Ulama, intelektual, dan cendekiawan Muslim Indonesia Ahmad Syafii Maarif atau kerap dipanggil Buya Syafii Maarif wafat pada hari Jumat, 27 Mei 2022, di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1998-2005 ini memberikan peninggalan berharga berupa pemikirannya tentang Islam dan negara.
Dalam bukunya Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Buya Syafii menyebutkan bahwa Islam tidak memberikan ketentuan khusus mengenai bentuk pemerintahan, namun Islam hanya menekankan pentingnya moral-etik dalam kehidupan bernegara.
Untuk mewujudkan segenap ajaran Islam, dibutuhkan suatu instrumen yang disebut negara. Negara merupakan alat yang penting guna menyokong agama. Namun demikian, agama (Islam) tidak harus dijadikan dasar negara. Aspirasi politik hendaknya bukan menjadikan Islam sebagai dasar negara dan memformalisasikan Syariat Islam, akan tetapi menjalankan kehidupan atas dasar kebersamaan dan musyawarah.
Negara-negara Islam dewasa ini telah menyimpang. Buya Syafii mencontohkan Iran, Republik Islam yang awalnya diharapkan menjadi model negara Islam ternyata “jauh panggang daripada api”. Pola kehidupan yang politis serta mengabaikan prinsip demokrasi dalam kehidupan politik menimbulkan kekecewaan banyak pihak. Buya Syafii Maarif menyesalkan pemahaman yang menganggap bahwa sistem politik monarki adalah Islam dan wajib dipertahankan.
Buya Syafii Kritik Elit Politik yang “Jualan” Agama
Buya Syafii Maarif mengkritik para elit yang sering membawa nama Islam, padahal perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam. Meski pada dasarnya tidak keberatan dengan formalisasi Syariat Islam asal dilakukan secara konstitusional dan demokratis, namun Buya Syafii Maarif tetap mengkritik aspirasi tersebut. “Apa alasan kita untuk mengejar yang formal, atau lebih mengutamakan bentuknya dan melalaikan isi. Yang saya takutkan merek begitu indah, tapi isinya kosong”. Suatu negara baru dapat dikatakan bercorak Islam ketika keadilan dan prinsip-prinsip lainnya benar-benar terwujud dan memengaruhi seluruh kehidupan rakyat.
Buya Syafii Maarif lebih menekankan pencapaian nilai-nilai substantif Islam seperti keadilan, persamaan, kebebasan, kesejahteraan, dan seterusnya daripada memformalisasikan Islam menjadi dasar negara. Dalam pandangannya, negara Islam adalah negara yang tunduk pada prinsip-prinsip universalitas Islam seperti keadilan, kesetaraan, as-syura, kesejahteraan, dan lain-lain meskipun tanpa label “negara Islam” yang dikenakannya. Ketika ada negara yang mengklaim sebagai “negara Islam”, namun tidak dapat melaksanakan prinsip-prinsip tersebut, maka tidak dapat dianggap sebagai negara Islam.
Bagi Buya Syafii Maarif, usaha-usaha untuk mendirikan negara Islam merupakan sia-sia. Upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara telah banyak dilakukan, pada akhirnya upaya tersebut kandas di tengah jalan. Buya Syafii menganggap kelompok yang sampai sekarang masih memperjuangkan negara Islam sebagai orang-orang yang ketinggalan zaman dan tidak mau belajar. Mereka tidak mau membaca literatur-literatur mutakhir tentang hubungan Islam dan negara. Kalaupun mau membaca, yang dibacanya adalah hanyalah literatur-literatur Hasan al-Banna, al-Maududi, Sayyid Qutb, dan lain-lain, yang merupakan para intelektual yang mendukung gagasan negara Islam.
Kritikan Buya Syafii Maarif juga disampaikan kepada kelompok yang gencar mempromosikan formalisasi Syariat Islam. Kebanyakan kelompok tersebut sejatinya tidak paham tentang hakikat Syariat Islam itu sendiri. Mereka memahami Syariat Islam sebatas hukum saja, padahal Syariat sejatinya merupakan agama itu sendiri (ad-din) yang bersifat menyeluruh. Esensinya adalah keadilan, bukan hukum-hukum yang bersifat spesifik. Apabila syariat dipahami sebagai potong tangan, maka akan memberi kesan bahwa Islam adalah agama yang menakutkan. Syariat Islam mesti dipahami sebagai nilai-nilai yang substansial (maqashid), yang isinya adalah tegaknya nilai-nilai fundamental Islam seperti keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan lain-lain.
Buya Syafii Maarif mengkhawatirkan ideologisasi Islam justru akan membawa perpecahan di tengah masyarakat. Perpecahan tersebut tidak hanya akan melibatkan antara kelompok muslim dan nonmuslim saja, akan tetapi juga perpecahan antarsesama umat Islam. Formalisasi Syariat Islam hanya akan memunculkan ketakutan terhadap muslim abangan. “Saya yakin, akan banyak orang Islam marginal, atau kelompok masyarakat yang selama ini masuk dalam kelompok Islam pinggiran, yang justru akan lari dari Islam. Bukankah hal ini justru akan merugikan upaya dakwah Islam itu sendiri?”.
Menurut pandangannya, agama (Islam) cukup ditempatkan sebagai landasan etik dan spirit bernegara. Dalam konteks keindonesiaan, Buya Syafii Maarif meyakini bahwa Pancasila merupakan dasar yang tepat bagi Indonesia.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan Buya Syafii Maarif tidak mempersalahkan formalisasi Syariat Islam asal dilakukan secara konstitusional dan demokratis. Namun demikian, beliau tetap mengkritik kelompok yang menginginkan negara Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia. Wacana tersebut hanya akan membawa kemudharatan. Kalangan yang menghendaki formalisasi Syariat Islam lebih menekankan bentuk daripada substansi Syariat itu sendiri. Padahal perwujudan nilai-nilai substansial Islam seperti keadilan, persamaan, kesejahteraan, dan lain-lain jauh lebih penting daripada mengejar formalisasi. Islam harus diletakkan sebagai moralitas dalam beragama. Dengan berlandas pada prinsip-prinsip moral inilah, maka prinsip-prinsip Islam yang lain dapat ditegakkan dengan kokoh. (AN)
Referensi:
Asroni, A. (2011). Pemikiran Ahmad Syafii Maarif Tentang Negara dan Syariat Islam di Indonesia. Millah: Jurnal Studi Agama, 10(2).
Maarif, A. S. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Maarif, A. S. (1996). Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965. Gema Insani.
Maarif, A. S. (1997). Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat. Pustaka Pelajar.
Maarif, A. S. (2000). Masa Depan Bangsa dalam Taruhan. Pustaka SM.
Zada, K. (2001). Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Paramadina.