Syiah sebagai gerakan maupun mazhab telah berkembang di Indonesia sejak masa lampau, bagaimana pengaruhnya?
Dari praktik-praktik keagamaan yang berkembang kuat di Nusantara selama berabad-abad, dapat diasumsikan bahwa interaksi antara Sunisme dan Syi’isme memiliki kontribusi yang sama besarnya terhadap munculnya komunitas Islam yang unik di Indonesia. Maka tidaklah berlebihan bahwa Sunni Islam di Jawa terkadang diklaim sebagai “Syiah secara kultural”. Walaupun menurut Abdurrahman Wahid (1995: 14) bahwa baik kaum Modernis maupun Tradisional menolak pengaruh Syiah khususnya dalam aspek ideologis dan politis.
Sebagai contoh praktik-praktik keagamaan tersebut misalnya istilah “Imam” telah menjadi standar di kalangan kaum Sunni Muslim di Jawa, sehingga empat pendiri mazhab tidak pernah disebut oleh masyarakat Jawa, kecuali dengan menambahkan kata “imam” di depannya.
Kepercayaan akan datangnya al-masih, Imam Mahdi yang akan datang sebagai Ratu Adil (Penguasa yang Adil) secara taradisional maupun historis telah mewarnai masyarakat Jawa. Sebagai contoh Sultan Agung (1613-1645), yang memerintah kerajaan Mataram di Yogyakarta, karena kesuksesannya yang luar biasa, banyak orang menganggapnya sebagai Ratu Adil.
Keturunan Nabi yang secara umum dikenal sebagai “Habib”, selalu mendapat tempat khusus di kalangan para santri di Jawa, demikian pula yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan sampai sekarang.
Perayaan Tabut/Ta’ziyah atau Tabuik Osen yang dilakukan setiap tahun pada untuk mengenang kematian Husain yang tragis merupakan bukti lain tentang elemen-elemen subtansial Syi’i khususnya di Sumatera. Demikian pula penerjemahan karya utama literatur Syi’i, Hikayat Muhammad Hanafiyah, dari Persia ke dalam bahasa Melayu sekitar Abad XIV merupakan bukti lain yang signifikan pengaruh Syi’i di Sumatera (Mas’ud, 3004: 57).
Dalam tradisi Jawa “Grebeg Suro” kita juga menemukan adanya pengaruh Syiah. Kebiasaan orang Jawa yang lebih menganggap Muharram sebagai bulan nahas karena tewasnya Sayyidina Husain juga merupakan pengaruh dari Syiah. Karenanya, orang-orang Jawa berpantang menggelar perayaan nikah atau membangun rumah pada bulan “Suro” atau Muharram.
Di daerah Sunda, pada bulan Muharram terdapat tradisi mengadakan bubur “beureum-bodas” (merah-putih), dan dikenal dengan istilah bubur Suro. Konon, “merah” pada bubur perlambang darah syahid Sayyidina Husain, dan putih perlambang kesucian nurani Sayyidina Husain. Demikian pula di Kalimantan –khususnya dibeberapa tempat di Kalimantan Selatan- setiap sepuluh Muharram (Hari Asyura) sebagian masyarakat melakukan tradisi “Membubur Asyura”.
Selainitu, menurut Humaidy dalam penelitiannya berjudul Peta Gerakan Syiah di Kalimantan Selatan, (2014) masih banyak kultur-kulturSyiah yang merasuk ke dalam kultur Sunni yang menjadi anutan masyarakat Banjar.
Tentu saja sudah bukan bentuk asli, melainkan sudah mengalami mudikasi, Seperti peringatan hari Sepuluh Muharram (Asyura), –telah disebutkan di atas-bacaan Tulak Bala, Tawassul, ZiarahKubur, Maulid Nabi dan hari Arba Mustamir. [Bersambung]