‘Ramalan’ Ibnu Khaldun tentang Para Koruptor

‘Ramalan’ Ibnu Khaldun tentang Para Koruptor

‘Ramalan’ Ibnu Khaldun tentang Para Koruptor

Beberapa tahun ini, saya seringkali terperangah pada keyakinan para pejabat publik yang menganggap bahwa semua masyarakat itu bodoh. Bahwa tidak akan ada yang mengendus kezaliman mereka, bahwa memelintir kata-kata akan berguna untuk mengalihkan pandangan orang-orang, bahwa korupsi akan selalu bisa ditutupi di hadapan masyarakat.

Tapi sekarang saya cukup yakin, para pejabat tidak peduli lagi masyarakat itu pintar atau bodoh, mereka sudah punya keyakinan bahwa masyarakat tahu atau pun tidak mereka berbuat zalim, tidak akan kenapa-kenapa.

Tidak ada lagi keraguan dalam berkorupsi, bahkan jika harus–dan mungkin memang harus–korupsi akan dilakukan secara berjamaah dan terkoordinasi. Rentetan korupsi yang terjadi di negeri ini dari mulai PT Timah, Pertamina, hingga Antam adalah bukti dari keyakinan para koruptor bahwa korupsi tidak akan mempersulit hidup mereka di dunia.

Selain itu, perilaku-perilaku korup juga kian ditunjukan oleh penguasa secara terang-terangan. Tanpa malu-malu mengubah aturan, mengakali undang-undang, memeras terhadap rakyat sendiri dengan dalih pembangunan.

Catatan Ibnu Khaldun terkait Koruptor

Ibn Khaldun pernah menulis di dalam kitabnya yang mahsyur “Muqaddimah” (2001), tentang pemerintahan yang korup. Dalam kitabnya tersebut, ia menulis bahwa korupsi adalah pemicu mundurnya sebuah peradaban. Korupsi diawali dari keinginan untuk hidup mewah dari para penguasa, yang kemudian menyebar di antara mereka. 

Ibn Khaldun menambahkan, bahwa salah satu tanda pemerintah yang korup adalah ketika pemimpin sudah hanya berpikir untuk memperkaya dirinya. Jika tanda tersebut kita temui di dalam situasi kita saat ini, maka tidak diragukan lagi bahwa kita memang tengah hidup di sebuah negara yang korup dan korupnya mungkin sudah dalam level akut. Hingga muncul anekdot bahwa nenek moyang orang Indonesia bukanlah pelaut, melainkan koruptor. Sayangnya anekdot itu bisa jadi benar sampai tahap tertentu.

Sebagai negara yang katanya mayoritas muslim, Indonesia seolah sangat sulit sembuh dari penyakit korupsi. Padahal Islam sendiri dengan sangat tegas melarang perilaku korup ini. Salah satu ayat Al Quran yang cukup eksplisit melarang perilaku korup ada di surat Al Baqarah ayat 188.

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْ ۝١٨٨

Artinya:

“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah [2]:188)

Entah karena para koruptor sebenarnya memang bukan muslim yang taat, atau entah karena ajaran anti korupsi ini tidak relevan, tapi bahkan tanpa ayat-ayat pun seseorang harusnya tahu, bahwa mengambil yang bukan haknya hanya akan membawa kesengsaraan.

Nurani mereka seharusnya menyalakan alarm bawah sadar bahwa yang mereka lakukan adalah salah. Penulis cukup yakin, seseorang pasti pernah berbuat korup dalam hidupnya, mungkin dari menyogok untuk membuat SIM, memotong antrian, tidak mengembalikan kembalian yang lebih dari warung, dan hal-hal lainnya. Tetapi pastilah ada perasaan bersalah dalam diri seseorang ketika melakukan hal-hal tersebut.

Namun, jika sudah tidak ada lagi keraguan untuk berkorupsi, maka bisa dibilang bahwa alarm tersebut telah mati. Bisa dibilang juga bahwa nuraninya telah kehilangan fungsinya, yang menunjukan seseorang tidak lebih dari binatang. Maka benarlah apa yang dikatakan Ibn Khaldun di atas bahwa korupsi adalah pangkal dari mundurnya peradaban.

Hilangnya keraguan dalam melakukan korupsi juga didukung oleh sistem yang sangat mudah diutak-atik. Hukuman dua puluh tahun jadi sepuluh tahun, hukuman denda uang tidak sampai setengah jumlah yang dikorupsi, sudah ditahan masih bisa keluar masuk dengan santai. Sehingga tidak ada ketakutan dalam melakukan korupsi.

Hukuman mati bagi koruptor nampaknya masih akan sulit diterapkan, perdebatan ini baik secara hukum positif maupun hukum Islam belum akan menemukan titik terang. Terlalu banyak variabel, mulai dari hak asasi manusia sampai keengganan memberikan hak kepada pemerintah untuk mencabut nyawa seseorang.

Indonesia saat ini mungkin bukan lagi dalam tahap mencegah korupsi, tapi bagaimana menghentikan korupsi yang sudah sangat merajalela. UU perampasan aset seharusnya segera disahkan, jika negara tidak boleh mengambil nyawa seorang koruptor, maka seharusnya negara boleh mengambil harta hasil korupsi.

Hal itu setidaknya bisa menghembuskan keraguan kepada calon koruptor. Karena bahkan untuk ragu pun seolah begitu sulit. Penulis yakin, kalau ada saja keraguan pada diri kita untuk korupsi, pada level terkecil, kita akan terhindar dari banyak kemaksiatan lanjutan.

Saat ini, bahkan pada lembaga-lembaga rendah di lingkup yang paling kecil pun bibit korupsi itu nyata. Nyaris semua orang melakukan, seolah tidak normal jika menolak korupsi. Namun, jika dilihat dari sudut pandang teologis, inilah ujian utama dari menjadi orang Indonesia. Berhadapan langsung dengan korupsi yang kian beringas, apakah kita akan ikut terbawa, atau mampu menghindar dan bertahan.

Dalam pandangan Cak Nun (2022), hidup di Indonesia pada saat ini hanya mampu mengandalkan sabar. Serta mempuasai diri dari dunia ini dengan tidak menggandengnya, dan tidak terbawa oleh segala permainannya.

Pada momentum puasa dan menjelang idul fitri ini, penulis mengajak para pembaca untuk senantiasa waskita dan sadar. Agar selamanya mampu mengendalikan diri, dan semoga selalu memiliki keraguan terhadap potensi melakukan hal korup, karena dengan begitu kita mudah-mudahan selamat.

(AN)

Sumber Bacaan

Khaldun, I. (2001). Mukaddimah. Pustaka Alkautsar

Nadjib, E. A. (2022). Berserahlah, Biarkan Allah Mengurus Hidupmu. Noura Books.