Pada tulisan sebelumnya, penulis sudah memaparkan pandangan para ulama mengenai bunga dengan riba. Secara garis besar para ulama melarangnya, tetapi kita tidak bisa pungkiri banyak juga para ulama yang membolehkannya dengan kriteria tertentu. Mengapa para ulama banyak perbedaan mengenai bunga dengan riba? Jawabannya adalah karena proses ijtihad yang dilakukan para ulama berbeda-beda. Baik dari segi eksternal maupun internal.
Dalam tulisan ini kita akan melirik sedikit dengan membandingkan dampak sebuah perekonomian bunga (riba) dengan bagi hasil dalam prespektif mikro ataupun makro. Sebagian kecil dalam ekonomi mikro adalah supply (penawaran) dan demand (permintaan), sederhananya kita mengetahui sebuah perilaku dari konsumen dan perusahaan dalam menentukan harga-harga pasar. Misal, jika harga naik maka permintaan turun, jika harga turun maka permintaan naik.
Sedangkan dalam ekonomi makro, pengangguran, inflasi (kenaikan suatu harga), deflasi (penurunan suatu harga), pajak, dan pendapatan nasional menjadi ruang lingkup ekonomi makro. Misal, pada tahun 1998 Indonesia mengalami inflasi pesat 70 persen hingga mencapai dolar AS 17 Ribu. Ingat ya, 17 ribu pada tahun itu.
Dalam ekonomi konvensional dengan bunganya mereka menggunakan maximum satisfaction (kepuasan maksimal) dan maximum profit atau profit maximization (maksimalisasi keuntungan). Sedangkan dalam ekonomi Islam menggunakan Islamic value (nilai-nilai keislaman) dan human falah (berhasil dunia dan akhirat). Dalam pengambilan metodologi ekonomi Islam mengacu pada nilai-nilai keislaman yang bersumber al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai rujukan utama diikuti dengan ijma’ dan qiyas. Serta dalam ekonomi konvensional mengacu pada pendekatan rasioanisme dan emperisme.
Menurut muhammad akram khan dalam bukunya An Introduction to Islamic Economics dikatakan: Islamic economics aims the study of the human falah (well-being) achieved by organizing the resources of the earth on the basic of cooperation and participation. Kesejahteraan dengan nilai-nilai keislaman menjadi ciri khas ekonomi Islam.
Sebuah Dampak Perekonomian Konvensional dan Islam
Jika kita asusmsikan bahwa ekonomi konvensional dengan bunganya (riba) telah mengakar rumput perekonomian paling tidak akan membawa dampak yang cukup serius. Ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi. Mengapa demikian? Dalam sisi mikro, ketika seorang nasabah meminjam pinjaman ke suatu bank konvensional, dengan tujuan produktif atau konsumtif maka akan mendapatkan biaya tambahan (bunga).
Bank konvensional tentu saja mau menerimanya, yang cukup fatal adalah bank tidak semata-mata mau tahu peminjam untung atau tidak. Bayangkan saja jika memang sewaktu-waktu terjadi kemunduran drastis maka bebannya pun tidak ikut turun melainkan terus bertambah hingga jatuh tempo. Jika kita lihat hal seperi ini banyak dialami bagi nasabah menengah ke bawah yang mungkin tidak sedikit jumlahnya.
Dalam sisi ekonomi makro di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi sejak tahun 1965 sampai tahun 2017. Suku bunga yang menjadi pemain kunci dalam bank konvensional juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun, maka akan meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.
Teori ekonomi makro juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan asumsi cateris paribus. Kelima, sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Sebuah analisa ini bukanlah menjatuhkan atau menyudutkan ekonomi konvensional dengan bunganya (riba), melainkan hanya sebuah asumsi yang ditambahkan dengan teori dan fakta yang ada. Lalu bagaimana dengan ekonomi Islam dengan bagi hasil dalam perbankan syariahnya? Apa ada jaminannya jika kita terapkan keseluruhan aspek perekonomian dengan ekonomi Islam akan maju perekonomian suatu negara? Sebelumnya, ruang lingkup ekonomi Islam sangatlah luas. Bagi hasil adalah sebagian kecil model perekonomian Islam. Zakat, waqaf, infaq, industri halal dan model perekonomian islam lainnya rasanya perlu maju beriringan.
Ekonomi Islam masih banyak yang perlu dibenahi, bagi hasil dalam perbankan syariah. Apa sudah benar sesuai syariah? Tidak sedikit nasabah yang mengeluh mengatakan “sama saja nabung dan minjam di bank syariah dan konven.” Tentu saja ini bisa menjadi sebuah masukan untuk selalu membenahi praktik-praktik yang ada. Zakat misal, sudah seberapa besar kontribusi zakat menumbuhkan perekonomain. Sudah semua orang membayar zakat? Apa hanya menunggu orang-orang membayar zakat dan jika tidak membayar zakat menyalahkan mereka-mereka yang harus membayar zakat? Barangkali sistem kerja atau marketingnya ada yang keliru. Bukankah Allah memerintahkan dalam surah At-Taubah ayat 103 untuk “mengambil” harta (zakat) mereka yang berkewajiban?
Karena pada dasarnya ekonomi konvensional dan Islam jelas berbeda. Kalau sama ngapain ada konferensi besar tahun 1975 yang di dalamnya ulama’, fuqoha’, ilmuwan, akademisi dari seluruh dunia berkumpul di Jeddah, sehingga menghasilkan IDB (Islamic Development Bank). Ya, karena ngomongin ekonomi Islam, masa ngomongin orang.
Muhammad Najib Murobbi: Mahasiswa Pasca Sarjana Ekonomi Keuangan Syariah Universitas Indonesia