Setelah sebulan penuh, akhirnya Piala Dunia berakhir dengan kemenangan Prancis melawan Kroasia dengan skor 4-2. Bagi Indonesia, pelajaran apa yang bisa dipetik dari kemenangan tim Prancis ini? Tentu saja, kerja keras, kerjasama tim, pembinaan pemain usia muda, pembangunan infrastruktur fasilitas olahraga, mentalitas sekaligus irisan sejarah menjadi pelajaran penting bagaimana setiap tim yang mewakili negara masing-masing berjuang untuk untuk memberikan yang terbaik untuk negaranya.
Tanpa adanya persiapan yang matang, mustahil sebuah tim kesebelasan bisa melaju ke babak selanjutnya, dan sampai memenangkan juara Piala Dunia, sebagaimana yang dilakukan oleh Perancis setelah 20 tahun pernah mencicipi kasta terbaik juara sepakbola sejagat ini. Perihal itulah yang mesti diambilkan pelajaran.
Sementara itu, persoalan dukungan kepada salah satu tim peserta Piala Dunia, setiap orang memiliki aspirasinya masing-masing. Ada yang memilih Spanyol, karena irisan sejumlah pemain Real Madrid yang bercokol di sana. Ada yang memilih tim Inggris, karena ada beberapa pemain idolanya yang merumput Liga Inggris. Ada juga karena memilih salah satu tim karena persoalan pernah singgah ataupun berkunjung ke negara tersebut.
Di sisi lain, tidak dipungkiri, irisan faktor sejarah mengenai sebuah negara dan favorit tokoh-tokohnya juga menjadi alasan mengapa kemudian orang memilih dan menjagokan kepada salah satu peserta Piala Dunia ini. Semua alasan tersebut sah saja karena setiap orang memiliki tafsir sendiri atas pertandingan sepakbola yang disukainya.
Namun, bukan berarti pertandingan sepakbola tersebut bisa dikaitkan begitu saja dengan persoalan pilihan politik di Indonesia yang seringkali tidak memiliki keterkaitan referensi dengan salah satu tim sepakbola yang tampil tersebut. Karena bola itu bundar dan siapapun bisa menjadi pemenang, jika tidak berhati-hati bisa menjadi bahan risakan di media sosial. Perihal mengkaitkan dukungan tim kesebelasan dengan situasi politik nasional ini tercermin, misalnya, dengan cuitannya Fahri Hamzah di akun twitternya @Fahrihamzah.
Dalam pertandingan final kemarin, ia mendukung Kroasia. Alasannya sepele, tim ini seperti oposisi dalam politik Indonesia. Sebagaimana dikatakannya, “Kroasia itu kayak oposisi. Kreatif dan militan… Tapi banyak bikin kesalahan.”. Ia menambahkan, “Kalau Prancis menang, isyarat incumbent menang. Kalau Kroasia menang, incumbent akan kalah”.
Jangan lupa malam ini .:
Kalau Prancis menang…
Isyarat incumbent menang…
Kalau Kroasia menang…
Incumbent kalah…
😃😃😃😃 https://t.co/FJ0tOuHqUg— #AyoMoveOn2024 (@Fahrihamzah) July 15, 2018
Dukungan kepada Kroasia juga diajukan oleh Anies Baswedan setelah semua jagoan yang diunggulkannya kalah semua, mulai dari Jerman, Belgia, dan Inggris. Alasannya memilih Kroasia karena ingin adanya semangat perubahan pada pertandingan memperebutkan peringkat pertama itu. Meskipun tidak secara jelas sebagaimana diungkapkan oleh Fahri Hamzah, kata semangat perubahan tersebut setidaknya mengasosiasikan orang merujuk juga kepada politik nasional, Pilpres 2019. Namun, alih-alih memenangkan pertandingan, justru jagoan Fahri Hamzah dan Anies Baswedan itu kalah semua.
Alhasil, oleh warganet sejumlah dukungan kepada tim yang didukungnya justru menjadi bahan risakan. Di sini, mereka merisak bukan karena pilihan tim kesebelasan yang didukungnya. Ini karena, banyak dari penggemar sepakbola Indonesia juga mendukung Kroasia. Yang dipermasalahkan justru alasan mengapa memilih tim kesebelasan negara yang didukung, dikaitkan dengan isu politik.
Dalam konteks, yang berbeda, Partai Kebangkitan Bangsa juga melakukan gotak-gatuk Piala Dunia 2018. Hal ini tercermin dengan menyebutkan juara 1, 2 dan 3, yaitu Prancis, Kroasia, dan Belgia, disingkat dengan PKB. Memainkan gotak-gatuk melalui post-factum analysis ini relatif aman, dan terhindar dari risakan warganet karena peristiwa pertandingan sudah terjadi. Meskipun demikian, gotak-gatuk pasca peristiwa ini tidak memiliki efek kejut dengan yang sebelumnya. Gotak-gatuk pasca pertandingan ini justru menjadi alat tertawaan sendiri bagi orang yang membuatnya.
Jika mau melakukan proses itu, mereka berdua bisa belajar kepada sosok Gusdur. Alih-alih sekedar mendukung, analisis sejarah, budaya, sekaligus konstelasi politik luar negeri menjadi materi yang dibaca sebelum menyatakan dukungannya yang terlihat dalam tulisan. Jikalaupun tidak bisa dalam bentuk tulisan, setidaknya bisa meminta para konsultan politik terdekatnya untuk mengamati lebih jauh tim-tim sepakbola yang bertanding. Ketika para wartawan datang menanyakan dukungannya kepada tim yang akan bertanding, mereka memiliki hasil laporan analisis yang cukup baik. Dengan cara ini, tebakan sekedarnya, dikaitkan dengan politik nasional bisa terhindari. Jikalaupun harus dikaitkan, mereka berdua memiliki rujukan materi dengan basis analisis yang cukup kokoh.
Namun, di tengah pragmatisme media sosial, siapa pejabat publik yang mau melakukan hal remeh tersebut tapi penting untuk pembelajaran publik? Dukungan tim sepakbola dan proses gotak-gatuk politik ini sebenarnya mencerminkan sebuah watak; meskipun sebagai penonton, Piala Dunia itu sekedar menjadi hiburan dan keriuhan.
Di sisi lain, proses kerja keras, mentalitas, dan upaya peningkatan kapasitas para pemain tidak pernah secara reflektif dijadikan pelajaran untuk kebijakan publik di Indonesia. Dengan demikian, sampai Piala Dunia Sepakbola Gajah pun, kita akan menjadi penonton yang seringkali dengan mudah melakukan proses gotak-gatuk. Untungnya gotak-gatuk tersebut dengan memilih tim Kroasia kalah. Tidak terbayang kalau Prancis yang kalah, upaya untuk menggiring dan menggoreng dengan mengkaitkan kepada gerakan #gantipresiden2019 pasti terus direproduksi.