Abad ke-19 M/ 13 H menjadi era puncak di mana umat Islam dan Kristen terjebak dalam kalutnya trust issue. Mereka saling mencurigai. Kebangkitan Kristen yang ditandai dengan imperialisme Barat dan agenda misionaris yang masif menjadi salah satu faktor lahirnya sentimen Islam terhadap Kristen. Di sisi yang lain, hingga abad ke-19 M, muncul berbagai kajian Islam oleh Kristen yang cenderung sangat subjektif. Tidak sedikit, para orientalis (pengkaji tradisi ketimuran) yang justru menyerang Islam atas nama kajian akademis.
Namun, abad ke-20 M/ 14 H seakan menutup ruang-ruang sentimental itu. Sebagai gantinya, abad ke-20 melahirkan buah pemikiran segar lewat interaksi antara kaum Kristen dan kaum Muslim, yaitu munculnya hasrat besar untuk berdialog.
Hasrat diskusi tersebut memang bukan sepenuhnya baru, karena beberapa abad sebelumnya kedua komunitas itu telah berselisih dan berdebat. Hanya saja, perkembangan terbaru pada abad ke-20 itu lebih melibatkan aktivitas pemikiran yang lebih maju, yang ditunjang oleh perkembangan kajian kritis dan modern terhadap agama. Sehingga, semangatnya berubah yang tadinya gairah untuk berdebat menjadi keinginan untuk saling bicara dan mendengar.
Dari pihak Kristen, Konsili Vatikan II menjadi penanda dalam perkembangan ini. Konsili Vatikan II adalah upaya awal gereja Katolik dalam menerima dan menghargai keberagaman di muka bumi, termasuk perbedaan agama. Momen tersebut dibuka secara resmi pada 11 Oktober 1962. Konsili ini mengubah pandangan Kristen tradisional yang eksklusif terhadap Islam dan agama-agama lainnya. Konsili ini juga mengajak umat Kristen dan kaum Muslim untuk melupakan masa lalu dan berusaha dengan tulus untuk saling memahami satu sama lain.
Salah satu konferensi Kristen-Islam yang paling menarik adalah konferensi di Institut Teologi Agama di Fakultas Teologi St. Gabriel, Wina Austria pada 1993 atas anjuran dari Dr. Alois Mock, Menteri Luar Negeri Austria. Dialog tersebut menyuguhkan tema ‘Perdamaian Bagi Kemanusiaan’ dan dihadiri oleh 23 tokoh Kristen dan 23 tokoh Muslim. Salah satu tokoh intelektual Muslim dari Indonesia yang terlibat dalam dialog ini adalah Nurcholish Madjid, yang saat itu menjadi peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Memorandum hasil diskusi yang dikenal juga dengan nama ‘Deklarasi Wina’ itu disampaikan pada akhir konferensi dan ditujukan bukan hanya kepada umat Kristen dan Islam sedunia, namun juga kepada para penguasa hukum dan politik.
Sebelum konferensi Wina, dialog Kristen-Islam juga pernah terlaksana dengan sukses di Broumana, Libanon pada 1972. Dialog yang diinisiasi oleh Dewan Gereja Sedunia itu dihadiri oleh 25 tokoh Kristen dan 22 tokoh Islam dari segala penjuru dunia untuk membahas empat tema: 1) Agama, Bangsa, dan Upaya Menciptakan Komunitas Dunia; 2) Kebenaran Wahyu dan Kepatuhan; 3) Hubungan Antara Komunitas Kristen-Islam; 4) Doa dan Ibadah.
Sebenarnya, masih terlalu banyak untuk disebutkan dialog-dialog lain antara Islam-Kristen di berbagai belahan dunia. Jika hendak dilacak, inisiatif dialog ini memang lebih banyak berasal dari kalangan Kristen. Kenyataan ini tidak berarti bahwa kaum Muslim tidak pernah terlibat dalam dialog. Menurut seorang penulis Muslim, M.A. Anees, fenomena ini lebih disebabkan kurangnya sistematika tentang kajian Kristen di dunia Islam.
Kesadaran untuk memulai dialog dari pihak Muslim mulai terlihat pada 1985 lewat satu inisiatif penting Raja Maroko, Hassan II, yang mengundang Paus Yohanes Paulus II untuk menyampaikan pesan kepada 80.000 pemuda Maroko di sebuah stadion olahraga di Casablanca dengan tema ‘Persahabatan dan Tanggung Jawab Bersama Kristen-Islam’.
Yang paling menarik dan mutakhir adalah sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada para pemimpin gereja dan denominasi Kristen di seluruh dunia dengan judul “a Common Word Between Us and You”. Surat terbuka ini diinisiasi oleh 137 sarjana dan intelektual Muslim besar dari berbagai aliran yuridis dan teologi yang berbeda, termasuk mufti-mufti terkemuka dari Mesir, Suriah, Yordania, Oman, Bosnia, Rusia, dan Istanbul. Surat terbuka tersebut seolah memugar komitmen bahwa umat Muslim dan Kristen bisa bekerjasama untuk mencapai kedamaian. Komitmen hidup berdampingan secara damai tersebut didasarkan pada dua perintah fundamental yang sama yang ditemukan pada kedua agama, yaitu Love of God (Mencintai Tuhan) dan Love of Neighbor (Mencintai Tetangga).
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dialog Islam-Kristen kadang menjadi ajang perseteruan. Hal ini, salah satunya, didorong oleh pola pikir salah satu pihak, atau keduanya, yang masih tertutup. Perdebatan seputar topik teologis biasanya menjadi pintu gerbang lahirnya sikap saling nyolot dan merasa benar. M. Zainuddin, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, menambahkan bahwa perseteruan itu berangkat dari keraguan umat Islam dalam menanggapi dialog agama.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa inisiator dialog ini banyak dimotori oleh kalangan Kristen. Orang-orang Islam kemudian merasa diri mereka sebagai tamu yang diundang. Mereka lalu meyakini bahwa ada agenda tersembunyi (hidden agenda) berupa misionaris Kristen yang membuat mereka semakin tidak percaya dengan dialog antaragama. Ketidakpercayaan ini ditambah dengan sikap Barat, khususnya dalam konflik Israel-Palestina dan beberapa kasus hegemoni Barat terhadap dunia Islam.
Menurut saya, hal ini lumrah karena kedua agama besar itu masih mencoba meraba bagaimana metodologi dialog yang benar-benar efektif dan positif. Dalam bingkai komunikasi verbal, opsi lain selain dialog adalah monolog. Namun tentu saja, dalam konteks relasi antar agama, dialog nampak lebih masuk akal dan harus terus diberdayakan, tentu dalam rangka untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT