Teks kitab suci, jika dikaitkan dengan rasisme dan segala permasalahan sosial dunia modern, pastilah menunjukkan relevansi. Begitu banyak ayat yang menyerukan persaudaraan seluruh umat manusia, kemerdekaan, kesetaraan, perdamaian, dan persamaan hak. Namun, ini tidak menjamin Islam dan pemeluknya menjadi golongan yang terbebas dan paling representatif membicarakan kesetaraan umat manusia dibanding agama lain. Apalagi secara serampangan mengajukannya sebagai jawaban rasisme di Amerika Serikat yang kini menyebar ke seluruh dunia.
Relevansi kitab suci terhadap masalah-masalah sosial lebih disebabkan oleh cara tuturnya yang plural. Ayat-ayat Alquran tidak pernah menjelaskan suatu perkara parsial dengan rinci, selain sejarah nabi-nabi terdahulu dan kaumnya yang dibinasakan. Ini memungkinkannya untuk ditafsirkan dalam berbagai keadaan dan diterima dalam konteks semua zaman.
Ide luhur peradaban memang kental dalam Islam. Secara sempurna dijalankan di masa Nabi Muhammad dan beberapa tahun setelah wafatnya. Sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, ketika menuliskan pidato penerimaan Nobel Sastra 1988, mengutip satu babak dalam sejarah Islam. Dalam suatu pertempuran melawan Bizantium yang dimenangkannya, kaum Muslim mengembalikan tawanan perang untuk ditukar dengan buku-buku filsafat, matematika dan kedokteran warisan Yunani Kuno.
Namun narasi ini jauh berbeda dalam sejarah Afrika. Pembedaan wilayah geografis pun sudah menunjukkan watak rasial. Timur Tengah dibagi ke dalam dua wilayah, Masyriq dan Maghrib. Masyriq adalah dataran Asia bagian tenggara. Sementara Maghrib adalah Afrika bagian utara gurun Sahara. Semua wilayah yang berada di selatan dan timur Sahara dinamai Bilad al-Sudan. Secara leksikal, nama ini berarti negara yang didiami oleh orang-orang berkulit hitam (sauda’).
Wilayah selatan dan timur gurun Sahara dalam suatu waktu menjadi pusat peradaban Islam, meski proses islamisasi di sana baru berlangsung pada abad ke-10, sementara Islam telah menyebar di bagian utara pada masa Sahabat, sekitar abad ke-7. Namun kedua wilayah ini tidak pernah disejajarkan, baik secara politik dan sosial.
Keduanya terpisah oleh ras dan sejarah. Wilayah utara yang membentang dari Tunisia, Mesir hingga Aljazair, ditaklukkan lewat peperangan. Selain membawa Islam, para pejuang yang menyeberangi lautan Asia juga menaklukkan suku-suku yang berada di sana. Mereka perlahan mendirikan kekaisaran, beranak-pinak, mendominasi suku dan ras yang telah bertahan hidup ribuan tahun. Hingga hari ini, sekitar delapan puluh persen penduduk Afrika bagian utara merupakan keturunan Arab.
Wilayah selatan gurun Sahara tak pernah takluk di bawah bendera kekaisaran Islam. Mereka menerima Islam dengan damai, lewat perdagangan. Tak ada penaklukan, tak ada dominasi. Meski telah beragama Islam, namun tetap dipimpin dan didiami oleh mayoritas kulit hitam.
Watak rasial bangsa Arab memang menjadi permasalahan tersendiri bahkan sebelum Islam datang. Kehidupan badui memaksa mereka untuk terus berseteru antarsuku. Sayangnya, karena lahir dan pertama kali disebarluaskan oleh suku-suku Arab, watak rasial memengaruhi hampir seluruh perkembangan peradaban Islam. Konflik kesukuan, konflik antara Arab dan Persia, hingga perebutan kekaisaran.
Watak ini bahkan memengaruhi penetapan hukum agama. Dalam konteks Afrika pada abad ke-16 dan 17, perbudakan sejatinya belum hilang, meski mayoritas penduduknya telah beragama Islam. Jual beli budak tidak diperbolehkan jika sang budak beragama Islam, tetapi boleh menjual budak selama budaknya tidak beragama Islam.
Hukum tersebut dipegang kuat oleh kekaisaran Oman yang menguasai wilayah timur Afrika. Pulau Zanzibar yang menghubungkan dataran Afrika dengan Asia, Eropa dan Amerika, menjadi basis penjualan budak. Pempimpin-pemimpin Oman berteman baik dengan pelaut dari Asia dan Eropa, serta menjadi penyedia utama budak-budak yang dikirim ke Amerika.
Praktik rasisme dan perbudakan yang justru dilakukan oleh orang-orang Islam, membuat seorang ulama berkulit hitam dari kota bersejarah Timbuktu, Ahmed Baba, mengarang kitab untuk melawan dominasi bangsa Arab dan hukum agama yang mereka terapkan. Kitab itu berjudul Mi’raj al-Su’ud ila Nail Hukm al-Majlab al-Sud (1615), secara harfiah berarti tatacara memperlakukan dan mengambil manfaat dari orang-orang kulit hitam.
Namun kitab tetaplah kitab. Watak rasisme yang telah merasuk ke dalam tulang, apalagi perbudakan kulit hitam menyumbang penghasilan terbesar kekaisaran, tidak akan begitu saja bisa dihilangkan. Ini terus berlanjut hingga kapal-kapal dari Eropa mulai berdatangan, bukan sebagai pedagang, tetapi memulai kolonialisme di Afrika.
Syaikh Yusuf al-Makassari, Wajah Lain Islam di Afrika
Benih-benih antirasialisme justru muncul di pulau-pulau kecil yang membentang di selatan Afrika. Pada mulanya, wilayah yang dikuasai Hindia Belanda tersebut merupakan tahanan bagi buangan politik Nusantara.
Syaikh Yusuf Al-Makassari dibuang ke Madagaskar, lalu Cape Town pada akhir abad ke-17. Dia masih keturunan kerajaan Gowa yang menikahi putri kerajaan Banten, lantas menjadi penggerak berbagai pemberontakan di sejumlah wilayah Nusantara. Sebelumnya dia ditahan di Sri Lanka. Namun karena pulau itu menjadi persinggahan orang-orang Islam yang berhaji ke Makkah, dan kepada mereka Syaikh Yusuf mengirimkan surat ke raja-raja, pihak Belanda mengirimnya ke Afrika Selatan yang tak mungkin dijangkau oleh orang-orang Nusantara.
Susul-menyusul ulama sekaligus pejuang dibuang ke Afrika Selatan. Abdul Basi Sultania raja Tambora, Tuan Nuruman dari Batavia dan Imam Abdullah bin Kadi Abd al-Salam, yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru, seorang pangeran dari Tidore.
Ketiganya, di antara banyak ulama Nusantara yang dibuang ke Afrika Selatan, pada awalnya mendirikan masjid tempat beribadah serta pengajaran agama. Kemudian mendirikan madrasah yang mula-mula ditujukan kepada keturunan buangan politik, lantas mulai menerima murid-murid berkulit hitam. Madrasah-madrasah ini merupakan lembaga pendidikan pertama yang lebih terbuka untuk kaum miskin dan kulit hitam. Mereka belajar Alquran dan ilmu-ilmu bahasa Arab. Dari madrasah ini lahir imam-imam berkulit hitam seperti Abdul Bazier, Abdul Barrie, Ahmad al-Bengalen, dan Imam Hadjie.
Warisan Syaikh Yusuf dan buangan politik lainnya mungkin tidak melahirkan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Jumlah penduduk Muslim di Afrika Selatan hari ini hanya sekitar empat persen. Namun ide-ide kesetaraan, toleransi dan penghapusan rasisme justru bermula dari wilayah ini. Melahirkan Nadine Gordimer, penulis kulit putih Afrika Selatan, dan juga Nelson Mandela.
Layaknya dua mata pisau, begitulah agama dan kitab suci mengada. Di satu waktu melahirkan peradaban besar, tetapi di waktu lain bisa saja digunakan untuk mempertahankan praktik rasisme dan perbudakan. Agama sangat bergantung kepada tangan-tangan yang menjalankannya. Sebab agama hanya memiliki ragam ide universal tentang kehidupan, tetapi manusialah yang menjalani kehidupan.