Jamal Khashoggi: Pembunuhan, lebih tepatnya pembantaian, jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi menohok saya amat dalam. Selama berhari-hari saya mengamati perkembangan kasusnya.
Bukan saja karena pembunuhan ini sangat sensasional. Saya merasa memiliki ikatan yang sama dengan Khashoggi. Dia adalah seorang jurnalis. Dia seorang komentator politik. Pandangan dan sikapnya sering membuat merah kuping penguasa di negerinya, Saudi Arabia.
Namun Khashoggi adalah jurnalis yang adil. Dia memberikan penghargaan kepada apa yang dirasanya secara moral benar. Seperti misalnya dia memuji langkah Pangeran Muhammad bin Salman memberikan hak mengemudi untuk perempuan. Juga membolehkan adanya bioskop di negeri yang mengharamkan gambar manusia itu.
Profesi Khashoggi sangat mirip dengan apa yang saya lakukan. Profesi ini bukan profesi yang menyenangkan semua orang. Profesi ini menuntut kesendirian. Berpikir dalam dan tidak berpihak. Seringkali posisi tidak berpihak justru dimusuhi oleh semua pihak yang sedang bersaing, berkonflik, atau berperang.
Pembantaian Khashoggi sangat brutal. Semakin hari semakin terkuak bahwa pembunuhan ini dilakukan secara sadis. Khashoggi yang datang ke konsulat Saudi di Ankara, Turki, disiksa sebelum dibunuh. Dia datang ke konsulat itu untuk mengurus dokumen untuk melangsungkan perkawinan yang rencananya akan dia lakukan sehari setelah dia terlihat masuk ke gedung konsulat itu.
Rekaman audio yang didapat penguasa Turki menunjukkan bahwa dia disiksa. Kemudian di gergaji. Dia masih berteriak-teriak selama sekitar 7 menit sebelum disuntik zat yang belum diketahui apa. Akhirnya tubuhnya dipotong-potong, dimasukkan ke dalam beberapa koper, dan diterbangkan dengan pesawat jet pribadi ke Saudi.
Semakin lama juga semakin terkuak bahwa pemerintah Saudi mengirim pasukan pembunuh untuk membantai Khashoggi. Sangat kuat dugaan bahwa pembantaian ini atas perintah, atau paling tidak dengan restu, orang paling kuat Saudi saat ini, Pangeran Muhammad bin Salman, anak Raja yang beberapa tahun lalu diangkat menjadi Putra Mahkota.
Banyak analis mengatakan bahwa Muhammad bin Salman berani melakukan ini karena yakin bahwa tidak ada yang berani menghukumnya. Pemerintahan paling kuat di dunia sekarang berada di bawah kekuasaan Donald J. Trump yang memiliki kepentingan sangat besar akan Arab Saudi. Trump berkepentingan akan uang Arab Saudi. Bahkan menteri luar negerinya, Pompeo, beberapa hari lalu tertawa-tawa ketika bertemu Muhammad bin Salman.
Apa yang sangat mengganggu dari tingkah laku penguasa Saudi ini adalah anggapan “kalau kamu kaya raya, kamu bisa berbuat apa saja.” Mental ini ditunjukkan secara kejam luar biasa.
Dia sebenarnya bisa saja menghabisi Khashoggi dengan cara lain. Meracuni seperti Presiden Putin dari Russia menghabisi lawannya di Inggris beberapa waktu lalu. Bahkan sebelum Putin, cara yang sama pernah dilakukan penguasa Indonesia kepada aktivis HAM Indonesia, Munir, SH, bukan?
Namun mengapa Muhammad bin Salman memilih cara yang sangat brutal dan biadab? Saya kira, pertama, karena dia ingin menunjukkan pada lawan-lawannya bahwa dia bisa kejam dan brutal. Pembantaian Khashoggi adalah sebuah pernyataan politik.
Kedua, karena Khashoggi adalah sesama Muslim dan sesama orang Saudi. Dalam bahasa Inggris ada ungkapan, “familiarity breeds contempt.” Artinya, semakin kita kenal seseorang, semakin berkurang respek kita — namun diganti dengan afeksi. Nah, masalahnya, jika afeksi ini beralih menjadi kebencian maka yang muncul adalah kebencian yang luar biasa.
Arab Saudi bukanlah negara modern yang normal. Tidak banyak orang sadar bahwa sekalipun Arab Saudi adalah negara dengan penerapan ajaran Islam yang paling ketat di muka bumi ini, semua musuh Arab Saudi adalah justru sesama negara Muslim.
Saudi menganggap Iran adalah ancaman terbesarnya. Dia melancarkan perang dengan Yemen. Informasi mulai mengalir keluar tentang busung lapar dan penyakit akibat blokade Saudi. Saudi juga mengancam Qatar, tetangganya yang kecil yang netral dan liberal. Dia juga melancarkan campur tangan dalam politik Lebanon.
Namun, di sisi lain, sekutu terdekat Saudi adalah Amerika. Sekali pun pura-pura membenci, di Timur Tengah, sesungguhnya “sekutu” Saudi adalah Israel. Pesawat-pesawat dengan ringan membom posisi-posisi pemberontak Houthi yang didukung Iran pada awal perang di Yemen.
Dan, Palestina? Banyak orang mengira bahwa pembela-pembela Palestina adalah negara seperti Saudi. Benar. Tapi hanya di permukaan. Isu Palestina adalah berkah untuk penguasa-penguasa otoriter di dunia Islam — yang pura-pura mendukung Palestina untuk mendapatkan legitimasi pemerintahannya yang otoriter.
Mereka akan dengan sangat keras mengecam Israel. Selalu bersuara ‘tidak’ di PBB terhadap Israel. Namun, di bawah meja mereka menerima konsultasi, bantuan militer, dan bahkan latihan dari Israel.
Isu Palestina — tanpa serius memperhatikan bangsa Palestina — merupakan komoditi politik dengan harga paling tinggi. Isu Palestina menjadi alasan untuk memberikan perasaan bahwa umat Islam adalah ‘korban’ dan mengalihkan masalah kepada “Barat.” Isu ini membuat penguasa-penguasa lalim mengelak untuk bertanggungjawab atas kemiskinan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, yang marak dalam masyarakatnya.
Brutalitas itulah yang ditunjukkan Saudi justru kepada sesama Muslim. Di Indonesia pun, di mana pengaruh Saudi semakin mendalam, kita melihat kebencian mendalam ditujukan kepada sesama Muslim yang dianggap murtad seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Familiarity breeds contempt. Karena saya khusus belajar tentang kekerasan berlatar belakang identitas maka saya tidak terlalu sulit memahami hal ini. Perang yang paling brutal adalah perang saudara. Perang antar bangsa masih diatur oleh hukum ‘perang adil’ (just war) — dimana pengaruh hukum Islam juga sangat kuat.
Namun perang saudara tidak ada yang mengatur. Brutalitas perang saudara tidak pernah terbayangkan oleh otak manusia yang normal. Saya kira, itulah yang terjadi pada Khashoggi.
Untuk sementara, uang mungkin bisa menyelamatkan Pangeran Muhammad bin Salman. Namun kerusakan yang dia timbulkan mungkin tidak akan bisa diperbaiki.