Buku Terjemahan Puitis Al-Qur’an: Dangding dan Pupujian Al-Qur’an di Jawa Barat ini (2019) mendedah secara mendalam dan kritis terjemahan Al-Qur’an dalam bentuk dangding dan pupujian. Jajang A Rohmana menelusuri dan berhasil menemukan terjemahan Al-Qur’an di Jawa Barat yang tersusun dalam bentuk puitis Al-Qur’an.
Di antaranya, Jajang berhasil mengungkap empat penerjemah Al-Qur’an. Pertama, R.A.A. Wiranatakusumah (1888-1965). Kedua, K.H. Sirodjuddin Abbas (w. 1995). Ketiga, R. Hiadayat Suryalaga (1941-2011), dan keempat, Enas Mabarti (1942-2014).
Jajang juga berhasil mengungkap dua ragam terjemahan Al-Qur’an puitis: pertama, terjemahan dangding Al-Qur’an, seperti Dangding Al-Qur’an dalam Riwayat Kangdjeng Nabi karya Wiranatakusumah, Soerat Al-Baqarah karya Wiranatakusumah dan Nur Hidayah karya Hidayat. Kedua, terjemahan pupujian Al-Qur’an yakni hasil inventarisasi Yus Rusyana, Khataman karya Sirodjuddin, pupujian karya Eas, dan Nadoman Nurul Hikmah karya Hidayat.
Dengan keseriusan mengkaji terjemahan-terjemahan dan tafsir Sunda, Jajang menyuguhkan karya-karya temuan baru yang jarang terpikirkan. Salah satunya buku ini yang beberapa artikelnya sudah diterbitkan di jurnal-jurnal nasional atau internasional, seperti Al-Jami’ah dan Suhuf.
Mula-mula, buku ini mendedah terjemahan dan puisi Sunda. Secara geneologis Jajang menyingkap persinggungan dan pengaruhnya penerjemahan terhadap otoritas Al-Qur’an dan penafsiran-pembacaan. Menurut Jajang, dengan mengutip Peter Newmark (1988), untuk mengetahui signifikansi terjemahan harus merinci sejumlah faktor di antaranya dari sisi bahasa sumber (Arab) dan bahasa sasaran (Indonesia/Sunda). Dari bahasa sumber, di antaranya pengarang, norma bahasa sumber, budaya dan latar situasi dan tradisi di balik terjemahan. Sedangkan dari bahasa sasaran, faktor yang mempengaruhi terjemahan, adalah hubungan pembaca, norma bahasa sasaran, budaya, latar situasi dan tradisi.
Maka itu, untuk mengkaji karya terjemahan puitis harus berusaha mendudukannya secara otonom sesuai dengan tata aturan kaidah bahasa dan sastra masing-masing. Juga yang paling penting perlu mempertimbangkan aspek makna. Seperti terjemahan puitis Al-Qur’an berbentuk dangding dan pupujian yang keberadaannya sangat terikat dengan struktur metrum puisi, harus didasari pada pemahaman dan penafsiran atas teks bahasa. Dengan demikian, secara prinsip teoritis (hermeneutis) tepatlah bahwa terjemahan merupakan bagian dari penafsiran.
Bisa dikatakan bahwa dalam menerjemahkan atau mengkaji terjemahan ia terikat dengan latar historis penulis dan pembaca di mana teks terjemahan tersebut muncul dan berkembang fungsi serta maknanya (Gracia, 1995). Menurut Jajang, terjemahan puitis Al-Qur’an dalam hal ini dangding dan pupujian harus dilihat dari makna bahasa sumber Arab, yang mengalami pergeseran dan perubahan dalam/ketika diterjemahkan ke dalam bahasa sastra Sunda. Kita bisa melihat genelogis dan dinamika dangding dan pupujian.
Sebagai salah satu bentuk karya sastra yang berasal dari tradisi kesustraan Jawa abad ke-17, dangding menyerap pengaruh budaya Jawa. Hal ini digambarkan oleh Jajang dengan memberi contoh Bujangga Manik, yaitu seorang bangsawan Sunda yang melakukan perjalanan ke Jawa dan Bali dalam naskah abad ke-16, yang dikenal “bisa cerek Jawa,” bisa berbahasa Jawa. Dalam konteks dangding tersebut, terjemahan Al-Qur’an R.A.A Wiranatakusuma yang pertama merintis penggunaan dangding sebagai media terjemahan melalui karyanya Soerat Al-Baqarah yang dibantu R.A.A Suriamiharja tahun 1949 mengalami sundanisasi.
Termasuk juga pupujian atau nadoman yang tersebar di masyarakat Sunda. Menurut Jajang, itu tidak bisa lepas dari tradisi keilmuan Islam dalam subkultur pesantren di Nusantara. Maka, pasti akan terlihat dalam pupujian itu mengandung jenis kandungan keagamaan yang kental: memuji keagungan Allah; salawat kepada Rasulullah, doa dan tobat pada Allah, memohon syafaat pada Rasulullah; nasihat kepada umat agar menjalankan ibadah dan menjahui maksiat; pengajaran ilmu keagamaan, rukun Iman, Islam, fiqih, akhlak, tafsir dan terjemahan Al-Qur’an.
Jajang menyontohkan pupujian Sunda halaman 36. Bertulis: Eling-eling dulur kabeh (8e)/ ibadah ulah campoleh, (8e)/ beurang peuting ulah weleh (8e)/ bisina kaburu paeh. Terjemahan: Ingat wahai saudara/ ibadah jangan dianggap remeh/ siang malam selalu lakukan/takutnya nati keburu mati… Sabab urang bakal mati/ nyawa dipundut ku Gusti/ matak kudu ati-ati/ ka ibadah sing gumati…. Terjemahan: Sebab kita bakal mati/ nyawa diambil oleh Tuhan/ maka harus hati-hati/ ibadah harus rajin. Eling-eling umat (6a)/ muslimin muslimat (6a)/ hayu urang solat (6a)/ berjemaah…, Terjemahan: Ingat wahai umat/ muslimin muslimat/ mari kita salat/ berjemaah.
Bagi Jajang, pupujian di atas hanya berisi nasehat biasa bukan ekspresi pribadi yang berupa rasa sedih, khawatir, rindu sebagaimana umumya sebuah karangan puisi. Bahkan hal itu tidak ada unsur sufistiknya yang berisi ekspresi pengalaman tasawuf dalam menjalani laku spiritual (suluk) penulisnya.
Dugaan Jajang, selain begitu dipengaruhi bahasa Arab, pepujian tersebut miskin kosa kata Sunda sebab banyak pengulangan yang sebetulnya kurang tepat digunakan. Hal itu pula akibat dari minimnya pesantren yang mempelajari bahasa Sunda dengan baik. Bahkan lanjutnya, kebanyakan pesantren di Tataran Sunda menjadikan bahasa Sunda sekadar alat komunikasi lisan saja, bukan sebagai wadah kegiatan sastra dan budaya orang-orang Sunda. Dan itu pula, tidak bisa dilepaskan dari peran kolonial Belanda yang sengaja menjauhkan pesantren dari aktivitas budaya dan kesundaannya sehingga diambil alih perannya oleh kaum menak, priyayi.
Di babakan lanjutnya, Jajang mengulas penyusaian terjemahan Al-Qur’an dengan kaidah dangding dan pupujian. Karena terjamahan dangding dan pupujian memiliki kompleksitas yang tidak ditemukan dalam terjemahan karya lainnya, maka harus mencari cara agar bisa menjembatani kandungan makna dari bahasa sumber degan bahasa sasaran. Setidaknya, ada lima cara untuk ditempuh dalam penyusaian atau mengompromikan kompleksitas aturan terjemahan dengan kaidah dangding dan pupujian.
Di antaranya melakukan: pemilihan jenis pupuh harus sesuai dengan watak dan pajang pendeknya ayat, karena pengarang akan sangat tergantung pada watak pupuh yang hendak disampaikan pada pembaca atau pendengarnya; penggabungan dan pemisahan pada bait pupuh (ini bisa ditemui pada teks Soerat Al-Baqarah karya Wiranatakusuma); penggunaan kata pinjaman; terjemahan yang berbeda untuk kata yang sama; dan melakukan pola pengaturan panjang-pendeknya kalimat.
Hal demikian juga berlaku dalam terjemahan pupujian Al-Qur’an (lihat hlm 199-220) supaya menghasilkan bait pupujian yang sesuai dengan kaidah pupujian dan mampu menangkap bahasa sumbernya. Meski demikian, menurut Jajang, karya-karya terjemahan pupujian memiliki tingkat keketatan yang berbeda bergantung pada penyusunnya yang nantinya akan dipersatukan pada jenis terjemahan yang sama, yakni terjemahan yang lebih mengedepankan makna tafsiriyah, ma’wiyah bukan harfiyah.
Kendati, pemilihan terjemahan tafsiriyah bukan karena alasan kemudahan bagi penerjemah dan penulisnya seperti terjemahan pada umumnya. Tapi dilihat dari struktur internal bahasa, terjemahan tafsiriyah menjadi sesuatu yang tidak bisa terhindarkan. Oleh karena itu, praksisnya harus bisa menangkap makna terlebih dahulu, lalu memilih kata dalam bahasa sasaran yang sesuai dengan makna tersebut semberi menyesuaikan degan kaidah puisi danding atau pupujian yang kompeks itu.
Buku berhalaman 266 ini mengajak segenap kompenin untuk menengok kembali khazanah terjemahan puitis bahasa lokal dan puisi khas lainnya. Pandangan pada kasus H.B. Jassin selayaknya menjadi pertimbangan etis, bukan dijadikan bahan stigma negatif pada posisi terjemahan puitis di negara ini. Disinilah ditunggu taringnya para pengkaji Al-Qur’an untuk membuka dan membincangkan kembali apa yang sudah H.B Jassin dan Jajang A Rohmana lakukan.
DATA BUKU
Judul Buku: Terjemahan Puitis Al-Qur’an: Dangding dan Pupujian Al-Qur’an di Jawa Barat
Editor: Jajang A Rohmana
Penerbit: Layung
Cetakan I: 2019
Tebal: 266 halaman
ISBN: 978-602-73599-9-4