bagi mereka, para pengungsi dan imigran tersebut mulai dianggap sebagai ancaman, mulai dari segi pekerjaan, tempat tinggal, hingga kesempatan kehidupan yang lebih baik.

Saat “merasa terancam,” kita sebagai manusia tentu melahirkan sikap atau respon yang kuat, yakni ketakutan dan dilanjutkan dengan menjaga atau melindungi teritori atau lingkungan kita. Sikap atau respon ini sangatlah natural, yang kemudian biasanya berimbas pada rasa benci yang mulai tumbuh.

Perang di Suriah dan ketimpangan ekonomi yang parah di beberapa negara mayoritas berpenduduk muslim membawa banyak pengungsi yang beragama Islam. Tak pelak, Islam pun menjadi entitas yang dibenci karena menjadi bagian dari identitas para pengungsi dan imigran tersebut. Lahirlah Islamophobia yang membawa banyak masalah di belakangnya, termasuk persoalan aksi-aksi pelecehan simbol sebagai ungkapan atau respon mereka yang merasa terancam.

Identitas dan Respon Kita

Giorgio Agamben, filsuf asal Italia, pernah mengemukakan teori “Bare Life.” Secara umum, teori yang dikemukakan Agamben berkaitan dengan hak asasi manusia. Menurut Agamben, dalam sistem negara-bangsa hak asasi yang dianggap suci dan tidak dapat diambil dari manusia memiliki kelemahan, yakni ia melekat pada identitas seseorang sebagai warga negara.

Dengan kata lain, hak asasi manusia baru menjadi nyata, ketika seseorang menjadi warga negara. Jika seseorang kehilangan kewarganegaraanya, maka ia secara otomatis akan kehilangan hak asasinya sebagai manusia. Namun, saya mencoba mengotak-atik teori tersebut untuk mengulik kontroversi pembakaran al-Qur’an.

Dari Agamben, kita bisa memahami bahwa respons kita sebagai manusia seringkali tidak dapat dipisahkan dari identitas yang melekat pada manusia. Artinya, teori Agamben di atas menjelaskan bahwa manusia memiliki identitas yang melekat, dan dapat mempengaruhi sikap dan respon seseorang atau masyarakat di sekitar kita.

Identitas yang melekat pada diri kita, dalam kasus Agamben sebagai warga negara, dapat mempengaruhi respon masyarakat di sekitar kita. Antara Islam dan kata phobia yang mengikutinya muncul dari identitas sebagai pengungsi di sebagian masyarakat muslim. Akibatnya muncul aksi-aksi rasis hingga diskriminatif pada kelompok muslim dari sebagian masyarakat Eropa yang memiliki kebencian atau merasa terancam atas kehadiran para pengungsi tersebut.

Sehingga, kita perlu memahami permasalahan Islamophobia yang diidap orang-orang macam Rasmus Paludan dan lain-lain tidak melulu soal kebencian agama. Namun, kehidupan kita yang kompleks juga menghadirkan sisi-sisi manusiawi yang kadang tidak kita duga sebelumnya.

Sebaliknya, respon paling umum di masyarakat muslim kala mendapatkan aksi-aksi macam Paludan lakukan, adalah boikot, selain demonstrasi besar-besaran. Usaha untuk memboikot seluruh produk yang berkaitan dengan Negara Swedia mungkin terlihat menjanjikan. Akan tetapi, aksi boikot tidak dapat bertahan hanya dengan respon spontan dan emosional.

Aksi pembakaran al-Qur’an kemarin memang tidak bisa diterima. Namun, pesan penolakan di kalangan muslim acapkali terselip pesan-pesan negatif lainnya, seperti penanaman kebencian agama atau etnis tertentu. Kita sebagai masyarakat Muslim tentu dituntut lebih bijaksana menghadapi permasalahan Islamophobia yang melahirkan aksi-aksi buruk tersebut.

Boikot bisa berdampak dan memberikan pengaruh harus dirancang dengan baik dan dapat bertahan lama, dan ini memerlukan modal untuk bertahan. Jadi, jika kita melakukan boikot harus disiapkan cadangan atau pengganti dari keperluan yang kita boikot.

Namun, apakah boikot adalah respon tepat bagi para rasis seperti Paludan? Mungkin sebagian kita menjawab iya, namun apakah itu bisa menyelesaikan persoalan? Bisa jadi jawabannya adalah tidak. Sebab, sebagaimana dijelaskan di atas, persoalan ini adalah bagian dari permasalahan identitas yang kompleks. Oleh karena itu, kita perlu menyelesaikan kebencian yang muncul dari permasalahan identitas ini dengan lebih bijak, seperti memberikan contoh Islam yang lebih bijak dan ramah.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin