
Pemerintah Indonesia berencana akan melakukan tindakan untuk 1000 penduduk Gaza. Sayangnya, hal itu simpang siur. Banyak kalangan di Indonesia yang memahami rencana itu sebagai pemindahan (migrasi). Media di Indonesia juga ramai memberitakan masalah ini. Komentar-komentar netizen Indonesia juga menjadi ke sana ke mari karena sumbernya juga tidak terlalu jelas. Biasa, pasti ada yang setuju dan ada yang tidak setuju, tapi kebanyakan tidak setuju, karena implikasinya justru bisa melemahkan Palestina dan memperkuat pihak Israel dan Amerika.
“Indonesia ini katanya mau jadi negara yang mengaung kok kini mengeong, hahahaha,” komentar Netizen.
Pernyataan terakhir pemerintah Prabowo mengatakan, mungkin karena kritik yang terus menerus muncul dari masyarakat, mereka tidak akan melakukan relokasi, tapi evakuasi. Tapi apa sebenarnya beda dua istilah ini?
Dalam kajian tentang keamanan, relokasi itu pemindahan dari satu tempat yang tidak aman (unsafe) ke tempat yang aman (safe) dan biasanya bersifat tidak permanen. Biasanya dilakukan di dalam sebuah negara, tidak beda negara. Sementara evakuasi (evacuation) itu justru melakukan pemindahan dari satu negara ke negara lain. Evacuation bisa permanen dan bisa juga tidak.
Tapi sekali lagi, apa yang dikehendaki pemerintah Indonesia sebenarnya? Apakah keterlibatan Indonesia untuk 1000 warga Gaza ini karena ingin mendapatkan credit dari Trump, mengingat pertama kali yang punya ide memindahkan warga Gaza adalah Trump?
Sikap Indonesia yang demikian ini menjadikan kita iseng-iseng untuk mengaitkan masalah ini dengan perang tarif. Dan kita tahu sendiri Indonesia kini ingin melobby Amerika untuk mendapatkan keringanan reciprocal tariffs –yang masih dibatalkan—atau apa?
Jika benar soal tarif, mengapa kita harus mengorbankan masalah Palestina, mengorban kedaulatan sebuah wilayah yang harus berdaulat?
Kunjungan Pemerintah ke Timur Tengah seperti UEA, Turki, Mesir, Qatar, nampaknya punya agenda yang saling terkait soal ini. Indonesia ingin berdiskusi dengan mereka soal evakuasi/relokasi warga Gaza. Ini masuk diakal karena negara-negara yang dikunjungi Prabowo adalah negara-negara yang oleh Trump masuk dalam agenda normalisasi hubungan Israel dan negara-negara Islam, juga Abraham Accord. Tapi sekali lagi jika Prabowo ingin meloby negara-negara itu untuk mendukung Indonesia menerima 1000 warga Gaza itu masih berat, karena Saudi tidak mau agenda itu. Saudi adalah sekutu Amerika yang cukup kuat untuk masalah ini.
Terlepas dari semua, sebetulnya pemerintah ini melakukan rencana ini secara tiba-tiba atau sebenarnya sudah lama ada pembicaraan? Menurut sumber-sumber media Israel, sebenarnya antara Indonesia dan Israel, sudah lama melakukan pembicaraan soal ini?
“Indonesia is ready to temporarily shelter Palestinians hit by the war in Gaza, the country’s president, Prabowo Subianto, said on Wednesday, estimating there could be 1,000 in the first wave, as he started a trip to the Middle East. Prabowo said he has instructed his foreign minister to quickly discuss with the Palestinian side and other parties about how to evacuate impacted Palestinians to Indonesia, a Muslim-majority country,” tulis The Time of Israel.
Ternyata pembicaraan antara Indonesia dan Yerusalem sudah berjalan sejak lama, tepatnya pada saat Trump mengumumkan rencana “relocation”. Bahasa Trump memang relocation.
Masih menurut media Israel ini, pemerintah Indonesia sudah bertemu dengan pihak Israel sebulan lalu. Pembahasannya adalah rencana evakuasi 100 warga Gaza untuk gelombang awal. 100 warga Gaza tersebut disiapkan untuk bekerja, bukan sebagai pengungsi. Ini juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menarik warga Gaza pindah ke Indonesia. Mereka ke Indonesia bukan hanya menempati shelter-shelter namun bisa berkerja, tepatnya pada bidang konstruksi.
Di pihak Israel, project ini dipimpin oleh Mayor Jenderal Gassan Allian, COGAT (Coordinator for Government Activities in the Territories). Saya tidak tahu persis apakah ini sudah diwujudkan atau belum. Beberapa bulan lalu, ketika berita ini muncul, pihak pemerintah Indonesia menolaknya.
Tapi kenapa sekarang berubah? Saya kira ini terkait soal krisis reciprocal tarrif dan keinginan Indonesia menjadi inisiator untuk masalah ini, agar Indonesia dianggap oleh Amerika sebagai negara yang mendukung politik Amerika di Palestina.
Sudah barang tentu pihak Israel akan senang dan tanpa susah payah harus membuka hubungan diplomatik, karena Indonesia dengan sendirinya menjadi pelaksana Abraham Accord tanpa diskusi, seminar, dlsb.
Perlu diingat, Israel terus menarget Indonesia sebagai kawannya karena Indonesia adalah the largest Muslim country dan memiliki citra yang semakin baik di mata negara-negara Islam. Karenanya, akan sangat untung bagi Israel jika Indonesia terlibat dalam masalah warga Gaza ini.
Jika pembicaraan sudah terjadi sejak lama dan tindaklanjut juga sudah berjalan, maka Presiden Prabowo perlu memperjelas apa keinginannya untuk mengatasi masalah warga Gaza ini. Yang perlu dipertimbangkan kembali adalah bukan hanya soal 1000 warga Gaza ini, tetapi juga implikasi yang akan terjadi selanjutnya.
Apakah Prabowo percaya bahwa nanti setelah Trump membangun Gaza menjadi kota baru, mereka akan dipulangkan lagi ke Gaza? Apa iya? Karena Trump dalam plannya memang 2 juta warga Gaza keluar dulu dibangun lalu Gaza menjadi kota metropolitan dan 2 juta orang ini silahkan hidup di negara-negara di mana mereka mendapatkan tempat. Jika perlu mendapatkan naturalisasi.
Kalau Presiden Prabowo terbawa dalam plot ini, maka sangat disayangkan, dan yang sangat disayangkan lagi: kenapa diplomat-diplomat kita seolah-olah diam saja dan tidak menanggap ini sebagai hal yang serius. Jangan-jangan, para diplomat ini sudah mengadu namun tidak ada yang mau dengar, nasib kalau begitu.
(AN)