Perjuangan Perempuan Palestina Hadapi Menstruasi di Tengah Penjajahan Israel

Perjuangan Perempuan Palestina Hadapi Menstruasi di Tengah Penjajahan Israel

Di tengah penjajahan Israel atas Palestina, anak-anak perempuan yang pertama kali mengalami menstruasi terpaksa mengonsumsi obat norethisterone, yang biasanya diresepkan dokter untuk pendarahan parah. Obat ini punya efek samping serius, tapi mereka tidak punya pilihan lain

Perjuangan Perempuan Palestina Hadapi Menstruasi di Tengah Penjajahan Israel

Menstruasi bagi perempuan remaja rupanya masih dianggap tabu di banyak tempat, termasuk di Palestina. Beberapa perempuan mengalami nyeri parah, menstruasi tidak teratur, atau darah yang mengalir deras. Stres dan tekanan dari konflik membuat kondisi ini semakin buruk.

Jakarta, Islami.coPenjajahan Israel atas Palestina terus mendapat protes warga dunia. Hingga saat ini tensinya makin meningkat. Di Amerika dan banyak negara di Eropa menyerukan Free Palestine!    

Sejak Oktober tahun lalu (2023), serangan militer Israel telah menewaskan lebih dari 37.300 orang. Sebagian besar dari korban adalah warga sipil perempuan dan anak-anak. Dan, lebih dari 85.000 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.

Lebih dari delapan bulan setelah perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan yang melumpuhkan.

Di tengah situasi yang sangat tidak menyenangkan itu, perempuan Palestina harus berjuang keras saat menstruasi. Mereka terpaksa minum pil penunda menstruasi, memakai pembalut bekas, bahkan memotong tenda pengungsian untuk dijadikan pembalut. Menstruasi yang seharusnya menjadi hal alami malah jadi mimpi buruk.

Lebih dari Sekadar Nyeri

Serangan Israel membuat transportasi hancur dan membatasi akses publik untuk mendapat pembalut serta produk menstruasi lainnya. Kekurangan air bersih, privasi yang minim, dan kondisi pengungsian yang padat menambah ketidaknyamanan mereka. 

Walaupun demikian, menstruasi bagi perempuan remaja rupanya masih dianggap tabu di banyak tempat, termasuk di Palestina. Beberapa perempuan mengalami nyeri parah, menstruasi tidak teratur, atau darah yang mengalir deras. Stres dan tekanan dari konflik membuat kondisi ini semakin buruk.

Pil Penunda Menstruasi

Pil penunda menstruasi mungkin terdengar ‘masuk akal’ bagi perempuan Palestina. Mereka seringkali terpaksa minumnya, walaupun tanpa konsultasi dokter. Sebagian mungkin sadar bahwa pil penunda menstruasi ini punya banyak efek  samping seperti perubahan berat badan, gangguan tidur, perubahan siklus, dan sebagainya. 

Tapi keputusan untuk mengonsumsi pil itu terasa ‘solutif’ untuk sementara waktu ketika akses air bersih pun juga terbatas, sehingga memaksa mereka berbagi dan bergiliran menggunakan air, membuat kebersihan pribadi jadi tantangan besar.

Memotong Tenda dan Memakai Pembalut Bekas

Selain mengonsumsi pil, perempuan pengungsi di Rafah dikabarkan terpaksa memotong tenda untuk dijadikan pembalut. Ini jelas bisa menimbulkan risiko infeksi. Kekurangan air bersih juga membuat mereka tidak bisa mandi selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, sehingga kebersihan reproduksi tidak terjaga.

Tapi sekali lagi, itu merupakan keputusan yang didorong oleh situasi darurat ketika distribusi bantuan pembalut dan produk menstruasi lainnya sering terhambat karena jalanan yang hancur. Kalau pun bantuan datang, jumlahnya biasanya tidak cukup. 

Maka, anak-anak perempuan yang pertama kali mengalami menstruasi di tengah perang seringkali terpaksa mengonsumsi obat norethisterone, yang biasanya diresepkan dokter untuk pendarahan parah. Obat ini punya efek samping serius, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Padahal, menstruasi adalah hal penting yang butuh perhatian khusus.

Kekerasan Berlapis yang Dihadapi Perempuan

Selama perang, perempuan menghadapi kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, seksual, dan kesehatan. Mengonsumsi pil penunda menstruasi tanpa pengawasan medis adalah keputusan berisiko, kendatipun diambil karena terpaksa.

The Guardian pernah mewartakan bahwa seorang gadis yang berlindung di sekolah Urwa di Kamp Maghazi sampai mencuci pembalut bekas lalu ia gunakan lagi. Ini tentu saja sangat berisiko terkena penyakit lain. 

Perempuan berhak mendapatkan akses produk menstruasi yang layak, tenaga kesehatan, dan dukungan kesehatan mental. Ini butuh perhatian khusus dan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk negara, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, rumah sakit, dan pihak internasional.

Meski PBB sudah meminta Israel untuk melakukan gencatan senjata, serangan terus berlanjut, merusak rumah penduduk, rumah sakit, dan pengungsian. Keadaan ini tentunya harus segera diakhiri agar korban kekerasan tidak terus bertambah. Sanksi internasional perlu diterapkan untuk negara yang terus melakukan kekerasan, dan mimpi buruk yang dialami perempuan harus segera berakhir.