Seorang mahasiswi bertanya kepadaku seminggu lalu di sebuah kelas pascasarjana di satu sekolah teologi Kristen.
“Mengapa umat Muslim mengharamkan Selamat Natal? Teman-teman Muslim saya biasanya bilang begitu kalau menjelang Natal seperti ini.”
“Apa alasan teman-temanmu waktu itu”, tanyaku.
“Alasannya Tuhan tidak beranak, makanya haram,” sambungnya kemudian.
Sepintas alasan pengharaman tersebut terdengar logis, namun terasa sekali bias teologi Islam yang begitu ketat memahami monoteismenya dengan sekonyong-konyong menghantam alias menuduh teologi Kristen dalam momentum Natal sebagai momen biologis, beranak.
Salah satu yang khas dalam alasan pengharaman berbentuk demikian, biasanya langsung dihadapkan dengan surat Al-Ikhlas [113] ayat ke-3 yang artinya berbunyi “Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan”.
Konteks ayat tersebut pun tidak dihiraukan yang notabene muncul pada periode awal Mekkah, namun ditarik untuk jadi bahan mengkritik teologi Kristen. Namanya juga sentimen bercampur kebencian, kadang tak memerlukan pemikiran yang jernih dan terukur, bahkan tak memerlukan otak.
Dengan mengutip ayat tersebut, kadangkala polemik muncul dari sini. Pra-paham umat Muslim yang berupa prasangka buruk terhadap teologi Kristen–benar-benar menganggap Tuhan Kristen itu hasil beranak secara biologis. Padahal jika menanyai umat Kristiani di sekitar kita—paling tidak denominasi arus utama—tentu tidak akan menerima bahwa Tuhan itu beranak secara biologis.
Setiap Natal, tuduhan seperti itu tak pelak sering muncul dan jadi alasan bagi sebagian Muslim untuk meluncurkan sentimen kepada umat Kristiani.
Kesalahpahaman teologi ini kerap mewarnai relasi Islam dan Kristen di Indonesia. Nalar yang tumpul ditambah sentimen kebencian, hanya membuat relasi ini rentan dipolitisasi untuk mengobarkan konflik di antara dua komunitas agama yang kerap kali terlihat berseteru ini.
Hal ini diperparah sebab dialog teologis seringkali dihindari dengan dalih—itu sensitif, ini tabu, dan lain sebagainya.
Mungkin tak disadari bahwa tema-tema teologis dalam dialog Islam dan Kristen perlu disentuh sebab ketika ini digunakan sebagai alat untuk menyerang akidah/teologi agama lain—seolah kita gagap untuk menjawab atau mengklarifikasinya—tersebab lebih sering dihindari daripada didialogkan.
Bahkan kanal YOUTUBE pun, kalau kita mencari dengan kata kunci “DIALOG ISLAM DAN KRISTEN”, justru yang muncul DEBAT!
Preposisi Teologi Islam
Kesalahan berpikir tersebut tak pelak datang dari preposisi atau prapaham umat Muslim melihat momentum Natal sebagai momen Tuhan beranak. Frasa yang metaforik tersebut ditelan mentah-mentah oleh sebagian kelompok Muslim. Ini masalah terbesarnya. Salah sambung. Hal ini tak bisa dipungkiri datang dari ketatnya monoteisme dalam kerangka teologi Islam, yakni monoteisme unitarian.
Selain itu, logika teologi Islam kesulitan untuk mencerna segala yang berbentuk atribusi manusia (ἄνθρωπος) disematkan ke Tuhan.
Dimensi antropomorfisme demikian sulit diterima dalam teologi Islam, khususnya menyangkut sang Ilahi. Kendala ini yang juga mengakibatkan umat Islam kesulitan mencerna “Anak Tuhan”—yang notabene metafora teologis umat Kristen, yang dalam hal ini disematkan kepada Yesus/’Isa al-Masih. Saking sulitnya memahami teologi Kristen, dahulu ada orang yang bertanya; “jika Tuhan beranak, siapa bidannya?”—contoh konkrit bagaimana dialog itu penting daripada mempertontonkan kebodohan.
Secara umum, jamak diketahui dalam komunitas Islam, selain frasa “Anak Tuhan” ini asing dan begitu sulitnya mencerna metafora atau kiasan tersebut, ‘Isa dalam Al-Qur’an digambarkan dengan dimensi kemanusiaan yang begitu kuat, sehingga wajah yang sangat kontras dengan teologi Kristen yang tidak sekadar manusia, namun juga bagian dari sosok Ilahi itu sendiri—atau dengan kata lain—‘Isa adalah salah satu sosok dari kerangka trinitarian di samping Bapa dan Roh Kudus. Sekali lagi, umat Kristen tidak pernah memaknai trinitarian dengan konsep tiga Tuhan!
Prasangka teologis di luar Islam lah yang menganggap trinitas/tritunggal itu konsep tiga Tuhan. Dan sekali lagi, ini sangat rumit dicerna oleh kerangka monoteisme Islam yang ketat alias yang berkerangka unitarian. Sampai sini pun mungkin masih sulit bagi outsider Kristen memahami trinitas atau monoteisme yang coraknya trinitarian yang diyakini umat Kristen.
“Demikianlah mysterium Dei, Mas. Tuhan itu penuh misteri”, demikian biasanya jawaban rekan Kristiani saya jika saya terus bertanya tentang kerumitan trinitas.
“Anak Tuhan”
Di satu sisi, prapaham yang menganggap Tuhan itu beranak ketika momentum Natal adalah kesalahan berpikir yang serius. Tidak saja kesalahan yang mengakar, namun menjadi tradisi yang seolah dianggap benar oleh sebagian umat Muslim. Kedangkalan berpikir ini juga menjadi prasangka tahunan yang bercokol di kepala umat Muslim yang nyaris sulit untuk diklarifikasi—sebab nyaris tak ada momentum untuk mengklarifikasinya ke sumber primer langsung.
Di abad revolusi digital seperti ini, sebagian Muslim justru lebih senang membuka mesin pencari atau membuka kanal YOUTUBE daripada berkenalan langsung dengan umat Kristen atau bertanya langsung ke teman Kristennnya (itu pun kalau punya dan memang akrab)—untuk belajar, untuk mencari tahu, untuk membuka dialog, untuk bertabayun—daripada terjebak pada sesat pikir yang menahun nan akut, seolah dia si paling benar dan si paling tahu tentang teologi Kristen.
Sedangkan di sisi lainnya, yang amat sering dikutip untuk dilawankan dengan frasa “Anak Tuhan”—dalam teologi Kristen ialah narasi dalam QS. Al-Ikhlas (113:3), yang muncul pada periode awal Mekkah secara intrinsik anti-pagan, bukan anti-Kristen (Schummann, 2002; 11-12). Frasa “Anak Tuhan” sangat familiar di komunitas Kristen, sedangkan frasa yang begitu asing di komunitas Islam.
Jika ditelisik lebih jauh, Al-Qur’an tidak pernah menggunakan kata “walad” (anak yang terlahir secara fisik/material) ketika menolak Isa sebagai anak Tuhan, meski di sebagian ayat–sangat menentang ide Tuhan memiliki anak dengan menggunakan kata “walad” (yattakhidhuhu waladan).
Mahmoud Ayoub dalam hal ini memberi penjelasan krusial, bahwa penolakan Al-Qur’an terhadap status Isa sebagai anak Tuhan (sebagai walad) perlu dibaca sebagai penolakan terhadap gagasan anak Tuhan dalam pengertian fisik (Ayoub, 1995: 66-81).
Frasa “Anak Tuhan” sulit dicerna atau dipahami umat Islam sebab di baliknya punya makna soteriologis (keselamatan) sekaligus adalah merupakan proses inkarnasi (Allah menjadi manusia)—sebuah proses yang sulit dicari padanannya dalam kerangka teologi Islam, oleh sebab itu sulit dimengerti apalagi dipahami oleh umat Islam.
Di titik ini, Allah yang menjadi manusia dalam kerangka teologi Kristen tertuang dalam Injil Yohanes 1:14 yang berbunyi Καὶ ὁ λόγος σὰρξ ἐγένετο (TB: Firman itu telah menjadi manusia).
Colin Chapman, dalam karangannya berjudul “Cross and Crescent: Responding to the Challenge of Islam”, mengungkap bahwa umat Kristen tidak percaya bahwa Yesus adalah anak Tuhan dalam arti fisik, gagasan ini menjijikkan bagi Kristen dan juga Islam (Chapman, 2003: 184).
Entah sampai kapan hal ini terus dianggap tabu untuk dibicarakan?
Kemuliaan hanya bagi-Nya, serta damai sejahtera di bumi.