Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki melakukan upacara bendera dalam rangka HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 di halaman pondok, Rabu (17/8/2022). Sebagai alumni saya tentu saja terpesona. Tanpa pikir panjang, dari Yogyakarta saya langsung menstater honda supra saya menuju Surakarta, membelah kota Klaten pagi itu untuk menghadiri reuni alumni Pondok Ngruki dalam suasana HUT-RI ke-77.
Penyelenggaraan upacara 17-an ini merupakan kali pertama sejak Ponpes Abu Bakar Ba’asyir berdiri pada tahun 1972. Nampak Ustadz Abu, begitu biasanya santri memanggilnya, menghadiri upacara dengan mengenakan setelan baju dan peci yang cukup matching. Pilihan warnanya pun cukup senada yaitu putih, sarung cokelat muda, berkaca mata dan menggenggam tongkat.
Serangkaian ritual peringatan kemerdekaan itu berjalan lancar pasca Ba’asyir bersepakat tentang kebenaran nilai-nilai Pancasila sebagai asas filosofis negara.
Saya kira cukup menarik untuk melihat bagaimana pergolakan pikiran Ba’asyir tentang Pancasila dan Indonesia. Hal itu setidaknya terlihat dalam acara reuni Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki. Masih dalam suasana tujuh-belasan, pada hari Ahad (21/8/2022), Ponpes Ngruki mengadakan reuni akbar yang masuk dalam agenda Setengah Abad Khidmat Pondok Ngruki untuk Negeri.
Reuni itu dihadiri oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendi, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Kyai Hasan Abdullah Sahal, serta 300 orang dari instansi pemerintah dan ormas. Acara ini dimulai dengan menyanyikan Lagu Indonesia Raya, hymne pondok, dan mars pondok.
Saya sebagai seorang yang pernah menuntut ilmu di sana tidak mengikuti acara itu secara keseluruhan. Saya hanya mengikuti dua agenda saja, turnamen futsal dan tausiyah Abu Bakar Ba’asyir dalam acara “Nasihat Untuk Gen Pejuang” pada hari Sabtu (20/8/2022) secara virtual. Saya menemukan satu poin menarik terkait orasi Ba’asyir. Beliau secara konsisten masih membenturkan hukum buatan manusia dan hukum yang diturunkan Allah.
Ba’asyir, misalnya, mengatakan bahwa jika negara masih menggunakan hukum buatan manusia, yang saya yakin merujuk pada sistem demokrasi, maka moral masyarakatnya tidak akan pernah membaik. Sebaliknya, jika sebuah negara sudah mengimplementasikan hukum-hukum sesuai dengan syariat Allah, maka moral rakyatnya pasti akan terpuji.
Saya kemudian teringat pernyataan Ba’asyir yang mengakui kebenaran Pancasila sebagai produk ijtihad para ulama negeri yang berasaskan tauhid. Sebagai santri beliau, saya bertanya-tanya waktu itu, apakah Ba’asyir mengakui Pancasila termasuk sistem pemerintahan Republik Indonesia? atau hanya Pancasila saja?
Melalui orasi beliau di podium reuni, saya menangkap pesan bahwa Ba’asyir nampak tetap berjuang untuk menegakkan syariat Islam di negeri ini. Ia memisahkan antara asas negara dan sistem pemerintahan. Artinya, ia tetap sepakat bahwa Pancasila menjadi landasan filosofis negara, namun sistem pemerintahannya harus diganti dengan yang diturunkan Allah, yang saya yakin merujuk pada sistem khilafah.
Meski demikian, Abu Bakar Ba’asyir yang saya lihat sekarang adalah semakin lentur terhadap negara. Hal itu terbukti ketika Ba’asyir mengikuti gladi bersih upacara HUT Kemerdekaan RI-77 pada Selasa (16/82022). Dalam sesi gladi itu, tampak Ba’asyir menerima bendera Merah Putih dari Komandan Korem (Danrem) 074/Warastratama, Kolonel Inf. Achiruddin. Penyerahan itu dilakukan di ruang transit saat Abu Bakar Ba’asyir menerima jajaran pimpinan TNI, Polri, dan Kemenko PMK.
Saya sempat takjub, Merah Putih itu akhirnya mampu menerobos gerbang Pondok Ngruki. Sebuah fenomena yang tidak pernah saya lihat selama belajar di dalam pondok itu. Tak hanya menerobos gerbang, Merah Putih itu akhirnya juga berkibar di halaman pondok, persis di sisi utara masjid pondok. Meskipun Ba’asyir tidak ikut menghormat kepada Sang Saka saat melantunkan lagu Indonesia Raya, namun melihat bendera itu berkibar di salah satu sudut pesantren saja sudah bikin terenyuh.
Ustadz Yahya Abdur Rahman, Direktur Ponpes Ngruki, mengatakan bahwa upacara kemerdekaan tersebut hendak membuktikan bahwa Ngruki bukan Ponpes yang anti-NKRI. Kapolres Surakarta, seperti yang dikutip dalam website Kementerian PMK, mengatakan bahwa upacara tersebut dilaksanakan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme dan patriotisme di lingkungan para santri.
Baca Juga, Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah: Sebuah Anomali Kekuasaan
Selain itu, Ba’asyir juga mengatakan bahwa upacara itu merupakan inisiatif dari para alumni, bukan dari pihak pondok. Artinya, alumni membawa dampak yang baik bagi almamaternya, dan berusaha memperbaiki citra Ponpes Ngruki di tengah masyarakat.
Meski gagasan khilafah masih melekat dalam diri Ba’asyir, menurut saya itu justru yang menegaskan karakter Abu Bakar Ba’asyir. Rangkaian acara reuni, termasuk di dalamnya upacara HUT RI ke 77 itu membuktikan bahwa Pesantren Ngruki mencintai NKRI dan santri-santrinya sangat nasionalis. Dan, saya melihat reuni akbar ini sebagai media untuk mengamplifikasi pesan-pesan itu, sebagai instrumen untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian.