“Saya ini dibully banyak sekali. Ujaran kebencian kepada saya itu luar biasa. Ada yang mengharapkan saya mati cepat dan udah bau tanah. Tapi ya sudahlah…,” kata Buya Syafii Maarif satu waktu kepada eks dua awak media, Fairuz dan Dafi.
Sepertinya, Buya memang menganggap enteng keberadaan mereka yang selalu curiga dan terhijab tebalnya kabut kebencian. Tapi, kenapa Buya bisa begitu luwes dan rileks kepada para pembencinya?
Saya punya sedikit pengalaman yang barangkali akan membantu kita memahami disiplin kemanusiaan yang sangat mengguru-bangsakan.
Bilangan 2018, saya mendapat tugas dari Jaringan Nasional Gusdurian untuk mengantar sepucuk undangan yang tertuju kepada Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Menurut kabar yang beredar, Buya Syafii termasuk orang yang tidak sulit untuk ditemui. Juga, Buya selalu mendisplinkan diri untuk sembahyang berjamaah lima waktu di Masjid Nogotirto yang terletak sekitar dua ratusan meter dari rumahnya.
Berbekal informasi tersebut, menjelang ashar saya memberanikan diri untuk berangkat sendirian. Sesampainya di masjid setempat, seorang penjual cilok menyapa saya.
“Mau ketemu Pak Syafii Maarif ya Mas?”
Saya penasaran. Apakah masjid ini merupakan rumah kedua Buya, sehingga seorang penjual cilok pun tau kebiasaan dan rutinitas orang-orang yang akan bertamu kepada beliau? Atau sebaliknya, jangan-jangan yang selama ini saya pikir kediaman Buya hanyalah rumah keduanya, sedangkan rumah utamanya adalah masjid? Dan, penjual cilok itu adalah satpam yang sedang berlagak dagang.
“Kok tau Mas?” saya balas bertanya.
“Naitu ada keterangan namanya di undangan,” balas Kang Cilok sambil terkekeh dan menatap surat undangan yang saya pegang.
Menurut Kang penjual cilok, Buya Syafii selama ini memang sering bertemu dengan orang secara random di masjid. Ada yang sekadar minta foto sama beliau. Ada juga yang memang punya keperluan seperti saya. Ada yang silaturahim bawa keluarga atau kolega, ada juga yang silaturahim bawa tim media.
“Kalau memang luang, semuanya pasti beliau temui dan diajak ngobrol, Mas. Kadang ngobrol di masjid bisa sampai berjam-jam. Tapi kadang diajak juga ke rumahnya. Soalnya, kudapan di masjid cuma cilok yang saya jual dan, paling mentok, ya jajanan lain seperti telur gulung yang biasanya dibeli sama anak-anak TPA,” kata Kang penjual cilok.
Obrolan saya dengan Kang cilok pun terhenti ketika azan ashar berkumandang. Saya lalu mengambil air wudhu, bergegas menuju salah satu sudut paling depan sebelah kiri aula utama masjid, lalu menegakkan shalat tahiyat al-masjid. Bukan merasa sok religius atau apalah itu, tetapi ritual yang terakhir ini memang saya lakukan dengan niat meneladani kebiasaan guru-guru saya di pesantren ketika memasuki masjid-masjid yang jarang dikunjungi.
Setelah salam, saya spontan tersentak ketika ada seseorang yang menjejeri saya. Dengan sebuah kursi mini berkaki empat yang biasa dipakai orang ketika berhalangan shalat sambil berdiri, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk mengidentifikasi bahwa orang itu adalah Buya Syafii.
Selepas sembahyang ashar berjamaah, Buya terlihat khusyu berwirid. Saya lalu menyapanya ketika Buya telah usai memanjatkan doa-doa yang, entah apa isinya tetapi, saya yakin kalau rapalan doa Buya pasti dimaksudkan untuk kebaikan bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia sedunia.
“Buya, maaf mengganggu, mau ngaturi undangan buat Buya,” kata saya menerangkan maksud pertemuan sore itu, sambil kami berjalan keluar.
Mata Buya lalu meraba gerak-gerik saya. Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Buya justru dengan hangatnya merangkul pundak saya sambil meraih sebuah dingklik (semacam kursi kecil) yang tergeletak di serambi masjid. Jelas di situ saya mak deg, mak tratap. Terkejut itu sudah barang tentu. Lha gimana, dirangkul salah satu dari tiga pendekar Chicago, og.
Memang, realita itu seringnya meleset dari ekspektasi. Rencana saya yang semula berniat mengantar undangan lalu berpamitan pun segera bubrah ketika Buya Syafii justru bilang, “bentar, bentar… duduk dulu lahh. Sini, sini…”
“Jadi, gimana tadi?”
“Anu, Buya, ini mau nganterin undangan Sewindu Haul Gus Dur.”
“Oalah, Gusdurian. Ya, Gus Dur itu memang luar biasa. Saya suka sekali sama Gus Dur. Umat Islam itu memang seharusnya punya pola pikir kosmopolit dan tidak sempit. Itu kunci kalau kita mau ikut serta dalam mengawal peradaban global. Dulu, di abad pertengahan, ketika Eropa sedang berada di titik nadir karena dominasi institusi keagamaan, peradaban Islam justru mampu tampil sebagai penyambung lidah para filsuf dan pemikir yang telah ada jauh sebelum kelahiran Yesus, atau Isa kalau dalam versi Islam. Hasilnya, kita mampu mempengaruhi dunia. Dan itu hanya bisa terjadi jika umat Muslim punya keterbukaan sikap serta pemikiran…”
Saya mangut-mangut, mencoba memamah pelan-pelan sabda Buya sore itu.
Buya Syafii lalu mewedarkan banyak pelajaran dan kenangan tentang Gus Dur. Laksana sedang diberi kulias gratis sama Guru Bangsa, saya tentu saja sangat antusias, kendati sekaligus merasa wagu sendiri. Jamuan Buya Syafii jelas terlalu mewah dan bergizi tinggi buat niatan saya yang tidak lebih dari sekadar kurir undangan, utusan Muhibullah.
“Tapi Gus Dur itu memang suka usil. Saya pernah dikerjain sama Gus Dur. Waktu itu saya dijebak buat jadi imam tarawih di Ciganjur. Proposalnya 20 rakaat,” kenang Ketua Umum PP Muhammadiyah ke-13 ini.
“Terus gimana Buya?” interupsi saya.
“Ya saya kerjain balik dong. Saya lamain shalatnya. Lalu Gus Dur meralat sendiri. Dia minta diskon 60%, jadi 8 aja,” tandas Buya. Kami lalu tertawa bersama (Jujur, menulis bagian ini saya agak mbrambang. Simpul tawa Buya masih tampak jelas dalam benak saya).
Lanjut. Saya menaksir, obrolan kami sore itu berlangsung sekitar satu jam-an. Lebih tepatnya, saya yang sadar diri memilih untuk memungkasi percakapan, meski kalau mau dilanjut pun Buya Syafii tidak akan segan.
Buya memang selalu terlihat bugar, energik, dan cukup prima jika sedang berbicara tentang bangsa Indonesia, seolah tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa beliau telah usia senja. Saya menduga, itu ada hubungannya dengan Buya Syafii yang tetap produktif menulis di surat kabar harian, mengisi diskusi, menulis buku, naik kereta sendirian di tengah kerumunan, dan tentu saja bersepeda. Bahkan, ketika ada aksi terorisme di rumah ibadah umat Kristen pada 2018 lalu, Buya Syafii tanpa ragu langsung mengayuh sepedanya menuju Gereja Santa Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta.
Buya mengutuk aksi ekstremisme saat itu juga. Menurutnya, jika seseorang menyerap ajaran agama dengan baik, yang muncul adalah sikap berani dan pemaaf. Namun, ketika ajaran agama tidak dimaknai dengan benar, yang muncul adalah sikap lemah, kebrutalan, kekerasan, dan kekejaman kepada lainnya. “Ini bahaya sekali. Orang-orang jenis ini memandang enteng nyawa manusia,” ujar Buya Syafii.
Penting untuk dicatat bahwa yang dikutuk di sini adalah aksinya, bukan orangnya. Maka, setelah meninjau langsung lokasi terjadinya tindak terorisme, Buya Syafii juga membesuk si penyerang, Suliyono, di Rumah Sakit Bhayangkara, Yogyakarta.
“Bacaan dia pada ayat-ayat Al Quran bagus, lancar. Saya pikir anak ini (adalah) korban. Korban karena kebodohannya, karena ketidaktahuannya, sehingga malah melakukan kekerasan dengan ayat-ayat yang dipahaminya,” ujar Buya, dikutip Tempo.
Sebetulnya, masih ada banyak lagi ajaran dan teladan Buya Syafii yang bisa kita serap. Tetapi, itu semua jelas tidak akan cukup untuk dituangkan di sini karena keterbatasan space, sedangkan kebijaksaan Buya Syafii melampui semua retorika dan kata-kata.
Yang jelas, dari sini saja kita seharusnya bisa langsung mengerti bahwa semasa hidupnya, Buya memang tidak punya waktu untuk meladeni orang-orang yang punya pikiran miring terhadapnya. Bagi saya, Buya Syafii adalah representasi paling paripurna tentang ajaran para bijak-bestari bahwa “sometimes, it’s better to let people humiliating us than confront them. It is not only a recognition of what they just could be, but we need no busy enough to serve whoever that knows nothing.”
Selepas pertemuan sore itu, saya sempat menawarkan Buya Syafii agar berkenan saya bonceng menuju rumah yang, menurut Muhidin M. Dahlan, baru lunas setelah 15 tahun menekuni KPR dan tidak pernah telat bayar angsuran itu.
Tapi Buya menolak secara tegas. “Ndak, ndak usah. Saya bisa jalan sendiri kok.”
Baca Juga, Obituari Buya Ahmad Syafii Maarif: Guru Bangsa yang Sederhana dan Pemberani
Kini, Buya Syafii yang berjiwa muda, dikelilingi anak muda, dan terbiasa dengan produktivitas laiknya anak muda telah berpulang ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa. Di sini saya pun semakin yakin, haqul yaqin, dan sangat yakin sekali kalau surga memang telah menantinya. Sebab kata Nabi Muhammad SAW, di surga tidak ada orang tua. Dan, memang begitulah Buya yang selalu memancarkan semangat anak muda. Allahummaghfir lahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu anhu…