Obituari Buya Ahmad Syafii Maarif: Guru Bangsa yang Sederhana dan Pemberani

Obituari Buya Ahmad Syafii Maarif: Guru Bangsa yang Sederhana dan Pemberani

Sebagai teladan bangsa, pikiran Buya Syafii tidak pernah keruh dengan ambisi berkuasa dan kepentingan politik identitas. Buya adalah tokoh kemanusiaan yang membuat kita tak lagi melihatnya sebagai Muhammadiyah, apalagi sebagai wakil-wakil partai belaka, sebab ia bisa berbicara untuk semua manusia dan mewakili semua golongan.

Obituari Buya Ahmad Syafii Maarif: Guru Bangsa yang Sederhana dan Pemberani

Cerita-cerita kesederhanaan Buya Ahmad Syafii Ma’rif telah banyak tersiar lewat berbagai ulasan maupun foto viral. Buya yang rajin naik sepeda kemana-mana, juga Buya yang pulang-pergi naik kereta sendirian. Setiap membaca cerita tentang Buya yang beredar di media sosial, saya spontan membatin doa-doa terbaik untuk Buya, laksana kita semua mengirimkan seuntai doa tertuju kepada orang tua sendiri.

Menjadi tua dengan terhormat, serta disebut sebagai tokoh bangsa yang sejati, itulah Buya. Medio 2017, misalnya, pada sebuah acara pertemuan Sesepuh Bangsa di University Club Universitas Gajah Mada, Buya Ahmad Syafii Maarif hadir dengan penuh semangat. Seperti biasa, langkahnya bergegas meskipun ia membawa tongkat kemana-mana.

Pertemuan itu digagas oleh Nyai Hj Sinta Nuriyah Wahid yang merasa amat prihatin dengan kondisi bangsa yang makin tersegregasi atas nama identitas kelompok karena efek kampanye Pilkada Jakarta. Masyarakat makin pandai melontarkan cebong dan kampret juga memaki kafir dan kadrun, utamanya dalam percakapan yang bisa terpantau lewat media sosial waktu itu.

Buya Syafii adalah salah satu tokoh yang kerap muncul di televisi untuk memberikan pernyataannya terhadap kasus Ahok. Pernyataan Buya Syafii meliputi dua hal. Pertama, Ahok tidak menista agama dan kedua, Ahok tidak boleh dipenjara dengan pasal penistaan agama. 

Buya tidak pernah membela Ahok dalam kapasitas sebagai minoritas. Bagi Buya, negara sebagai lembaga super-power tak boleh berubah jadi penindas. Celakanya, pernyataan Buya Syafi yang disampaikan dalam konteks tanggung jawab konstitusi untuk memberikan rasa adil kepada semua warga negara itu kemudian direduksi sebagai Buya Syafii membela Ahok.

“Karena Gus Dur sudah nggak ada, jadi tinggal saya sendiri yang dikejar-kejar media.” Begitu kelakar Buya Syafi’i yang masih bisa saya raba dari forum Sesepuh Bangsa beberapa tahun silam.

Bagi saya, bagaimana Buya Syafi tampil kokoh dalam posisinya kepada kasus Ahok itu amat memukau. Belakangan, saya tahu bahwa Buya Syafii memang erat dengan diksi-diksi yang berani dalam berbagai kesempatan. 

Beberapa tahun terakhir, Buya mempopulerkan istilah misguided Arabism atau Arabisme sesat. Berbagai permasalahan bangsa seperti kesenjangan sosial dan ekonomi memang makin nyata, tapi berserah diri pada pemahaman agama yang kontra-produktif dengan keilmuan tidak akan menyelesaikan persoalan.

Buya Syafi, umpamanya, berulang kali menyebut Negara Arab berada di titik nadir peradaban. Terorisme ISIS yang disebut Buya mengajarkan teologi maut, adalah rongsokan peradaban Arab. Pernyataan lain yang nyata keras, termuat di akun twitter @SerambiBuya pada 23/11/2020 adalah, “Bagi saya mendewa-dewakan mereka yang mengaku keturunan Nabi adalah bentuk perbudakan spiritual.”

Pemikiran tersebut ia lontarkan dalam rangka memberikan rasa percaya diri kepada negara Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar dengan kondisi demokrasi yang jauh lebih punya masa depan dibandingkan dengan krisis yang dialami negara-negara Arab. “Masyarakat Muslim Indonesia sebagai mayoritas harus tetap waras.” Begitu tukas Buya Syafii kepada tim Sowan Kiai di channel Youtube Mojok.co pada 2019.

Buya Syafii, sang cendekiawan muslim sejati, terus menerbitkan buku-buku baru dan artikel-artikel segar di surat kabar harian. Buku  berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan yang terbit pada 2009, misalnya, cukup populer di kalangan mahasiswa pergerakan Islam. Dalam pandangan Buya, Indonesia memiliki modal sosial yang besar untuk menerjemahkan Islam sebagai alternatif perubahan sosial. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana Islam berkemajuan ditandai lewat kemajuan kajiannya menempatkan perempuan sebagai mitra setara dalam mengurus kepentingan publik dan masalah sosial kemanusiaan lainnya.

Buya Syafii percaya bahwa status manusia di dalam Islam adalah setara, Tidak peduli apa pun latar belakangnya, sebagaimana yang termuat dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13. Ketika kembali ke Al-Qur’an, keragaman adalah suatu keniscayaan, dan Allah SWT menghendaki keragaman itu bekerja sama membangun kebaikan. 

Dalam artikel Status Perempuan Dalam Islam, Buya Syafii menegaskan Al Quran tidak pernah mendiskriminasi perempuan. Tradisi jahilyah yang menguburkan bayi perempuan hidup sebelum Islam. Pandangan yang menganggap perempuan sebagai makhluk panjang emosi dan sebaliknya, kurang akal, bertumbuh dalam alam patriarkis. Mitos dan bias gender itu tentu saja tak sesuai dengan kondisi perempuan masa kini, saat perempuan telah bersama-sama membangun peradaban.

Buya Syafii memberikan dukungan kepada literatur-literatur yang ditulis oleh feminis Muslim, seperti Riffat Hassan, Fatima Mernissi dan Amina Wadud Muhsin. Buya Syafii mengapresiasi keberanian Kiai-kiai feminis yang turut meramaikan kajian gender Islam, antara lain Prof. Nasaruddin Umar dan Buya Husein Muhammad. Di tengah pro-kontra perdebatan apakah feminisme dalam Islam itu relevan, disiplin pandangan Buya adalah sikap ilmiah. Buya mengulas argumen dengan argumen secara objektif, bukan menghukumi sebuah argumen, apalagi menyesatkan seorang pemikir. 

Oleh sebab itu, perbedaan pandangan dengan sesama tokoh senior Muhammadiyah menjadi suatu hal yang wajar belaka. Pembelaan kepada perempuan bukan semata-mata pembelaan kepada jenis kelamin. Pertama, makna pembelaan kepada perempuan adalah perlindungan kepada manusia, hamba Allah. Kedua, makna pembelaan kepada perempuan sebagai bagian dari kelompok rentan dengan pengalaman biologis yang khas, meliputi menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Ketiga, makna pembelaan kepada perempuan sebagai bagian dari masyarakat dalam kultur patriarkis yang melahirkan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.

Pandangan konservatif memandang “kerentanan” perempuan sebagai sebuah keterbatasan dan menjadikannya alat untuk memasukkan perempuan kembali ke pojok paling belakang dalam rumah. Akan tetapi, pandangan yang maju berlandaskan pada prinsip keadilan menempatkan pengalaman biologis dan sosial khas perempuan sebagai tanggung jawab kelompok yang lebih kuat untuk memberikan fasilitas-fasilitas agar perempuan tak tertinggal di belakang. Kesadaran untuk memberikan fasilitas cuti menstruasi, cuti hamil dan cuti menyusui, adalah usaha untuk memanusiakan perempuan. 

Kesadaran untuk memfasilitasi perempuan ini bukan bentuk kebaikan laki-laki, melainkan bentuk qawwam (perlindungan). Qawwam juga bukan alat untuk mengklaim kekuasaan, melainkan tanggung jawab kehidupan kolektif. Selebihnya, laki-laki dan perempuan adalah sama saja, sama-sama hamba Allah dan sama-sama manusia dengan potensi akal sehatnya.

Demikian adalah cara Buya memahami kesetaraan gender dalam Islam. Pola pikir itu konsisten dengan spirit, tindak-tutur, dan laku spiritual Buya dalam memahami Islam sebagai mata air pengetahuan yang berpihak kepada rasa adil. Pikiran Buya Syafii sebagai teladan bangsa tidak pernah keruh dengan ambisi berkuasa dan kepentingan politik identitas. Tokoh kemanusiaan yang membuat kita tak lagi melihatnya sebagai Muhammadiyah, apalagi sebagai wakil-wakil partai belaka, sebab ia bisa berbicara untuk semua manusia dan mewakili semua golongan. Sesuatu yang semakin sulit kita jumpai hari ini.

Selamat jalan Buya Syafii, njenengan tiang sae