Beberapa waktu lalu, Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan menyebut Presiden Prancis Emmanuel Macron harus memeriksa kesehatan mentalnya. Pernyataan tersebut sebagai respon atas statemen Macron yang menyebut Islam sebagai agama yang sedang ada dalam krisis di seluruh dunia. Perang statemen antar keduanya meruncing, sampai Prancis memanggil kembali Duta Besanya untuk Turki pada Minggu (25/10) lalu.
“Apa yang bisa dikatakan tentang seorang kepala negara yang memperlakukan jutaan anggota dari kelompok agama yang berbeda? Seperti ini: pertama-tama, lakukan pemeriksaan mental,” kata Erdogan dalam sebuah pidatonya di kota Kayseri, Anatolia tengah.
“Apa masalah individu bernama Macron dengan Islam dan dengan Muslim?” Erdogan bertanya.
“Macron membutuhkan perawatan mental,” tambah Erdogan, sambil menunjukkan bahwa dia tidak mengharapkan pemimpin Prancis memenangkan mandat baru dalam pemilihan umum 2022 mendatang.
“Anda terus-menerus menuduh Erdogan. Ini tidak akan menghasilkan apa-apa bagi Anda,” kata pemimpin Turki tersebut.
“Akan ada pemilihan umum (di Prancis) … Kami akan melihat nasib (Macron) Anda. Saya rasa jalannya tidak panjang. Mengapa? Dia belum mencapai apa pun untuk Prancis dan dia harus melakukannya untuk dirinya sendiri.” Tambah Erdogan, menyiratkan sikapnya yang tidak menginginkan Macron kembali memenangkan Pemilu Prancis mendatang.
Dilansir oleh France24, Seorang pejabat kepresidenan Prancis mengatakan bahwa duta besar Prancis untuk Turki dipanggil kembali ke Prancis dari Ankara untuk berkonsultasi dan akan bertemu Macron untuk membahas situasi setelah serangan dari Erdogan. Langkah ini merupakan langkah yang tidak biasa.
“Komentar Presiden Erdogan tidak dapat diterima. Kelebihan dan kekasaran bukanlah metode. Kami menuntut agar Erdogan mengubah arah kebijakannya karena berbahaya dalam segala hal,” kata pejabat itu kepada AFP.
Pejabat yang meminta untuk tidak disebutkan namanya tersebut, juga mengatakan bahwa Prancis telah mencatat “tidak adanya pesan belasungkawa dan dukungan” dari presiden Turki setelah pemenggalan kepala guru Samuel Paty di pinggiran kota Paris.
Pejabat tersebut juga menyatakan keprihatinan atas seruan oleh Ankara untuk memboikot barang-barang dari Prancis.
Diplomat utama Uni Eropa Josep Borrell pada Minggu mengecam Erdogan karena membuat apa yang dia gambarkan sebagai komentar yang “tidak dapat diterima” tentang Emmanuel Macron.
“Pernyataan Presiden Recep Tayyip Erdogan tentang Presiden Emmanuel Macron tidak dapat diterima,” cuit Borrell dalam bahasa Prancis. “Seruan kepada Turki untuk menghentikan pusaran konfrontasi yang berbahaya ini.”
Presiden Prancis Emmanuel Macron bulan ini menggambarkan Islam sebagai agama “yang sedang dalam krisis” di seluruh dunia dan mengatakan bahwa pemerintah akan mengajukan rancangan undang-undang pada bulan Desember untuk memperkuat undang-undang 1905 yang secara resmi memisahkan gereja dan negara di Prancis.
Macron mengumumkan pengawasan sekolah yang lebih ketat dan kontrol yang lebih baik atas pendanaan masjid dari luar negeri.
Perdebatan tentang Islam di Prancis telah mencapai level intensitas terbaru setelah pemenggalan kepala Samuel Paty, yang dilakukan oleh seorang Chechnya berusia 18 tahun. Tersangka yang bernama Abdullakh Anzorov tersebut menurut jaksa Prancis memiliki kontak dengan kelompok jihadis di Suriah.
Sementara itu, keretakan lainnya antara Erdogan dan Macron terjadi tampak pada sikap atas konflik Nagorno-Karabakh – wilayah etnis mayoritas Armenia yang memisahkan diri di Azerbaijan yang mendeklarasikan kemerdekaan ketika Uni Soviet jatuh. Konflik ini memicu perang di awal 1990-an yang merenggut 30.000 jiwa dan kembali mencuat tahun ini.
Turki sangat mendukung Azerbaijan dalam konflik tersebut, dan membantah tuduhan Macron bahwa Ankara telah mengirim ratusan pejuang milisi Suriah untuk membantu Azerbaijan.
Erdogan pada Sabtu lalu menuduh Prancis – yang bersama dengan Rusia dan Amerika Serikat menjadi ketua bersama Kelompok Minsk yang bertugas menyelesaikan konflik – dengan tuduhan “berada di balik bencana dan pendudukan di Azerbaijan”.
Dia juga mengulangi klaim sebelumnya bahwa Prancis, yang memiliki komunitas Armenia yang kuat, mempersenjatai pihak Armenia. “Anda pikir anda akan memulihkan perdamaian dengan senjata yang anda kirim ke orang Armenia. Anda tidak bisa karena kamu tidak jujur.” Tuduh Erdogan.
Pihak Prancis mengatakan bahwa Erdogan memiliki waktu dua bulan untuk menjawab tuntutan perubahan sikap dan mengakhiri “petualangan berbahaya” di Mediterania timur dan “perilaku tidak bertanggung jawab” di Karabakh.
“Tindakan perlu diambil pada akhir tahun,” kata pejabat tersebut.