“Perempuan nggak usahlah sekolah tinggi-tinggi, buat apa? Nanti juga bakalan urus anak dan rumah saja.”
“Nggak maulah punya pasangan pintar, nanti ngebantah terus yang ada bikin pusing.”
“Tuh kan, cerai! Makanya jadi perempuan jangan sombong. Mentang-mentang sukses, terus menentang suaminya. Ingat kodrat mbak, perempuan itu kodratnya jadi istri dan ibu rumah tangga!”
Familiar nggak kalian dengan kalimat-kalimat di atas?
Gue lumayan sering melihat komentar-komentar netizen seperti itu di kolom komen artikel yang tengah membahas tentang perempuan-perempuan yang sukses dalam karier, pendidikan atau usaha yang ia tekuni.
Sedih sih sebenernya masih banyak yang percaya bahwa perempuan itu tempatnya cukup di dapur saja.
Those cruel comments not only came from men, but also from women.
And that thoughts bug me so bad.
Laki-laki yang gue kenal selama ini dalam hidup gue tidak pernah ada yang merendahkan perempuan sukses dan pintar. Laki-laki yang gue kenal selama ini dalam hidup gue, tidak pernah membatasi apa pun yang gue lakukan selama itu baik untuk gue dan sama sekali tidak merugikan gue secara fisik, hukum dan materiil.
Laki-laki yang gue kenal selama ini, selalu memandang gue dan melihat gue memiliki kesempatan yang sama besar dengan dirinya untuk meraih apa pun dalam hidup gue.
Ketika laki-laki memandang rendah bahkan menganggap perempuan sukses itu menyalahi kodrat, that’s what we called patriarch. The state where superiority only valid for man and women should obey every single rule and things they say. And patriarch is our culture. Dark and ugly culture that we should break.
Seharusnya ketika entah salah satunya saja yang sukses, atau bahkan dua-duanya yang sukses itu tidak mengganggu kepercayaan dirimu, jika kamu percaya bahwa kamu sama berharga dan istimewanya dengan pasanganmu. Dan, merasa istimewa atas diri sendiri itu tidak butuh alasan apalagi dari orang lain.
Dan kadang yang bikin gue lebih sedih itu banyak juga perempuan yang jahat dan tega sekali dengan perempuan lain. Ada yang ngecat rambut atau tattooan langsung dibilang perempuan rusak (Yup, story of my life.)
Pulang malam dibilang bukan perempuan baik-baik, bekerja dan berkarier dibilang menyalahi kodrat, lihat sesama perempuan atau bahkan sesama laki-laki saling mencintai langsung heboh, tidak ingin menikah dan punya anak dibilang menentang norma dan banyak lagi. Pokoknya ada yang beda sedikit, wuh. Langsung jadi sasaran empuk untuk melontarkan nasihat-nasihat yang tak sedikit tersirat membuat seseorang tidak nyaman menjadi dirinya sendiri.
Memang sulit ketika melihat sesuatu yang tidak kita mengerti, yang tidak pernah ada dalam kehidupan kita dijalani oleh orang lain. And that’s never good, misunderstood could lead you to prejudice, it would lead you all the way to bigger strong word such hatred.
Lalu terdengar di kejauhan, “Kayak yang nggak pernah ghibah aja lu malih!”
And yes you are right, gue pernah kok mempertanyakan kenapa si anu jadi begitu, kenapa dia pilih itu, kenapa deseu melakukan itu. But that’s it, I just wondering why and leave it all up to them. It’s their life anyway, not mine.
Just like they never walk in my shoes, I never walk in their shoes either to know the entire reason of what they’re doing.
That’s not affect me being a good friend to them.
Ini yang selalu gue pegang teguh dan gue ingat-ingat selama gue menjalani hidup; sebelum gue menuding orang itu salah, orang itu hina dengan pilihan hidupnya, gue merefleksikan diri sendiri. Kalau kata nyokap gue, “Hidup itu cermin yang luas sekali. Ingat itu dalam setiap langkahmu.”
If you’re not agree on how someone live their life? That’s fine, you don’t have to talk shit about them and see yourself better than them.
If you don’t understand decision they took? Nobody ever ask you to understand everything anyway.
Rather than peeping and interfering either private nor sexual matters of someone else, why don’t we focus on what can we do to be a happier person and spread the love more since our chaos world need it?
Misalnya ada yang tanya; perempuan atau laki-laki yang ngerusak hubungan orang, menjatuhkan kesuksesan orang lain, tertawa diatas kesedihan orang lain, bermuka dua, dan licik itu gimana? Itu sifat. It has nothing to do with gender.
Kenapa ya dari komentar itu jadi merembet ngebahas yang lain? Ya karena semuanya berhubungan.
Kalau lagi lihat komentar kayak gitu ya, pengen deh rasanya balesin satu-satu dan ajak mereka ngobrol. Mungkin ada sesuatu yang membuat mereka terluka sampai sepahit itu melihat sesuatu dan setega itu melontarkan kalimat-kalimat yang menyakiti.
I can hear someone talking somewhere; Kan kadang kita ingin mengingatkan satu sama lain, Kak. Sebagai saudara yang baik kan harus seperti itu.
My answer would be,
No honey,
that stranger or whoever you’ve been commenting or so you say “saling mengingatkan”, they enjoy their life and they doesn’t have problem about it until you came and feel that is not the way human being should live. You’re the party pooper to things which don’t added any value to your life but an illusion that you slightly better than them.
Kalau orang itu nggak minta masukan atau pendapat sama lo, sshhh, let them be.
Bahkan kalau dimintain pendapat dan bantuan pun ada batasan kok, kapan lo harus berhenti dan tidak memaksakan masukan dari lo. Kembali ke, it’s their life. Not yours.
Mungkin pas baca ini, ada yang kepikiran, ”Lo bikin tulisan panjang lebar gini, lo merasa lebih baik gitu daripada orang-orang yang masih suka komentar kayak gitu? Kan itu hak orang.”
Yah, tentu.
Hak orang untuk berkomentar, hak orang juga untuk memberikan argumen. Bukan begitu?
I never stated or even feel that I’m better than anybody else. It’s been there since forever, it’s bugging my mind. And the older I get, the more I learn much about them. Terlebih sekarang gue punya anak, gue jadi lebih perhatian dengan hal-hal seperti itu dan memasukkannya ke daftar hal dasar yang perlu gue ajarkan ke anak gue.
Anyway, walaupun komentar-komentar tak menyenangkan itu masih banyak. Tapi yang percaya bahwa pemikiran semacam itu sudah sangat tidak relevan untuk diucapkan saat ini, tidak kalah banyak.
There’s still a lot of beautiful mind and soul out there, somewhere.
*) Zulika Citraning. Tulisan ini pertama kali diterbitkan di blog pribadi penulis.