“Perda Syari’ah”, demikian banyak orang menyebutnya. Ada juga yang menyebut “Perda bernuansa Syariah”. Komnas Perempuan menamakannya ”Kebijakan Diskriminatif”, untuk tidak membatasi hanya Perda, tetapi juga keputusan hukum yang lain: PP, Pergub, Perbup, Perdes, dll. Penyebutannya sebagai ”perda syari’ah” diperdebatkan atau didiskusikan oleh para pembuatnya.
Sebagian menganggapnya tepat dan harus disebutkan secara eksplisit: “Syari’ah”. Sementara sebagian yang lain menggantinya dengan nama lain, disesuai dengan muatannya, misalnya “perda maksiat”, “perda kesusilaan”, “perda pelacuran”, “perda baca tulis al-Qur’an”, “Jumat bersih”, ” perda busana”, dan lain-lain.
Tetapi terlepas dari apapun sebutannya, yang tampak jelas adalah bahwa perda-perda kontroversial tersebut ingin memasukkan aspirasi-aspirasi dan pikiran-pikiran hukum keagamaan tertentu ke dalam dan sebagai hukum negara, baik diungkapkan secara eksplisit atau implisit.
Selama tujuh tahun melakukan pemantauan, sejak tahun 2009 hingga 2016, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan ada 421 kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah daerah.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas) Perempuan Indriyati Suparno mengatakan, jumlah kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan semakin meningkat, th. 2017 menjadi 460.
Perempuan Obyek utama Perda
Membaca sejumlah “perda syari’ah” itu, kita menemukan banyak hal terkait pengaturan atas tubuh perempuan. Ada kesan kuat dari situ bahwa perempuan merupakan sasaran pertama dan utama yang ingin diatur di dalamnya.
Pikiran pertama yang muncul untuk rencana penyusunan perda-perda ini (dan dalam banyak regulasi bernuansa syari’ah lainnya) pada umumnya adalah soal-soal yang berhubungan dengan tubuh perempuan dan aktifitasnya di ruang publik.
Materi-materi perda-perda tersebut dibangun di kerangka moralitas. Kaum perempuan dalam perspektif ini dianggap sebagai entitas yang acap kali menciptakan atau memicu kerusakan moral sosial, terutama pelecehan dan kekerasan seksual, seperti perkosaan.
Perempuan ditempatkan sebagai pihak yang selalu menjadi sumber kesalahan dan kebobrokan moral masyarakat. Dalam bahasa agama ia sering disebut sebagai sumber “fitnah”. Meskipun secara genuine ia berarti cobaan atau ujian akan tetapi perkembangan sosial kemudian membentuk makna ”gangguan”, “kekacauan”, atau “pemicu kerusakan”.
Jadi perempuan dipersepsi atau dianggap sebagai sumber yang mengganggu ketertiban dan keamanan sosial, menimbulkan keresahan masyarakat dan menggoda pikiran/hasrat seksual laki-laki. Ini sesungguhnya asumsi dan kecurigaan.
Atas dasar asumsi itu, tubuh-tubuh dan gerak-gerik perempuan harus diatur dengan misalnya tidak boleh mengenakan pakaian terbuka, tetapi tubuh perempuan tidak boleh terbungkus dengan ketat sedemikian rupa sehingga tampak lekuk-lekuknya, wajib memakai jilbab/hijab, dilarang keluar malam (di atas jam 21.00), dilarang pergi sendirian melainkan harus disertai mahram (muhrim) dan seterusnya.
Jadi menurut para pendukungnya perda-perda tersebut pada hakikatnya dibuat untuk melindungi, menjaga kesucian dan mengangkat martabat perempuan sendiri. Berhubung laki-laki masih terus terganggu pikiran dan hasrat seksualnya, maka perempuan harus dijaga dan dilindungi melalui hukum.
Ini adalah argumen-argumen yang kebanyakan muncul dalam pikiran para pendukung perda-perda yang bernuansa syari’ah. Pandangan mencurigai dan stereotipi perempuan seperti ini tidak hanya diterima sebagai kebenaran oleh para pembuat regulasi tersebut, tetapi juga oleh banyak anggota masyarakat, bahkan termasuk kaum perempuan sendiri yang berpikiran sama.
Asumsi-asumsi yang mendasari perda-perda ini sungguh-sungguh dirasakan telah merendahkan sekaligus menyakiti semua kaum perempuan, termasuk ibu-ibu dan anak-anak perempuan kita, karena hanya gara-gara tubuhnya mereka dipersalahkan.
Mereka dianggap sebagai makhluk Tuhan yang rendah dan menjadi sumber kerusakan moral sosial. Mereka harus diawasi eksistensinya, dibatasi aspirasinya, dibatasi kehendaknya untuk berbusana, dibatasi keperluannya untuk ke dan di luar rumah dan dibatasi aktivitasnya di arena kehidupan publik.
Meskipun perda-perda tersebut disebutkan kata ”setiap orang”, yang menunjukkan bahwa aturan tersebut berlaku untuk semua jenis kelamin, namun dalam implementasinya lebih sering diterapkan terhadap perempuan. Merekalah yang sering dikejar-kejar, dijaring razia, didenda dan di ”amankan”, misalnya dalam perda Prostitusi.
Dengan cara pandang seperti ini, perda-perda tersebut sesungguhnya mengandung upaya pelestarian dan peneguhan konstruksi budaya patriarkhis. Kebudayaan ini selalu memandang dan menempatkan kaum perempuan sebagai entitas subordinat, marginal dan tidak merdeka. Mereka tidak memiliki kemerdekaan atau kebebasan sebagaimana yang dimiliki laki-laki.
Mengatur urusan moral personal
Perda-perda yang terkait dengan perempuan tersebut pada sisi lain juga memperlihatkan dengan jelas bahwa hak-hak individu (personal) perempuan diatur dan dapat diintervensi oleh negara. Perda-perda semacam ini alih-alih melindungi mereka, bahkan justeru dapat atau berpotensi menimbulkan akibat-akibat yang serius, yakni kekerasan oleh negara terhadap hak-hak individu warganya.
Demikianlah, maka perda-perda tersebut telah mendiskriminasi warga negaranya, yang dalam hal ini terutama kaum perempuan. Tak pelak sebagian orang menyebut perda-perda semacam ini sebagai perda-perda diskriminatif. Aturan negara seperti ini niscaya melahirkan ketidakadilan bagi perempuan dan dalam waktu yang sama berpotensi memunculkan kekerasan terhadap mereka.
Membagi Domain Masyarakat dan Negara
Semua orang sepakat bahwa hukum dibuat dalam rangka menjaga ketertiban masyarakat, menjaga moral sosial dan melindungi individu-individu dalam masyarakat. Semua orang juga sepakat bahwa moral masyarakat baik secara individu maupun dalam hubungannya dengan individu lain adalah perlu dan harus menjadi baik dan lebih baik.
Pertanyaan kritis yang perlu diajukan adalah dapatkah untuk keperluan ini dibuat atau dirumuskan perda-perda atau aturan hukum lainnya yang dapat melindungi sekaligus tidak membatasi hak-hak personal, tidak mendiskriminasi warga negara dan tidak menimbulkan dampak kekerasan, khususnya terhadap perempuan?.
Pertanyaan tersebut penting untuk dipikirkan oleh para perancang perda atau aturan-aturan publik yang lain. Perlindungan dan kebebasan adalah hak asasi manusia. Ia adalah sesuatu yang esensial dalam hidup manusia di mana saja dan kapan saja. Maka diperlukan prosedur yang dapat melindungi setiap warga negara, khusunya perempuan tanpa membatasi hak-hak asasinya.
Saya kira, dalam kerangka ini, sudah saatnya kita untuk membagi kerja kekuasaan; apa yang menjadi domain kerja negara dan apa yang menjadi domain kerja masyarakat.
Domain kerja negara, sebagaimana sudah dikemukakan adalah mengatur perilaku moral antar personal dan atau antar komunitas masyarakat yang dirumuskan dalam perundang-undangan atau peraturan-peraturan yang lain berdasarkan kesepakatan-kesepakatan sosial-politik masyarakat dalam sebuah negara. Tugas negara juga menjaga keamanan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Sementara isu-isu moral personal (individu/privat), seperti soal aurat, jilbab dan khalwat (bersepi-sepi), mengaji dan lain-lain merupakan isu-isu yang berdimensi moral personal. Pengaturan dan penanganan atas masalah-masalah ini berada di dalam domain masyarakat, bukan domain negara.
Cara-cara yang perlu ditempuh untuk mengatur isu-isu ini adalah melalui pendidikan dalam makna luas, mau’izhah hasanah (penyadaran) dan menciptakan tradisi-tradisi yang yang baik dengan kehendak masyarakatnya masing-masing.
Di sinilah fungsi dan kewajiban utama para pemimpin agama dan pemimpin masyarakat. Mereka dapat bekerja lebih keras untuk membimbing, menuntun, mencerdaskan, membebaskan dan mengadvokasi masyarakatnya sedemikian rupa sehingga perilaku bermoral masyarakat muncul sebagai tradisi atau menjadi adat-kebiasaan masyarakat.
Para tokoh agama dan masyarakat tersebut juga tidak hanya menyadarkan secara persuasif moral personal perempuan, tetapi juga kaum laki-laki. Bahkan dalam konteks sistem sosial yang masih patriarkhis, penyadaran terhadap laki-laki justeru harus lebih kuat dan prioritas.
Untuk penertiban moral personal seperti ini, tidak boleh diserahkan kepada Negara. Keterlibatan negara (melalui perundang-undangan atau perda-perda) dalam isu-isu personal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang sudah ditetapkan dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam banyak kasus perda-perda ini juga tidak efektif.
23.11.18
HM