Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri, Rasulullah Saw bersabda:
يَخْرُجُ نَاسٌ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ ، لا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لَا يَعُودُونَ فِيهِ حَتَّى يَعُودَ السَّهْمُ إِلَى فُوقِهِ
“Akan keluar kelompok manusia dari arah timur. Mereka membaca Al-Qur’an, namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka melesat keluar dari agama seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepadanya sampai anak panah kembali ke busurnya.” (HR Bukhari)
Demikianlah nash hadits yang memprediksikan cikal bakal munculnya gerakan tatharruf (ekstremis) dalam Islam. Salah satu ciri kelompok ini adalah mudah mengkafirkan kelompok lain yang bukan golongannya.
Golongan ini gemar sekali melakukan tindakan anarkis dengan mengatasnamakan agama. Mereka mudah sekali melakukan aksi pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Mulanya istilah khawarij hanya mengarah kepada kelompok yang membelot dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, namun secara dinamis juga digunakan untuk setiap kelompok yang melakukan tindakan makar terhadap pemerintah yang sah.
Syaekh KH Abu Fadl Senori mengatakan:
فَكُلُّ مَنْ خَرَجَ عَلىَ الْاِمَامِ الْحَقِّ الَّذِي اتَّفَقَتِ الْجَمَاعَةُ عَلَيْهِ فَهُوَ خَارِجِيٌّ
“Setiap orang yang keluar dari pemerintahan yang sah sesuai hukum konstitusi yang disepakati bersama, maka ia disebut dengan khariji (pemberontak)”. (KH Abu Fadl Senori Tuban, dalam kitab al-Kawâkib al-Lammâ’ah, hal.13)
Pemahaman kelompok radikal ini terhadap teks-teks keagamaan terlalu dangkal. Mereka memahami teks dengan kemampuan yang sangat terbatas. Hanya mengandalkan sisi dhahir lafadz atau makna tersuratnya, tanpa disertai bimbingan para guru yang sanad keilmuannya bersambung hingga Rasulullah SAW. Akibatnya, dalam beberapa persoalan mereka menyalahi pendapat mayoritas, al-sawâd al-a‘dham atau ijmâ’ (konsensus) ulama.
Ada cerita menarik dari salah seorang tokoh pemimpin Islam saat berdebat menghadapi salah seorang kaum khawarij.
Abu al-Abbas al-Makmun Abdullah bin Harun al-Rasyid, salah seorang khalifah dari Bani Abasiyyah (wafat 218 H) suatu ketika dihadapkan dengan salah seorang kaum Khawarij.
“Apa yang mendorongmu untuk berbeda dengan pendapat mayoritas?” tanya Sang Khalifah.
“Tentu saja ada dan sangat mendasar. Allah berfirman: “Barangsiapa menghukumi tidak sesuai dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah kafir,” jawab orang Khawarij tadi dengan mantap.
“Anda yakin kalau itu adalah firman Allah ?” tanya Sang Khalifah.
“Tentu. Aku sangat yakin,” jawabnya dengan sangat meyakinkan.
“Lhoh, dari mana anda yakin kalau itu benar-benar firman Allah. Apa dalilmu?” ujar Khalifah al-Makmun melanjutkan pertanyaannya.
“Ijma’ (konsensus) ulama,” jawabnya tegas.
(Baca juga: Kisah Imam Abu Hanifah dan Orang Khawarij)
Rupanya Khalifah al-Ma’mun telah berhasil menjebak anggota khawarij tersebut masuk perangkapnya, hingga pada khirnya Khalifah al-Makmun menjawab dengan telak:
فَكَمَا رَضِيْتَ بِإِجْمَاعِهِمْ فِي التَّنْزِيْلِ فَارْضَ بِإِجْمَاعِهِمْ فِي التَّأْوِيْلِ
“Nah, anda saja percaya dengan konsensus ulama dalam urusan akurasi data ayat Al-Qur’an, tentunya anda harus menerima kesepakatan mereka dalam urusan tafsirnya.”
Inilah kata-kata super dari Khalifah al-Makmun yang berhasil membungkam orang Khawarij tadi. Statemen Khalifah ini benar-benar membuat si pemberontak tidak sanggup berkata apa-apa selain mengakui kebenaran hujjah yang disampaikan Sang Khalifah.
“Tuan Raja benar. Semoga keselamatan menyertaimu, wahai AmirulMukminin,” pungkas salah seorang kelompok Khawarij tersebut.
Sumber cerita: al-Hafizh al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, juz.10, hal.280. Klik juga di NU Online