Membaca Akar Diskriminasi Aliran Sesat di Indonesia

Membaca Akar Diskriminasi Aliran Sesat di Indonesia

Membaca Akar Diskriminasi Aliran Sesat di Indonesia
Ilustrasi keberadaan kelompok minoritas

Topik perihal mengapa secara sosial umat Muslim cenderung lebih lunak terhadap agama lain daripada dengan umat Islam sendiri yang berbeda aliran masih menjadi sebuah diskusi menarik. Isu ini seperti ini misalnya terlihat dari bagaimana gestur masyarakat kita yang lebih menerima kehadiran tetangga Kristen daripada umat Syiah di kampungnya.

Tulisan ini akan membidik topik itu dengan sebuah perspektif yang muncul dari fenomena meledaknya netizen akibat kehadiran pasangan gay di podcast Deddy Corbuzier beberapa waktu lalu, yang sekarang videonya sudah ditakedown.

Ada satu quote yang didengung-dengungkan netizen dalam penolakannya terhadap LGBT di Indonesia, yaitu ‘kami mentolerir perbedaan, namun kami tidak memaafkan penyimpangan’. Kutipan itu juga disebut oleh Gus Miftah dalam salah satu podcastnya di Deddy Corbuzier terkait isu yang sama.

Jargon tersebut sebenarnya telah mencerminkan bagaimana sikap sosial kita terhadap komunitas-komunitas di tengah masyarakat. Kita sudah sedikit mafhum tentang karakter masyarakat kita dan bagaimana mereka memandang aliran-aliran Islam yang berada di luar arus utama. Saya ambil contoh yang paling konkrit, Ahmadiyah dan Syiah. Kedua aliran tersebut sudah difatwakan sesat dan menyimpang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Di Indonesia, sejak kemerdekaannya, kedua kelompok ini seolah tidak pernah diberi ruang untuk bernafas lega. Konflik dan diskriminasi agama yang terjadi di Indonesia sering terdengar acapkali melibatkan kedua aliran Islam ini. Namun, sepertinya sikap ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga dalam skala internasional. Di New York, Ahmadiyah juga mengalami diskriminasi. Nasib Ahmadiyah di Indonesia nampaknya lebih baik daripada di Amerika, karena di sini umat Ahmadiyah masih mendapatkan dukungan moril dari beberapa saudara Muslim yang lain. Berbeda dengan di Amerika yang masyarakat non-Muslimnya juga nampak abai terhadap perilaku diskriminasi itu.

Jika mengacu pada kutipan netizen itu, maka diskriminasi itu menjadi seakan masuk akal. Meski demikian, frase ‘tidak mentolerir penyimpangan’ memang memunculkan pertanyaan baru. Mengapa bisa demikian? Mengapa masyarakat tidak memaafkan segala bentuk penyimpangan? Menurut saya, hal ini bisa dijelaskan dalam gejala ‘ketakutan mayoritas’, di mana kelompok mayoritas secara psikologis akan merasa terancam dengan kehadiran sekelompok kecil yang notabene di atas kertas tidak memiliki kuasa sebesar kelompok mayoritas namun seolah sedang bergerak merongrong nilai-nilai mayoritas.

Ahmadiyah, misalnya, diposisikan sebagai pihak yang mengancam nilai-nilai prinsipil Islam yang sudah mapan diyakini oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Pada tahun 2018, pemukiman Ahmadiyah di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, diserang oleh sekelompok orang karena diduga menyebarkan doktrin Ahmadiyah di wilayah setempat. Penyerangan itu menyebabkan hancurnya rumah-rumah jemaat Ahmadiyah hingga mengharuskan mereka mengungsi ke tempat yang disediakan oleh pemerintah setempat.

Hal yang sama terjadi kepada Syiah di Indonesia dalam bentuk penyerangan terhadap sekelompok jemaat Syiah di Sampang Madura pada tahun 2012 lalu. Pemimpin Syiah di wilayah itu, Tajul Muluk, dipidana dengan pasal penodaan agama setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sampang mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Syiah yang dipimpin Tajul sesat.

Dalam bahasa lain, ada status quo yang apabila diusik akan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Status quo itu tumbuh bersama nilai-nilai tradisi, budaya, dan agama  di tengah masyarakat kita sejak negara ini berdiri, bahkan masih bernama Nusantara. Nilai-nilai Islam memang sangat mendominasi pembentukan nilai-nilai itu, dan itu sangat wajar karena memang secara kuantitas, Islam memiliki kuasa.

Ada beberapa sudut pandang lain yang bisa digunakan untuk melihat isu diskriminasi Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia, misalnya tentang stigmatisasi, labelisasi oleh kaum konservatif, dan politik agama. Namun, secara universal masyarakat kita rupanya memang tidak bisa sepakat dengan segala bentuk penyimpangan, baik itu penyimpangan seksual atau dalam kasus ini, penyimpangan kepercayaan.

Akan tetapi yang perlu ditegaskan adalah bahwa menjaga nilai dan ajaran tidak harus kemudian melanggar hak-hak kemanusiaan. Edukasi dan literasi mungkin menjadi salah satu solusi bagaimana kita bisa menyikapi berbagai hal secara lebih bijaksana. Perasaan tidak nyaman akan hadirnya sebuah bentuk penyimpangan merupakan gejala alamiah yang dialami oleh psikologi manusia, namun mensikapi itu merupakan opsi-opsi yang bisa pertimbangkan untuk dilakukan  atau tidak. Jangan sampai lahirnya konflik horizontal justru berasal dari tangan-tangan kita sendiri. Tangan-tangan gegabah yang semata dikuasai oleh emosi.